WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO
WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

Minggu, 26 Juni 2011

Membangun Keseimbangan Dakwah

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Kisah ini ana peroleh dari buku “ Orang-Orang Bijak Kumpulan Kisah Pilihan Zaman Nabi dan Para Sahabat ”  karya terjemahan Husain Shahab ( Jakarta : Pustaka Hidayah, 1989, Cet. 1) dari penuturan Al-Ustaz Asy-Syahid Murtadha Muthahhari dalam karyanya yang berjudul “ Qashash Al-Abrar ”, jilid I terbitan Muassasah Al-Bi’tsah, Teheran, 1430 H, beliau memperolehnya melalui Irsyad Dailami :

Abu Dzar membaca sepucuk surat yang dikirimkan kepadanya. Surat itu datang dari tempat yang jauh. Melalui surat tersebut, pengirimnya minta suatu nasehat yang lengkap dari Abu Dzar.
Si pengirim adalah orang yang mengenal betapa besar perhatian dan concern Nabi kepada Abu Dzar. Nabi seringkali mengajarnya hikmah-hikmah dengan sabda-sabdanya yang tinggi yang penuh arti. Dalam jawabannya Abu Dzar hanya menulis sebaris kalimat yang ringkas : “ Jangan kau memusuhi seseorang yang kau mencintainya lebih dari orang-orang lain.”

Setelah menerima dan membaca surat Abu Dzar, orang ini seakan tidak mendapatkan suatu makna yang terkandung di dalam jawaban tersebut. Dia berkata : “ Apa-apaan ini? Apa maksud nasehat ini?” Sepintas, kata-kata Abu Dzar itu seakan sejenis taudhihul wadhihat ( menjelaskan sesuatu yang sudah jelas ). Apakah mungkin seseorang akan memusuhi kekasihnya yang paling ia cinta ? Sekadar tidak memusuhi kekasih adalah sesuatu yang mudah, bahkan demi kekasih harta dan nyawa boleh melayang. Begitu pikirnya. Di sisi lain, dia berpikir bahwa yang berbicara ini bukan sembarang orang. Dia adalah Abu Dzar, seorang yang berpandangan sangat luas. Abu Dzar adalah Luqman Umat ini. Seorang yang bijak dan pandai. Tidak ada jalan lain kecuali harus minta penjelasan dari Abu Dzar sekali lagi.
Sekali lagi dia mengirim surat dan meminta penjelasan. Dalam jawabannya Abu Dzar menulis: “ Maksudku, kekasih yang paling mulia dan yang paling kau cintai adalah dirimu sendiri, bukan orang lain. Kau pasti mencintai dirimu lebih dari kau mencintai diri orang lain. Maksudku, jangan kau memusuhi kekasih yang paling kau cintai, yakni jangan kau bersikap memusuhi dirimu sendiri. Tahukah kau bahwa dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh setiap orang, maka resiko bahaya dan akibat buruknya akan dia tanggung sendiri?” ( Halaman 70-71 )

Berbagai macam persepsi mungkin cara kita memahami kisah ini, yang jelas dalam kisah ini tedapat pesan ruhiyah yang begitu dahsyat sebagai bekal menempuh kehidupan dunia dalam menanam amal shaleh. Tidak terkecuali dalam perspektif dakwah, terkadang karena terlalu dibakar oleh semangat dakwah yang membara membuat kita lupa dengan ganjalan-ganjalan yang terasa kecil namun membinasakan dan menjadi penghalang besar untuk kelangsungan dakwah ini. Ya, seperti nasehat Abu Dzar, kita terkadang tidak menyadari yang layak untuk mendapat perhatian terutama sekali adalah diri sendiri sebelum orang lain. Kisah tersebut menguak kesadaran kita tentang perlunya melihat kedalam diri sebelum melihat yang berada di luar diri.
Betapa banyak dinatara kita dengan aktifitas-aktifitas dakwah yang kita lakukan, memberikan pengajian rutin, pembinaan mental para generasi muda, menanamkan pada masyarakat luas tentang menggemarkan ibadah, keutamaan membaca al-Qur’an, menuturkan nesehat-nasehat bijak dari kalangaan salafushshalih, merancang strategi membangun kekuatan umat dengan penanaman akidah yang kuat, namun  karena padat dan banyaknya aktifitas yang kita lakukan sehingga terkadang membuat kita lupa untuk diri kita sendiri,  karena kesibukan dakwah yang begitu sempit kita tidak sempat lagi menunaikan shalat secara berjamaah, membaca al-Qur’an secara rutin seakan tidak punya waktu,  apalagi bangun malam untuk qiyaumullail, bagaimana mungkin kita mampu melakukannya, sementara kita kita tidur terlalu larut malam karena kelelahan mengisi pengajian dari satu tempat ke tempat lain.

Disinilah kebinasaan itu akan menerpa kita, kita mungkin menganggap  bukankah kita berjuang untuk agama Allah SWT? Memang benar kita berjuang untuk agama Allah SWT, namun bukan berarti perjuangan menegakkan agama Allah SWT dianjurkan untuk orang lain, tapi termasuk untuk diri kita yang berjuang, bukannya seperti lilin, kita berikan pencerahan kepada orang lain namun diri kita terbakar dan mengalami kehancuran. Dalam hal ini, ana  teringat sebuah nasehat seorang Murabi ana ( Ustadz Rajudin - mudah-mudahan Allah SWT  memberikan beliau kekuatan untuk tetap berjuang dalam dakwah ini ) : “ Sesibuk apapun kita dalam urusan dakwah ini, namun jangan sampai amalan-amalan rutin kita terabaikan.” Jangan sampai ... diakhirat kelak nanti, disaat kita merasa kita telah yakin bahwa kita orang yang berhak memasuki jannah, ternyata kita hanya melongo bingung melihat orang-orang binaan kita lebih layak masuk surg dari pada kita. Mengapa ? Karena mereka mengamalkan apa yang kita anjurkan, sementara kita sibuk menganjurkan namun tidak punya waktu untuk mengamalkan. Na’udzubillah min Dzaalik.
Mari sejenak kita renungkan kembali penggalan nasehat Abu Dzar di atas : “ kekasih yang paling mulia dan yang paling kau cintai adalah dirimu sendiri, bukan orang lain. Kau pasti mencintai dirimu lebih dari kau mencintai diri orang lain. Maksudku, jangan kau memusuhi kekasih yang paling kau cintai, yakni jangan kau bersikap memusuhi dirimu sendiri. Tahukah kau bahwa dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh setiap orang, maka resiko bahaya dan akibat buruknya akan dia tanggung sendiri?.

Hal ini tiada lain untuk mengingatkan kita bahwa dakwah butuh keseimbangan, keseimbangan dalam wujud mulailah dari diri sendiri, kemudian serulah orang lain ke jalan ini.
Kebenaran hanya milik Allah SWT.

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Jumat, 10 Juni 2011

Membangun Optimisme Dalam Dakwah

Assalaamu'laikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh


Alhamdulillaahirabbil'aalamiin, Shalawat tercurah buat Rasulullah SAW.


Pada suatu malam seorang penduduk desa tidak bisa tidur karena sakit. Seorang dokter berkata, " Rasa sakit ini disebabkan karena ia telah memakan daun-daun anggur. Aku akan kagum seandainya ia bisa bertahan sampai pagi tiba, karena lebih baik tertusuk anak panah serdadu Tartar dari pada memakan makanan yang tidak bisa dicerna itu."


Malam itu si dokter meninggal. Empat puluh tahun sudah berlalu dan penduduk desa masih hidup.( Halaman 99 )


Bagaimana perasaan kita disaat memahami kisah yang dituturkan Syekh Sa'di Syirazi yang disadur dan diterjemahkan oleh Wahyudi dari naskah " Bustan" ( dari naskah Persia terbitan tahun 1286 ), dengan judul Kisah-kisah di Taman Bunga ( Serial Kisah-Kisah Sufi Teladan 2 ), terbitan Pustaka Progressif, surabaya,2003. Secara kasat mata kisah ini kelihatan sepele, suatu hal yang mungkin saja sering kita mengalami dan melihatnya disekitar kehidupan. Namun untuk sejenak, pernahkah kita mencoba menggali nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam kisah tersebut ?


Bagi kita yang telah berusaha dan mencoba untuk bergabung dalam barisan kafilah dakwah hal ini perlu kiranya kita bawakan dalam literatur ruh perjuangan dakwah yang kita tempuh. Di dalamnya sarat dengan nuansa spirit dakwah yang penuh dengan harapan dan tantangan.


Disaat kita mencoba berbicara tentang kejayaan Islam, penerapan syari'at secara kaffah, keshalehan para khalifah, kehebatan para panglima perang Islam di zaman keeemasan Islam, mungkin kita pernah mendapat komentar dari objek dakwah : " Alaaa ...h itu kan dulu ? tidak perlulah engkau berbangga-bangga dengan masa kejayaan masa lalu, semua itu hanyalah nostalgia belaka, jangan pikir yang macam-macam, penegakan syari'at hanyalah sebuah utopia di zaman sekarang ini ... yang penting urus sajalah diri kita sendiri agar kelak kita nanti dapat menyelamatkan diri dari kobaran api neraka, ". Jawaban tersebut tidak jauh beda dengan perkataan seorang dokter dalam kisah di atas : " Rasa sakit ini disebabkan karena ia telah memakan daun-daun anggur. Aku akan kagum seandainya ia bisa bertahan sampai pagi tiba, karena lebih baik tertusuk anak panah serdadu Tartar dari pada memakan makanan yang tidak bisa dicerna itu." Namun lihat peristiwa kunci dari kisah tersebut, Malam itu si dokter meninggal. Empat puluh tahun sudah berlalu dan penduduk desa masih hidup. 


Disini kita diajak untuk merenung ... adakah yang mengetahui apa yang akan terjadi esok atau lusa ?, walaupun sesuatu yang dikaji akan terjadi telah bersepakat para tokoh yang mengaku ahli dibidangnya, namun semuanya berada dalam genggaman Allah SWT. 


Disinilah hikmahnya, mengapa Allah SWT tidak memberi tahukan kepada kita apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang, agar tumbuh jiwa optimisme dalam hidup dan harapan-harapan yang akan diperjuangkan tetap bertahan dalam cita-cita yang telah ditancapkan.


Begitu pula dalam urusan dakwah ini, walaupun bagi sebagian orang upaya kita dalam menegakkan izzah islam wal muslimin hanyalah suatu utopia belaka, tapi yakinlah itu hanyalah ungkapan pesimisme yang lahir dari hati yang bercokol jiwa-jiwa pemalas dan pengecut. Hati mereka telah ditutup oleh kabut tebal sehingga tidak mampu lagi memahami makna sebuah perjuangan, untuk apa kita diciptakan dan mau kemana kita setelah hidup ini.


Ketahuilah ... Rasulullah SAW sebagai suri tauladan kita, telah memberikan contoh agung yang begitu banyak tentang sebuah optimisme dalam perjuangan, cobalah gali kembali sirah nabawiyah, hadits-hadits beliau yang menuntun agar kita tetap optimis, duhai ... tidak akan cukup jari ini untuk mengumpulkannya. Dalam konsep ilmu hadits, dikenal istilah hadits Hammiyah, yakni hadits yang merupakan cita-cita Nabi, ini merupakan sebuah pengajaran bahwa dalam hidup kita harus menancapkan harapan dan cita-cita, terlepas apakah cita-cita itu tergapai atau tidak, dan bisa jadi bukan kita yang menunaikan cita-cita tersebut, namun generasi sesudah kita yang mewujudkannya.


Untuk itu, kembali kepada perspektif perjuangan dakwah kita, jangan dirisaukan dan diragukan tentang keberhasilan perjuangan dakwah yang kita perjuangkan, karena sesungguhnya Allah SWT telah memberikan janji bagi siapa yang menolong agama-Nya, maka Allah akan menguatkan-Nya ( Baca surat Muhammad ayat 7 ). Disaat kita yakin dengan keberhasilan akan sebuah perjuangn menegakkan risalah Islam, dan kita ikut berjuang di dalamnya, ternyata Allah SWT tidak memberikan kesempatan bagi kita untuk mereguk hasilnya, maka jangan bersedih, karena yang terpenting dalam urusan dakwah bukan berhasil atau tidaknya kita dalam berjuang, tapi yang terpenting sejauh mana peran kita dalam menanamkan saham menuju kejayaan yang dicita-citakan.


Yang kita cemaskan, jika kita tergolong pada golongan kelompok yang menganggap perjuangan ini sebuah utopia, namun ternyata disaat perjuangan ini menggapai keberhasilan, Na'udzubillah, ternyata kita tidak memiliki peran apa-apa, bagaimana perasaan kita disaat itu ???



Assalaamu'laikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh




  

Kamis, 09 Juni 2011

Merancang Strategi Dakwah

Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh


Segala puji hanya milik Allah SWT, shalawat kita kirimkan teruntuk Rasulullah SAW.


Ingin hati ini berkisah kepada antum semua ...tentang kisah sufi teladan yang dituturkan oleh Syekh Sa'di Syirazi, karya ini disadur/diterjemahkan oleh Wahyudi dari naskah " Bustan " dari naskah Persia terbitan tahun 1286 dengan judul saduran Kisah-Kisah di Taman Bunga ( Serial Kisah-Kisah Sufi Teladan 2 ), terbitan Pustaka Progressif, Surabaya : 2003. Inilah kisahnya :


Pada suatu hari seekor anjing menggigit kaki seorang zahid dengan kejam. Karena bisa yang melekat pada giginya, maka orang tersebut tidak dapat tidur merasakan kesakitannya.


Anak perempuannya yang masih kecil mengoloknya dengan mengatakan, " Apakah bapak tidak mempunyai gigi ?"


Orang tua yang tidak beruntung itu menangis lalu menjawab sambil tersenyum, " Anakku sayang ! meski aku lebih kuat dari anjing, aku menahan amarahku. Meski ada pedang terhunus di wajahku, aku takkan menggigit kaki seekor anjing."


Anda dapat menyerang, orang lain, tetapi Anda tidak dapat bertindak seperti anjing. ( Halaman 77 ).


Berbagai macam mungkin interpretasi kita dalam memahami kisah ini, tergantung dari sudut mana kita memandangnya, jika kita coba meneropong dari perspektif perjuangan dakwah Ilallah, terkandung nilai yang begitu agung sebagai bekal semangat bagi kita untuk tetap bertahan dalam lingkaran dakwah yang semakin hari terasa semakin membutuhkan kerja keras.  


Bisa jadi perspektif kita ini bukanlah demikian yang dituju oleh sang Syekh yang menuturkan kisah ini, namun setidaknya demikianlah kita dapat menangkap hikmah yang terkandung dalam kisah sarat makna tersebut.


Dalam lingkaran perjuangan dakwah, kita mungkin sering mendapatkan benturan, mungkin kita pernah merasakan disaat kita mencoba mengubah tradisi masyarakat yang telah mengakar karena bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang sesungguhnya, disaat itu kita merasakan tantangan yang begitu dahsyat mendera,  apakah itru namanya cacian, cemooh, menganggap kita sesat, menyalahi ulama terdahulu dan lain sebagainya, yang pada intinya menganggap apa yang kita perjuangkan bukanlah suatu hal yang benar. Satu hal, tantangan itu datang bukanlah dari ahli ilmu atau kelompok orang-orang yang berpikiran cerdas. Biasanya hal tersebut kita temukan di warung-warung kopi, di ruang-ruang pertemuan, pasar-pasar atau tempat berkumpulnya kelompok orang-orang yang senang mengobrol menghabiskan waktu dengan kesia-siaan. Mereka diskusikan apa yang kita lakukan dan sampaikan lalu dengan nada menjelek-jelekkan mereka menyalahkan apa yang telah kita lakukan. Terkadang membias pada bentuk tindakan, kita dikucilkan dalam pergaulan masyarakat.


Menghadapi fenomena tersebut, lantas bagaimana sikap kita ? Apakah kita akan membalas ejekan dan perlakuan mereka dengan tujuan agar mereka jera dan menyadari kesalahan mereka yang sesungguhnya ? Atau mengajak mereka berdiskusi dan mendebat mereka dengan dalil-dalil dan argumnetasi yang kita yakini kebenarannya ? Kisah diatas merupakan jawaban tepat untuk permasalahan yang seperti ini. 


Ketahuilah, jika kita berupaya untuk mengadakan perlawanan terhadap mereka dengan balasan yang setimpal walaupun kita mampu untuk melakukannya, hal tersebut tidak akan membawa kepada kebaikan, malah akan membuat mereka mengadakan perlawanan yang lebih dahsyat yang berujung semakin jauhnya mereka dari kebenaran. Maka berlakulah seperti yang diajarkan oleh sang zahid, seperti jawabannya terhadap pertanyaan anaknya ;  "Anakku sayang ! meski aku lebih kuat dari anjing, aku menahan amarahku. Meski ada pedang terhunus di wajahku, aku takkan menggigit kaki seekor anjing.". Artinya adalah jika kita mengadakan perlawanan yang setimpal dengan mereka berarti kita tidak ada bedanya dengan mereka, berarti kita sama dengan mereka. Jika kita sama dengan mereka, lantas mampukah kita mengadakan perbaikan terhadap kesalahan mereka ? Seperti sebuah ungkapan : " Jika kita berkelahi dengan orang gila, berarti kita adalah orang gila, " mengapa ? sudah jelas orang itu gila mengapa kita bersedia meladeninya berkelahi, apa bedanya kita dengan orang gila tersebut ?


Disinilah kejelian dalam menyusun strategi dakwah dibutuhkan, karena dakwah ditegakkan dengan kearifan dan ilmu, bukan semangat yang membabi buta tanpa metode, ini yang harus menjadi bahan pemikiran kita bersama, bagaimana kita mampu merancang strategi dakwah sehingga mampu diterima oleh masyarakat secara luas, dan mereka menerimanya dengan keterbukaan penuh keikhlasan. Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.



Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh




   


  

Rabu, 08 Juni 2011

Menjaga Nawaitu Perjuangan

Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh


Bersyukur kita kepada Allah SWT yang telah menuntun kita pada jalan kebenaran, Shalawat teruntuk Rasulullah SAW yang telah memberikan kita ruang-ruang motivasi untuk bersemangat dalam memperjuangkan Islam.


Ahmad Zairofi AM, dalam bukunya " Lelaki Pendek, Hitam dan Lebih Jelek dari Untanya ", terbitan Tarbawi Press, 2006, dengan gaya bahasa yang menyentuh menuturkan sebuah kisah inspiratif :


" Nama lelaki itu mudah dikenal, Yahya ibnu Yahya. Nun jauh dari Andalusia ia berasal. Ia pergi menuntut ilmu ke Madinah. Berguru pada Imam Malik. Andalusia-Madinah adalah jarak yang teramat jauh. ...


Hari-hari menimba ilmu pun ia lalui di Madinah yang tenang. Hingga suatu hari, saat tengah berada di majelis bersama murid-murid yang lain, tiba-tiba ada rombongan orang-orang entah dari mana. Mereka datang sambil membawa gajah. Murid-murid Imam Malik berhamburan keluar ingin melihat gajah. Di jazirah Arab, makhluk besar berbelalai itu saat itu memang tergolong asing. Maka orang-orang pun keluar ingin melihat lebih dekat. Begitupun murid-murid Imam Malik.


Semua beranjak, kecuali Yahya bin Yahya. Hingga semua keluar Yahya tetap duduk di majelis itu. Melihat itu Imam Malik mendekat. " Mengapa engkau tidak keluar juga untuk melihat gajah ?" tanya Imam Malik. Yahya menjawab, " Aku jauh-jauh datang dari Andalusia untuk menuntut ilmu, bukan untuk melihat gajah." Imam Malik sangat kagum dengan keteguhan Yahya. Setelah itu Imam Malik pun menggelarinya ' aqilu Andalus (lelaki berakal dari Andalusia )".( Halaman 87-88 ).


Kita kutip kisah ini sebagai bahan intropeksi bagi kita yang bercita-cita besar untuk membangun kejayaan Islam, belajar dari keteguhan Yahya bin Yahya, bercerita tentang sebuah nawaitu. 


Lihatlah bagaimana Yahya bin Yahya mewujudkan kesungguhan niatnya dalam menuntut ilmu yang diwujudkan dalam amal nyata, niatnya satu-satunya datang jauh-jauh dari Andalusia ke Madinah yang memiliki jarak tempuh yang begitu jauh hanya untuk menggali ilmu dari Imam Malik, bukan untuk yang lain. Maka ia pancangkan cita-cita tersebut dengan tetap istiqamah tanpa berpaling kepada apapun, walaupun ada halangan dan rintangan serta godaan yang menari-nari di depan mata.


Dalam persepektif kita yang memiliki cita-cita nawaitu ikhlas untuk memperjuangkan Dakwah Ilalallah, keistiqamahan dalam mewujudkan sebuah nawaitu merupakan sebuah keniscayaan, karena disinilah cita-cita itu akan mencapai puncaknya, disaat sesuatu yang dirancang dan diusahakan berjalan dengan konsep yang tidak berubah-ubah ( istiqamah ).


Banyak hal-hal yang menggoda untuk membuat kita membelokkan arah nawaitu dalam memperjuangkan risalah Islam ini, beratnya beban dakwah yang harus dipikul, terjalnya jalan yang harus ditelusuri dan tingginya benteng yang menghadang terkadang membuat kita mulai ragu akan hasil sebauah perjuangan. Belum lagi rintangan yang mencuat muncul dari dalam diri kita, sifat ananiyah ( egoisme ), merasa benar sendiri, semakin memperkeruh nawaitu yang telah ditancapkan.


Oleh karena itu, tiada lain, intropeksi dalam artian memuhasabahi diri dalam meniti jalan perjuangan dengan selalu mengoreksi nawaitu menjadi suatu keharusan. Semua itu diantaranya belajarlah dari orang-orang shaleh, pejuang-pejuang, ulama-ulama terdahulu, dari mereka terpancar nilai-nilai keagungan sarat makna yang layak kita jadikan i'tibar. Semakin kita belajar dari mereka, semakin menyadarkan kita, bahwa perjuangan yang kita lakukan selama ini untuk Islam, yang mungkin kita anggap sebuah perjuangan yang besar ternyata seberat dzarrahpun belum mampu menyamai mereka. Disisi lain hal tersebut akan menjadi cemeti bagi kita untuk lebih menguatkan azzam perjuangan dengan selalu menjaga konsistensi akan sebuah nawaitu. Bukankah Allah SWT mengukur apa yang kita lakukan berdasarkan nawaitu ?.


Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh
        




     

Minggu, 05 Juni 2011

Belajarlah Dengan Hati

Assalaamu'laikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Alhamdulillaahirabbil'aaalamiin, sebagai tanda rasa syukur kita kepada Allah SWT yang telah menumbuhkan jiwa kita dalam cahaya hidayah Islam. Shalawat tercurah teruntuk Rassulullah SAW.

Tausiyah ini ana peruntukkan buat adik-adik yang berstatus pelajar muslim, yang berniat belajar untuk memahami ... memahami untuk diamalkan. Ketahuilah ... mengapa orang tua kita menyerahkan kita pada dunia pendidikan melalui sebuah lembaga yang bernama madrasah atau sekolah, karena hal tersebut merupakan manifestasi dari ketidakmampuan mereka untuk mendidik kita di rumah yang disebabkan mereka memiliki tuntutan lain untuk mejalani kehidupan yakni mencari nafkah. Apakah mereka salah karena mengalihkan tanggungjawab ini kepada pihak lain ? Sama sekali tidak, karena mereka menunaikan tanggungjawablah maka mereka menyerahkan kita pada lembaga pendidikan.

Sadarilah ..., harapan mereka begitu besar terhadap kita ... agar kelak kita kelak memiliki bekal hidup berupa ilmu pengetahuan ... agar kita kelak menjadi ahli ilmu yang membawa manfaat untuk diri dan umat, pertanyaannya sudahkah kita ikhlas dalam menunaikan semua amanah ini ? Keikhlasan itu akan tampak dari sikap kita dalam menjalaninya. Apa yang kita lakukan selama dalam proses pendidikan merupakan manifestasi ukuran kadar keikhlasan kita.

Ukurlah keikhlasan kita disaat kita menyikapi ilmu pengetahuan, sejauh mana kecintaan kita terhadap ilmu tersebut maka sebesar itu pulalah kadar keikhlasan kita. Bagaiman cara kita menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan guru, bagaimana cara kita menghargai guru, bagaimana sikap kita dalam mengahadapi ilmu yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, semuanya dikembalikan pada kondisi hati kita dalam memposisikannya.

Kita lebih mengetahui kondisi hati kita, bisa jadi tidak akan sama dengan kondisi hati saudara kita yang lain. Perlu kita pahami jika dalam kondisi apapun hati ini merasa tenang, semangat dan penuh dengan harapan terhadap ilmu, maka bersyukurlah kepada Allah SWT karena disaat itu hati kita benar-benar berada dalam keikhlasan, namun jika hati ini penuh dengan kagalaun, ragam-ragam ilmu terasa memberatkan, proses pendidikan terasa menghimpit perasaan, maka ketahuilah ... saat itu hati kita dirundung oleh rasa keterpaksaan, merupakan konsep yang bertolak belakang dari keikhlasan.

Untuk itu tuntutlah ilmu itu dengan hati yang ikhlas, oleh karenanya, modal yang terpenting dalam proses menuntut ilmu adalah mengkondisikan hati pada keikhlasan, belajarlah dengan hati, berjuanglah dengan hati, semua itu akan menemukan titik temu dengan amanah yang dibebankan orang tua kita pada kita, karena mereka berharap kita menjadi pelajar yang berhasil juga dengan hati, dan memang Allah SWT akan meilhat kita dari hati.

Assalaamu'laikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh
  
    

    

Kamis, 02 Juni 2011

Membangun Kejayaan Islam dengan Berislam Secara Kaffah

Assalaamu'alikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji syukur hanya milik Allah SWT, shalawat tercurah buat Rasulullah SAW.

Hati saya bergetar disaat membaca tulisan Herry Nurdi, dalam karyanya yang berjudul The Secret of Heaven, terbitan PT. Lingkar Pena Kreativa, 2009, disaat menuturkan tentang prosesi pemilihan pemimpin yang ditunaikan oleh Muhammad al-Fatih ( sang pembebas Konstantinopel ), saya kutipkan disini tulisan tersebut :

" Saya teringat kisah tentang Muhammad Al-Fatih ketika masuk dan menaklukkan kota Konstantinopel, atau kini yang lebih kita kenal dengan sebutan Istanbul. Pertempuran selesai dan reda, pada hari Rabu saat itu. Setelah cukup beristirahat, Muhammad Al-Fatih mengumpulkan seluruh pasukannya di tanah lapang pada keesokan harinya.

Hari kamis, Muhammad Al-Fatih  mengumpulkan pasukannya hanya untuk satu tujuan : memilih imam untuk shalat Jumat, besok hari. Seluruh pasukan berkumpul di tanah lapang, dan Muhammad Al-Fatih mulai mengajukan tiga pertanyaan.

Pertanyaan pertama, " Barangsiapa sejak akil balig sampai hari ini, pernah meninggalkan shalat fardhu, meski sekali silakan duduk !"

Ketika pertanyaan pertama diajukan, jawabannya sungguh luar biasa. Tak seorangpun dari pasukannya yang duduk. Artinya, tak seorangpun dari pasukannya pernah meninggalkan shalat fardhu. Duhai, betapa haibat-haibat kualitas keimanan pasukan Muhammad Al-Fatih ini.

Pertanyaan kedua, " Barangsiapa sejak akil balig sampai hari ini, pernah meninggalkan shalat sunnah rawatib, meski sekali, silakan duduk !"

Ketika pertanyaan kedua diajukan, setengah dari pasukannya duduk. Artinya, secara jujur mereka mengakui bahwa setengah dari pasukan pernah meninggalkan shalat sunnah rawatib. Itupun sungguh luar biasa,  menjaga shalat sunnnah rawatib. Siapa yang pernah memikirkannya seserius ini.

Pertanyaan ketiga, " Barangsiapa sejak akil balig sampai hari ini, pernah meninggalkan qiyamul lail, meski hanya semalam, silakan duduk !"

Ketika pertanyaan ketiga diajukan, semua pasukan terduduk dan hanya menyisakan Muhammad Al-Fatih sendiri yang berdiri. Artinya dari semua orang yang hadir, hampir semuanya pernah meninggalkan qiyamul lail dan hanya Muhammad Al-Fatih sendiri yang tak pernah meninggalkan." ( Halaman 116 - 117 )

Subhaaanallaah !

Melihat fenomena ini jelas sudah, jika dilihat dari perspektif kekuatan ruhiyah, keberhasilan dan kemenangan dalam memperjuangkan panji-panji kebenaran Islam hanya akan digapai disaat perjuangan tersebut dipegang oleh pemimpin dan pasukan yang ahli ibadah, dan tentunya dipegang oleh komunitas yang jujur dan ikhlas.

Ada beberapa nilai penting yang dapat kita gali dari peristiwa yang sarat dengan i'tibar dan ibrah ini :

Pertama, Metode pemilihan pimpinan yang ditetapkan Muhammad Al-Fatih untuk memimpin shalat Jumat, kelihatannya sederhana, namun terkandung nilai-nilai agung yang hanya mampu digali oleh hati kita yang penuh ketundukan akan sebuah pengabdian terhadap Allah SWT. Ukuran seseorang yang layak untuk dimanahi sebagai imam adalah kesalehan pribadi yang teraplikasi dalam amal nyata. Bukan berdasarkan penampilan lahiriyah dan kemampuan beretorika.

Kedua, Mungkin muncul pertanyaan meggelitik dalam kalbu kita, bisa jadi diantara pasukan Muhammad Al-Fatih ada yang tidak jujur, dalam artian bisa saja ada diantara mereka yang pernah meninggalkan shalat fardhu, namun karena malu maka mereka enggan untuk mengakuinya. Na'udzubillah ! jika hal tesebut terbetik dalam kalbu kita, apakah mungkin Allah SWT akan memberikan pertolongan kepada suatu pasukan, sementara di dalamnya terdapat golongan orang-orang munafik ? Karena hanya orang-orang munafik yang sudi berbuat hal yang demikian, toh  jika pun seandainya ada yang berbuat demikian, lantas mengapa pada saat pertanyaan yang ketiga mereka semuanya mengakui bahwa mereka pernah meninggalkan qiyaumul lail ?, Pertanyaan ini tentunya tidak akan memuaskan bagi kita yang dirasuki oleh penyakit hati yang penuh dengan prasangka buruk.

Ketiga, Torehan sejarah ini mengajarkan kepada kita, bahwa kemenangan akan sebuah perjuangan haruslah dilandasi oleh amal-amal nyata dan ibadah rutin yang istiqamah, jadi salah besar jika ada diantara kita yang cendrung memilah-milah proses pergerakan dalam membangun kejayaan Islam dengan memfokuskan hanya pada satu bidang ajaran ke-Islaman  saja, seperti hanya memfokuskan pada penanaman nilai akidah, namun mengabaikan nilai ibadah dan akhlak dengan dalih semua itu hanyalah bagian dari perluasan pemaknaan akidah dan bersifat furu'iyah. Ketahuilah Islam adalah agama yang kaffah ( menyeluruh ), dan seluruh nilai-nilai ajaran Islam harus terwujud dalam setiap aspek kehidupan, maka tancapkan akidah secara mendalam, gemarkan diri dengan ibadah, dan pancarkan akhlakul karimah, memang demikian Rasulullah SAW mencontohkan pada kita.


Assalaamu'alikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh