Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh
Kisah ini ana peroleh dari buku “ Orang-Orang Bijak Kumpulan Kisah Pilihan Zaman Nabi dan Para Sahabat ” karya terjemahan Husain Shahab ( Jakarta : Pustaka Hidayah, 1989, Cet. 1) dari penuturan Al-Ustaz Asy-Syahid Murtadha Muthahhari dalam karyanya yang berjudul “ Qashash Al-Abrar ”, jilid I terbitan Muassasah Al-Bi’tsah, Teheran, 1430 H, beliau memperolehnya melalui Irsyad Dailami :
Abu Dzar membaca sepucuk surat yang dikirimkan kepadanya. Surat itu datang dari tempat yang jauh. Melalui surat tersebut, pengirimnya minta suatu nasehat yang lengkap dari Abu Dzar.
Si pengirim adalah orang yang mengenal betapa besar perhatian dan concern Nabi kepada Abu Dzar. Nabi seringkali mengajarnya hikmah-hikmah dengan sabda-sabdanya yang tinggi yang penuh arti. Dalam jawabannya Abu Dzar hanya menulis sebaris kalimat yang ringkas : “ Jangan kau memusuhi seseorang yang kau mencintainya lebih dari orang-orang lain.”
Setelah menerima dan membaca surat Abu Dzar, orang ini seakan tidak mendapatkan suatu makna yang terkandung di dalam jawaban tersebut. Dia berkata : “ Apa-apaan ini? Apa maksud nasehat ini?” Sepintas, kata-kata Abu Dzar itu seakan sejenis taudhihul wadhihat ( menjelaskan sesuatu yang sudah jelas ). Apakah mungkin seseorang akan memusuhi kekasihnya yang paling ia cinta ? Sekadar tidak memusuhi kekasih adalah sesuatu yang mudah, bahkan demi kekasih harta dan nyawa boleh melayang. Begitu pikirnya. Di sisi lain, dia berpikir bahwa yang berbicara ini bukan sembarang orang. Dia adalah Abu Dzar, seorang yang berpandangan sangat luas. Abu Dzar adalah Luqman Umat ini. Seorang yang bijak dan pandai. Tidak ada jalan lain kecuali harus minta penjelasan dari Abu Dzar sekali lagi.
Sekali lagi dia mengirim surat dan meminta penjelasan. Dalam jawabannya Abu Dzar menulis: “ Maksudku, kekasih yang paling mulia dan yang paling kau cintai adalah dirimu sendiri, bukan orang lain. Kau pasti mencintai dirimu lebih dari kau mencintai diri orang lain. Maksudku, jangan kau memusuhi kekasih yang paling kau cintai, yakni jangan kau bersikap memusuhi dirimu sendiri. Tahukah kau bahwa dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh setiap orang, maka resiko bahaya dan akibat buruknya akan dia tanggung sendiri?” ( Halaman 70-71 )
Berbagai macam persepsi mungkin cara kita memahami kisah ini, yang jelas dalam kisah ini tedapat pesan ruhiyah yang begitu dahsyat sebagai bekal menempuh kehidupan dunia dalam menanam amal shaleh. Tidak terkecuali dalam perspektif dakwah, terkadang karena terlalu dibakar oleh semangat dakwah yang membara membuat kita lupa dengan ganjalan-ganjalan yang terasa kecil namun membinasakan dan menjadi penghalang besar untuk kelangsungan dakwah ini. Ya, seperti nasehat Abu Dzar, kita terkadang tidak menyadari yang layak untuk mendapat perhatian terutama sekali adalah diri sendiri sebelum orang lain. Kisah tersebut menguak kesadaran kita tentang perlunya melihat kedalam diri sebelum melihat yang berada di luar diri.
Betapa banyak dinatara kita dengan aktifitas-aktifitas dakwah yang kita lakukan, memberikan pengajian rutin, pembinaan mental para generasi muda, menanamkan pada masyarakat luas tentang menggemarkan ibadah, keutamaan membaca al-Qur’an, menuturkan nesehat-nasehat bijak dari kalangaan salafushshalih, merancang strategi membangun kekuatan umat dengan penanaman akidah yang kuat, namun karena padat dan banyaknya aktifitas yang kita lakukan sehingga terkadang membuat kita lupa untuk diri kita sendiri, karena kesibukan dakwah yang begitu sempit kita tidak sempat lagi menunaikan shalat secara berjamaah, membaca al-Qur’an secara rutin seakan tidak punya waktu, apalagi bangun malam untuk qiyaumullail, bagaimana mungkin kita mampu melakukannya, sementara kita kita tidur terlalu larut malam karena kelelahan mengisi pengajian dari satu tempat ke tempat lain.
Disinilah kebinasaan itu akan menerpa kita, kita mungkin menganggap bukankah kita berjuang untuk agama Allah SWT? Memang benar kita berjuang untuk agama Allah SWT, namun bukan berarti perjuangan menegakkan agama Allah SWT dianjurkan untuk orang lain, tapi termasuk untuk diri kita yang berjuang, bukannya seperti lilin, kita berikan pencerahan kepada orang lain namun diri kita terbakar dan mengalami kehancuran. Dalam hal ini, ana teringat sebuah nasehat seorang Murabi ana ( Ustadz Rajudin - mudah-mudahan Allah SWT memberikan beliau kekuatan untuk tetap berjuang dalam dakwah ini ) : “ Sesibuk apapun kita dalam urusan dakwah ini, namun jangan sampai amalan-amalan rutin kita terabaikan.” Jangan sampai ... diakhirat kelak nanti, disaat kita merasa kita telah yakin bahwa kita orang yang berhak memasuki jannah, ternyata kita hanya melongo bingung melihat orang-orang binaan kita lebih layak masuk surg dari pada kita. Mengapa ? Karena mereka mengamalkan apa yang kita anjurkan, sementara kita sibuk menganjurkan namun tidak punya waktu untuk mengamalkan. Na’udzubillah min Dzaalik.
Mari sejenak kita renungkan kembali penggalan nasehat Abu Dzar di atas : “ kekasih yang paling mulia dan yang paling kau cintai adalah dirimu sendiri, bukan orang lain. Kau pasti mencintai dirimu lebih dari kau mencintai diri orang lain. Maksudku, jangan kau memusuhi kekasih yang paling kau cintai, yakni jangan kau bersikap memusuhi dirimu sendiri. Tahukah kau bahwa dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh setiap orang, maka resiko bahaya dan akibat buruknya akan dia tanggung sendiri?.
Hal ini tiada lain untuk mengingatkan kita bahwa dakwah butuh keseimbangan, keseimbangan dalam wujud mulailah dari diri sendiri, kemudian serulah orang lain ke jalan ini.
Kebenaran hanya milik Allah SWT.
Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh