WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO
WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

Senin, 06 Februari 2012

Mati, Jalan Perindu Bertemu dengan Yang Dicintai


Assaalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji syukur kepada Allah swt, shalawat buat Rasulullah saw 

Mati, rangkaian huruf bermakna ketakutan bagi sebagian orang, mungkin kebanyakan, mati merupakan sebuah kebinasaan, berakhir, dan tamatlah satu urusan, berbagai macam ungkapan mati yang bermakna pada satu poros tidak ada lagi harapan. Kecendrungan kita adalah harapan, tapi mati menghapus semua harapan, maka semua kosakata yang berhubungan dengan mati, adalah kosakata yang menunjukkan sesuatu yang tidak bisa diharapkan lagi, mati sudah harapanku, hatinya telah mati, sampai mati akan kupertahankan.

Tapi kita selaku muslim, ada ranah mati yang perlu kita pahami secara seksama. Mati dalam Islam adalah kebalikan dari segala penyebutan di atas, bahkan mati adalah awal dari segalanya, bukan akhir segalanya. Mati dalam Islam merupakan suatu keharusan, bahkan kebutuhan yang mendesak, karena dengan mati itu proses penyempurnaan terjadi. 

Dunia adalah jembatan untuk sampai pada kematian, semakin bertambah umur seseorang, hakikatnya semakin dekat kematian itu menjalar. Bukannya panjang umur sebagaimana yang dilantunkan dalam nyanyian penipuan dalam pesta ulang tahun.

Saudaraku …

Kecemasan akan menghadapi kematian, mungkin pernah kita rasakan, cemas dalam menghadapi pedihnya sakaratul maut, apalagi dikala kita mendengar penuturan melalui nasehat-nasehat ulama bahwa sakaratul maut yang merupakan proses terdekat dalam menghadapi kematian sangat menyakitkan. Semua itu semakin membuat kita resah akan kematian yang akan segera datang.

Setiap kita yakin akan adanya kematian, karena kita memang sering melihat orang yang mengalami kematian. Hanya saja, kita entah terlalu kurang berusaha memahami esensi mati, sehingga yang terbayang dalam pelupuk mata kita, ngerinya menghadapi saat-saat kematian. Termasuk dalam hal ini, ada semacam ketidakrelaan hanya untuk membayangkan saja jika terjadi kematian terhadap orang-orang disekitar kita, orang yang amat kita cintai dan kasihani, yang selalu kita harapkan tetap bersama kita. Namun mengetahui kematian pasti datang, maka kecemasan akan peristiwa kematian begitu menghantui.

Ketahuilah …

Siapa yang menciptakan kita ? Allah swt, kita tahu itu jawabannya, selaku muslim, kita sadar akan hal itu, dengan iman yang telah terpatri kita tidak akan ragu, namun pernah kita bertanya  ? Untuk apa kita diciptakan ? Mungkin tidak seluruhnya kita mampu menjawabnya. Tapi jawabannya sudah jelas, untuk mengabdi kepada Allah swt. Pertanyaan ini pernahkah kita tanyakan ? Jika kita untuk mengabdi kepada Allah swt, untuk apa pengabdian tersebut ? Bukankah Allah swt Maha Sempurna, tidak membutuhkan sesuatu dari makhluk-Nya, lantas untuk apa pengabdian kita disisi Allah swt ?

Ilustrasinya begini, saudaraku se-Iman.

Antum pernah menyaksikan orang tua yang marah kepada anaknya dikala anaknya enggan berangkat ke sekolah untuk belajar ? Mungkin pernah, bahkan bisa jadi antum sendiri yang merasakan, tapi apakah kemarahan orang tua terhadap anaknya yang enggan belajar itu dikarenakan orang tuanya berharap kelak anaknya membalas jasanya yang telah membesarkann anaknya ? Jawaban ini kita jawab idealnya, terlepas dari kasuistik, secara ideal tidak ada harapan satupun dari orang tua untuk mengharap balasan dari anaknya atas apa yang ia lakukan terhadap anaknya, karena kebahagiaan terbesar bagi orang tua yang ikhlas adalah bagaimana ia mampu menjadikan anaknya menjadi anak yang baik kehidupannya, dengan menyadari anak adalah amanah yang pengelolaannya dipertanggungjawabkan kelak. Lalu untuk apa susah payah orang tua menyekolahkan anaknya, marah orang tua dikala anaknya enggan belajar,  sementara ia tidak mengharap balas jasa terhadap anaknya. Tiada lain agar anaknya kelak tidak terjerumus pada hal-hal yang membinasakan dirinya, agar anaknya kelak tidak menyesal akibat dari perbuatannya yang tidak layak, agar anaknya kelak merasakan manisnya hidup yang sesungguhnya. Jadi segala yang dilakukan  dan tuntutan orang tua terhadap anaknya tiada lain untuk kebaikan anak itu sendiri, bukan untuk mencapai keinginan orang tuanya.

Saudaraku …

Dalam pengabdian yang kita pertanyakan tadi, demikianlah kiranya bagi Allah swt terhadap pengabdian kita, Allah swt tidak butuh pengabdian kita, semua itu tidak mempengaruhi sedikitpun posisi Allah swt sebagai sembahan yang layak dijadikan Tuhan. Lalu mengapa kita harus mengabdi ? Karena pengabdian itu untuk diri kita sendiri, dalam artian urgensi pengabdian itu kembali kepada diri kita sendiri, jika kita bersedia mengabdi dengan ikhlas, maka kita akan mendapatkan manfaat pengabdian kita itu, itulah pahala yang dijanjikan, dan diakhirat kelak, pahala itulah yang akan dipetik sebagai tiket untuk masuk ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Ini yang pertama.

Yang kedua, Kita dilepaskan oleh Allah swt, berarti sebelumnya kita milik Allah swt, apakah dikala dilepaskan kita benar-benar lepas ? Ooo tidak, jika benar-benar lepas, berarti kita merusak Ke-Maha Kuasaan Allah swt terhadap makhluk-Nya. Tak ada satupun yang lepas dari genggaman Allah swt. Karena kita terikat dengan Allah swt berarti kita tetap pada posisi milik Allah swt, bukan hanya kita, seluruh makhluk, yakni yang diciptakan merupakan milik Allah swt, maka jangan heran kalau kita mendengar nasehat, semua yang kita miliki hanyalah titipan Allah swt, ini karena bermakna bahwa tidak ada satupun yang memiliki di dunia ini kecuali Allah swt.

Sesuatu yang dilepaskan pemiliknya, sementara masih berstatus kepemilikan, tentunya akan kembali kepada pemiliknya tersebut, dalam hal ini, kita sebagai bagian dari kepemilikan tersebut akan kembali kepada pemilik, Dialah Allah swt. Karena kita dilepaskan dalam keadaan suci, tentunya kembalinya juga harus dalam suci. Apakah kita rela dikala kita memiliki kepemilikan suatu barang, lalu dipinjam oleh orang lain, ternyata saat barang itu dikembalikan dalam keadaan tidak baik ? Tentu saja tidak, bahkan kita meminta ganti rugi atas kekurangan barang tersebut.

Saudaraku …

Karena kita suatu saat akan kembali kepada Allah swt sebagai pemilik, bagaimana perasaan kita dikala akan kembali ? Tentunya kita akan rindu, seperti kita dilepaskan berangkat dari kampung halaman yang kita cintai merantau kenegri orang, suatu saat kita berniat akan kembali ke kampung halaman, bagaimana perasaan kita dikala kita memiliki rasa untuk kembali tersebut ? Tentunya ada rasa rindu yang membuncah dalam dada untuk secepatnya kembali ke kampung halaman, karena kita adalah milik kampung halaman kita. Pulang keperaduan, makhluk apapun akan rindu. Burung-burung akan rindu pulang kesarangnya, orang-orang yang bekerja seharian akan rindu pulang kerumahnya untuk istirahat, walau terkadang tempat ia bekerja menyediakan tempat untuk istirahat, tapi ia merasakan, bahwa kepemilikan dirinya bukan tempat ia bekerja, namun rumahnya. Maka lihatlah, mengapa anak kecil yang merasa ketakutan ibunya yang ia cari, karena ia merasa dirinya adalah kepemilikan ibunya, sehingga ia merasa nyaman dikala berada pada pemiliknya.

Menyadari kita adalah milik Allah swt, adanya kerinduan untuk kembali kembali kepada Allah swt, jalan satu-satunya adalah kematian, karena dengan kematian itulah kita akan bertemu kembali dengan pemilik kita. Memahami hal ini masihkah kematian suatu hal yang menakutkan ? Sesungguhnya kematian adalah kebutuhan  yang mendesak bagi seorang muslim, tentunya muslim yang memahami hakekat kemuslimannya, muslim yang menyadari tugasnya selaku hamba.


Dan (ingatlah), dikala Tuhan engkau mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka ( Ia berkata): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat engkau tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",  ( T.Q.S. Al-A’raaf [ 7 ] : 172 )



Assaalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh 

Ketahuilah beban hidup, Aku memiliki Allah swt tempat mengadu


Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji syukur kepada Allah swt, shalawat buat Rasulullah saw

Beban pikiran, galau, resah, rasa cemas akan beban hidup yang terasa menghimpit,  adalah luka hati yang mendera, pilu dan menyesak dalam dada, terkadang beban tersebut membuat pikiran kacau, hati berdebar tak karuan, ada sesuatu yang terasa berat dalam dada, sampai-sampai hal tersebut membuat kehidupan terasa kacau dan meresahkan, dalam setiap bayang-bayang langkah kita beban itu menghantui , dalam shalat, dalam tidur hingga terbawa mimpi. Dikala melihat anak kecil riang gembira tanpa beban, ingin rasanya kita seperti mereka dikala beban hidup menghimpit kita. Disaat menyaksikan orang-orang tertawa dengan segala keriangan mereka, malah beban itu terasa semakin menusuk. Disaat-saat tertentu, kala kita berada dalam kegembiraan, hati riang karena beban hidup terlupakan, namun ditengah keriangan tersebut, menyusup kembali beban hidup tersebut, saat itu spontan hati kita langsung anjlok pada titik nadir, keresahan menjalar keseluruh tubuh, dengan sekejab, kegembiraan yang kita rasakan sebelumnya musnah, bagaikan debu yang ditiup angin, tanpa bekas, sehingga nikmat kegembiraan seakan-akan tidak pernah kita rasakan.

Ya, dalam bentuk apapun, beban tetaplah beban, yang namanya beban tentunya berat untuk dipikul, saat itu sulit hati ini menerima nasehat dari siapapun, dunia terasa sempit, kita selalu merasa dikejar-kejar, bagaimanapun orang-orang menghibur kita, tak lebih hanya sekedar basa-basi dalam pandangan kita. Karena bagi kita, beban tersebut hanya kita yang merasakan, sementara orang yang menghibur kita sama sekali tidak merasakan. Keinginan kita yang tertinggi kala itu, tiada lain, solusi yang benar-benar nyata dan dapat kita rasakan langsung, baru hati kita akan tenang, baru beban itu akan terasa lepas. Sungguh beban hidup terkadang membuat kita tidak lagi berpikir realistis, bahkan kita  sangat berharap dengan sesuatu yang instan, serba cepat, bagaimana beban itu cepat keluar dari kehidupan kita.

Saudaraku …

Berat memang beban hidup, tapi bagaimanapun, berat bukan berarti tidak harus dipikul, engganpun kita memikul toh tetap beban itu tetap membuat kita harus memikulnya, pada pondasi ini, yang kita butuhkan adalah menata hati, sembari tetap mencari jalan keluar dari beban hidup yang kita tanggung. Menata hati bukanlah perkara yang mudah, namun Insya Allah dengan mencoba mengikhlaskan segala apa yang dilakukan, apa yang kita harapkan terwujud. Sekali lagi hal ini bukan hal yang mudah, namun yakinlah Allah swt akan menguatkan kita, jika kita bersedia untuk melakukannya, bukankah kita punya Allah swt tempat kita menggantungkan segala permasalahan.

Aduhai … alangkah indahnya … jika hati ini bersedia memahami …

Pertama, Beban hidup yang terasa berat, rasakanlah semua itu sebagai tempat untuk melatih diri menghadapi  sesuatu yang berat, bisa jadi beban yang diberikan Allah swt yang terasa berat untuk kita sebagai wadah untuk melatih kita dalam melakukan hal-hal berat dalam urusan kehidupan selanjutnya, kita mungkin telah dirancang oleh Allah swt untuk memikul beban-beban yang tidak mampu dipikul oleh seluruh orang, hanya orang-orang tertentu yang bisa memikulnya, bisa jadi kita adalah orang-orang tertentu tersebut yang dipersiapkan oleh Allah swt untuk memikul beban-beban tersebut, jika memang benar hal yang demikian, berarti kita bukanlah orang kebanyakan, tapi orang-orang pilihan, bukankah pilihan adalah bibit unggul yang dibanggakan, tidak bersediakah kita menjadi pilihan tersebut ? Dalam tahap ini, ajaklah hati untuk berdamai, bersyukurlah, semoga kita menjadi orang pilihan tersebut.

Kedua, selama beban itu berkaitan masalah keduniaan, seperti sulitnya mencari nafkah, cemas akan kezaliman orang lain, takut akan ketidakadilan, dan segaal hal yang membuat kita terbebani dalam urusan yang tidak menyangkut agama kita, maka … duhai  hati, kuatlah, karena semua itu akan berakhir didunia ini, dikala nyawa telah melepaskan diri dari jasad, semua itu akan ikut lepas dan tidak akan membawa sisa untuk kehidupan selanjutnya. Memang berat, hidup mungkin terasa lama dengan beban itu, tapi sadarkah engkau wahai hati, terasa lama hanya karena ia terasa sangat menghimpit, biarkan saja himpitan itu, sibukkan diri kita dengan selalu mengelola hati dan pikiran agar terfokus pada urusan agama, urusan agama yang akan membuat hati diliputi rasa tenang, puas dan harapan akan keselamatan hidup, baik didunia maupun diakhirat. Hidup di dunia ini misteri, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok akan lusa, semuanya berada dalam genggaman Allah swt, sesuatu yang kita cemaskan belum tentu terjadi, walaupun pengalaman telah membuktikan, karena pengalaman adalah masa lalu yang belum tentu akan sama dimasa yang akan datang, walaupun telah menimpa orang lain, namun bukan berarti akan menimpa kita. Satu hal yang perlu kita tanamkan dalam hati, hujamkan ke dasar yang paling dalam, bukankah kita memiliki Allah swt yang selalu menolong hamba-Nya, dikala hamba-Nya patuh akan ketentuan yang Ia tetapkan. 

" Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan
Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan ”
( T.Q.S. Al-Insyirah [ 94 ] : 5-6 )

Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Layakkah Kita Mendapatkan Cinta Ilahi


Assalaamu'laikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji syukur kepada Allah swt, shalawat buat Rasululullah saw

Cinta, ungkapan yang mebuat jiwa bergetar karena aromanya. Cinta, bahasa hati yang membuat siapa saja akan mendongakkan kepalanya dikala mendengar kalimat itu terlontarkan. Cinta, kata yang selalu ingin dimiliki oleh setiap makhluk. Namun disisi lain, cinta malah bumerang yang membuat hati merana. Cinta merupakan bahasa yang sangat dibenci  oleh orang-orang yang nestapa. Cinta adalah pengkhianatan hidup bagi orang yang tersakiti. Cinta adalah racun mematikan yang mampu membuat orang bunuh diri. Cinta, membuat rasa malu hilang ditelan nafsu. Cinta mengubah rasa menjadi kasar.

Demikianlah cinta itu menunjukkan eksistensinya, ia menjadi raja dan menguasai makhluk dengan sekehendaknya, tidak toleran dan membabi buta. Keangkuhannya sulit untuk dibendung, kekuatannya tak terkalahkan, pengaruhnya begitu menyentak tak terperikan.

Setiap insan memiliki cinta, dan rindu sekaligus membenci cinta. Cinta bagian hidup yang tak terpisahkan. Sehingga bermunculan istilah-istilah cinta yang mendera; cinta buta, jatuh cinta, putus cinta, rasa cinta, gejolak cinta, kekasih tercinta, yang tercinta, hingga  aduhai… aku mencintaimu sepenuh jiwa.

Bagi seorang muslim, cinta merupakan rasa terindah dari anugrah yang Allah swt titipkan ke dalam jiwa, dengan cinta Allah swt tanamkan rasa saling mencintai sesama saudara seiman, dengan cinta Allah swt bakar semangat jihad hingga menumbuhkan rasa perindu akan kesyahidan. Dengan cinta kedengkian orang lain dapat dimaafkan. Bahkan dengan cintalah tegaknya kalimat Allah swt dipermukaan bumi.

Namun terkadang cinta bagi seorang muslim juga mampu memunculkan hal-hal yang dilematis, dikala cinta akan dunia harus mengalami pertaruhan dengan cinta akan kebahagiaan akhirat yang hakiki. Cinta ini berada dalam medan tempur antara pertarungan akal dan nafsu, maka hatilah yang akan mengejewantahkannya menjadi perilaku. Dikala akal dikalahkan oleh nafsu dalam pertarungan memperebutkan cinta, maka jatuhlah manusia pada cinta buta yang membinasakan. Itulah cinta akan harta, tahta dan keindahan fatamorgana. Cinta yang akan membuat manusia lupa untuk apa ia diciptakan, cinta yang melahirkan pengkhianatan akan janji yang telah diikrarkan dikala ruh akan ditiupkan  kealam rahim. Cinta yang akan menumpulkan rasa akan bahaya dosa. Inilah cinta yang dipropagandakan oleh tentara syetan. Jatuhlah manusia pada barisan kafilah syetan. Maka engkau jangan heran, dikala menemukan betapa banyak orang-orang yang melakukan kemaksiatan, namun sama sekali ia seakan-akan tidak merasakan sedikitpun bahwa yang ia lakukan adalah maksiat, malah ia merasa nikmat dikala melakukannya, tanpa beban, tanpa ada rasa takut akan bahaya yang menimpanya, karena memang cinta telah membuat ia buta. Bukankah syetan itu menunjukkan sesuatu yang jelek indah dipandang mata ?

Saudaraku … !

Sebagai seorang muslim, ketika hati telah dibakar gelora api cinta, kita mungkin punya keinginan bagaimana kobaran api itu berlabuh pada kodratnya yang mulia, mencari sang pemberi cinta itu, yakni Allah swt. Kita berharap, bahkan kita pancangkan nawaitu yang tulus bahwa api cinta yang bergelora ini, jika toh harus terpatri pada kecintaan akan ciptaan-Nya hendaknya tetaplah dalam rangka pencarian akan cinta-Nya yang hakiki. Dalam artian cinta kita akan cipataan-Nya tetap bermuara pada karena kecintaan kita pada Sang Pemilik cinta tersebut. Inilah basaha cinta kita yang disebut, “ Mencintai sesuatu karena Allah swt ”, puitis memang bahasanya, namun semua itu bukanlah hal mudah, karena seperti yang dikatakan tadi, ada pertarungan alot antara akal dan nafsu yang menentukannya, bahayanya jika kecendrungan pada nafsu lebih mendominasi jiwa kita dari pada kecendrungan pada kekuatan akal. Maka disinilah kekuatan iman itu dipertaruhkan. Hanya imanlah yang mampu menetralisir semua itu hingga cinta menjadi sebuah kenikmatan yang akan mengantarkan kita pada cahaya hidayah Allah swt.

Saudaraku …

Duri-duri untuk mempertahankan keimanan ini sangat tajam, begitu tajam dan menyakitkan. Hanya jiwa-jiwa yang sabar dan pemberani yang dilumuri dengan keikhlasan yang mampu melaluinya. Duri itu adalah cobaan, sebagai pengukur kadar sejauhmana kekuatan iman itu terpancang. Pernahkah antum merasakan, dikala mencoba membangun mahligai cinta terhadap ciptaan Allah swt dengan segala kekuatan agar cinta yang dibangun dengan pondasi iman mampu mengantarkan cinta pada kecintaan terhadap Allah swt ? Dikala antum mencintai seseorang misalnya, antum mencoba untuk mencintai sosok itu dikarenakan bukan harta, jabatan dan keduniaanya, tapi karena keshalehannya, keta’atannya, akhlak terpujinya, yakni mencintainya karena ia mencintai Allah swt, tapi ternyata sosok itu tidak mencintai antum, bahkan tidak peduli dengan cinta antum, dan tidak mau tahu dengan kecintaan antum yang tulus. Pada titik ini bagaimana perasaan antum ?

Disinilah ujian iman itu dipertanyakan ? Masihkah kita bertahan dengan kondisi keimanan kita untuk bertahan dengan prinsip bahwa kita mencintainya karena Allah swt dikala cinta kita ditolak, bahkan untuk dikasihanipun tidak oleh orang yang kita cintai, yang menurut kita cinta kita berdasarkan iman yang kokoh.

Ooooh !!! Sungguh suatu hal yang sangat berat untuk menetapkan sebuah keputusan, jika hati kita merasa marah, sakit, tersakiti, karena ketulusan kita sama sekali tidak mendapat tempat, hingga berujung pada asumsi, dan mempertanyakan, mengapa cinta yang telah dibangun dengan ketulusan iman, tapi berujung pada kekecewaan ? Sekali lagi, jika hal ini yang kita pertanyakan, ketahuilah kita telah tertusuk oleh duri-duri keimanan yang tajam, kita telah jatuh pada cinta yang dikuasai oleh nafsu. Pada saat itu, layakkah kita mengaku, bahwa kita berharap cinta hanya kepada Allah swt ? Jawabannya kita telah tahu, dan sangat mengetahui, ternyata kita masih jauh untuk layak mendapat cinta dari Allah swt. Karena kita sebenarnya, baru layak untuk dikasihani, bukan untuk dicintai. Renungkanlah … Sungguh ini sangat bermanfaat untuk hati kita yang dirundung cinta, hati yang rindu akan cinta Ilahi.

Assalaamu'laikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh