Assaalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh
Puji syukur kepada Allah swt, shalawat buat Rasulullah saw
Mati,
rangkaian huruf bermakna ketakutan bagi sebagian orang, mungkin kebanyakan,
mati merupakan sebuah kebinasaan, berakhir, dan tamatlah satu urusan, berbagai
macam ungkapan mati yang bermakna pada satu poros tidak ada lagi harapan.
Kecendrungan kita adalah harapan, tapi mati menghapus semua harapan, maka semua
kosakata yang berhubungan dengan mati, adalah kosakata yang menunjukkan sesuatu
yang tidak bisa diharapkan lagi, mati sudah harapanku, hatinya telah mati,
sampai mati akan kupertahankan.
Tapi
kita selaku muslim, ada ranah mati yang perlu kita pahami secara seksama. Mati
dalam Islam adalah kebalikan dari segala penyebutan di atas, bahkan mati adalah
awal dari segalanya, bukan akhir segalanya. Mati dalam Islam merupakan suatu
keharusan, bahkan kebutuhan yang mendesak, karena dengan mati itu proses
penyempurnaan terjadi.
Dunia adalah jembatan untuk sampai pada kematian,
semakin bertambah umur seseorang, hakikatnya semakin dekat kematian itu
menjalar. Bukannya panjang umur sebagaimana yang dilantunkan dalam nyanyian
penipuan dalam pesta ulang tahun.
Saudaraku
…
Kecemasan
akan menghadapi kematian, mungkin pernah kita rasakan, cemas dalam menghadapi
pedihnya sakaratul maut, apalagi dikala kita mendengar penuturan melalui
nasehat-nasehat ulama bahwa sakaratul maut yang merupakan proses terdekat dalam
menghadapi kematian sangat menyakitkan. Semua itu semakin membuat kita resah
akan kematian yang akan segera datang.
Setiap
kita yakin akan adanya kematian, karena kita memang sering melihat orang yang
mengalami kematian. Hanya saja, kita entah terlalu kurang berusaha memahami
esensi mati, sehingga yang terbayang dalam pelupuk mata kita, ngerinya
menghadapi saat-saat kematian. Termasuk dalam hal ini, ada semacam
ketidakrelaan hanya untuk membayangkan saja jika terjadi kematian terhadap
orang-orang disekitar kita, orang yang amat kita cintai dan kasihani, yang
selalu kita harapkan tetap bersama kita. Namun mengetahui kematian pasti
datang, maka kecemasan akan peristiwa kematian begitu menghantui.
Ketahuilah
…
Siapa
yang menciptakan kita ? Allah swt, kita tahu itu jawabannya, selaku muslim,
kita sadar akan hal itu, dengan iman yang telah terpatri kita tidak akan ragu,
namun pernah kita bertanya ? Untuk apa
kita diciptakan ? Mungkin tidak seluruhnya kita mampu menjawabnya. Tapi
jawabannya sudah jelas, untuk mengabdi kepada Allah swt. Pertanyaan ini
pernahkah kita tanyakan ? Jika kita untuk mengabdi kepada Allah swt, untuk apa
pengabdian tersebut ? Bukankah Allah swt Maha Sempurna, tidak membutuhkan
sesuatu dari makhluk-Nya, lantas untuk apa pengabdian kita disisi Allah swt ?
Ilustrasinya
begini, saudaraku se-Iman.
Antum
pernah menyaksikan orang tua yang marah kepada anaknya dikala anaknya enggan
berangkat ke sekolah untuk belajar ? Mungkin pernah, bahkan bisa jadi antum
sendiri yang merasakan, tapi apakah kemarahan orang tua terhadap anaknya yang
enggan belajar itu dikarenakan orang tuanya berharap kelak anaknya membalas
jasanya yang telah membesarkann anaknya ? Jawaban ini kita jawab idealnya,
terlepas dari kasuistik, secara ideal tidak ada harapan satupun dari orang tua
untuk mengharap balasan dari anaknya atas apa yang ia lakukan terhadap anaknya,
karena kebahagiaan terbesar bagi orang tua yang ikhlas adalah bagaimana ia
mampu menjadikan anaknya menjadi anak yang baik kehidupannya, dengan menyadari
anak adalah amanah yang pengelolaannya dipertanggungjawabkan kelak. Lalu untuk
apa susah payah orang tua menyekolahkan anaknya, marah orang tua dikala anaknya
enggan belajar, sementara ia tidak
mengharap balas jasa terhadap anaknya. Tiada lain agar anaknya kelak tidak
terjerumus pada hal-hal yang membinasakan dirinya, agar anaknya kelak tidak
menyesal akibat dari perbuatannya yang tidak layak, agar anaknya kelak
merasakan manisnya hidup yang sesungguhnya. Jadi segala yang dilakukan dan tuntutan orang tua terhadap anaknya tiada
lain untuk kebaikan anak itu sendiri, bukan untuk mencapai keinginan orang
tuanya.
Saudaraku
…
Dalam
pengabdian yang kita pertanyakan tadi, demikianlah kiranya bagi Allah swt
terhadap pengabdian kita, Allah swt tidak butuh pengabdian kita, semua itu
tidak mempengaruhi sedikitpun posisi Allah swt sebagai sembahan yang layak
dijadikan Tuhan. Lalu mengapa kita harus mengabdi ? Karena pengabdian itu untuk
diri kita sendiri, dalam artian urgensi pengabdian itu kembali kepada diri kita
sendiri, jika kita bersedia mengabdi dengan ikhlas, maka kita akan mendapatkan
manfaat pengabdian kita itu, itulah pahala yang dijanjikan, dan diakhirat
kelak, pahala itulah yang akan dipetik sebagai tiket untuk masuk ke dalam surga
yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Ini yang pertama.
Yang
kedua, Kita dilepaskan oleh Allah swt, berarti sebelumnya kita milik Allah swt,
apakah dikala dilepaskan kita benar-benar lepas ? Ooo tidak, jika benar-benar
lepas, berarti kita merusak Ke-Maha Kuasaan Allah swt terhadap makhluk-Nya. Tak
ada satupun yang lepas dari genggaman Allah swt. Karena kita terikat dengan
Allah swt berarti kita tetap pada posisi milik Allah swt, bukan hanya kita,
seluruh makhluk, yakni yang diciptakan merupakan milik Allah swt, maka jangan
heran kalau kita mendengar nasehat, semua yang kita miliki hanyalah titipan
Allah swt, ini karena bermakna bahwa tidak ada satupun yang memiliki di dunia
ini kecuali Allah swt.
Sesuatu
yang dilepaskan pemiliknya, sementara masih berstatus kepemilikan, tentunya
akan kembali kepada pemiliknya tersebut, dalam hal ini, kita sebagai bagian
dari kepemilikan tersebut akan kembali kepada pemilik, Dialah Allah swt. Karena
kita dilepaskan dalam keadaan suci, tentunya kembalinya juga harus dalam suci.
Apakah kita rela dikala kita memiliki kepemilikan suatu barang, lalu dipinjam
oleh orang lain, ternyata saat barang itu dikembalikan dalam keadaan tidak baik
? Tentu saja tidak, bahkan kita meminta ganti rugi atas kekurangan barang
tersebut.
Saudaraku
…
Karena
kita suatu saat akan kembali kepada Allah swt sebagai pemilik, bagaimana
perasaan kita dikala akan kembali ? Tentunya kita akan rindu, seperti kita
dilepaskan berangkat dari kampung halaman yang kita cintai merantau kenegri
orang, suatu saat kita berniat akan kembali ke kampung halaman, bagaimana
perasaan kita dikala kita memiliki rasa untuk kembali tersebut ? Tentunya ada
rasa rindu yang membuncah dalam dada untuk secepatnya kembali ke kampung
halaman, karena kita adalah milik kampung halaman kita. Pulang keperaduan,
makhluk apapun akan rindu. Burung-burung akan rindu pulang kesarangnya,
orang-orang yang bekerja seharian akan rindu pulang kerumahnya untuk istirahat,
walau terkadang tempat ia bekerja menyediakan tempat untuk istirahat, tapi ia
merasakan, bahwa kepemilikan dirinya bukan tempat ia bekerja, namun rumahnya.
Maka lihatlah, mengapa anak kecil yang merasa ketakutan ibunya yang ia cari,
karena ia merasa dirinya adalah kepemilikan ibunya, sehingga ia merasa nyaman
dikala berada pada pemiliknya.
Menyadari
kita adalah milik Allah swt, adanya kerinduan untuk kembali kembali kepada Allah
swt, jalan satu-satunya adalah kematian, karena dengan kematian itulah kita
akan bertemu kembali dengan pemilik kita. Memahami hal ini masihkah kematian
suatu hal yang menakutkan ? Sesungguhnya kematian adalah kebutuhan yang mendesak bagi seorang muslim, tentunya
muslim yang memahami hakekat kemuslimannya, muslim yang menyadari tugasnya
selaku hamba.
“ Dan (ingatlah), dikala Tuhan engkau mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka ( Ia berkata): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat engkau tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", ( T.Q.S. Al-A’raaf [ 7 ] : 172 )
Assaalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh