Penjelasan :
Sabar, istilah yang tidak begitu asing
bagi kita, bahkan mungkin terlalu sering lisan ini mengucapkannya, terutama
sekali kala menyaksikan orang-orang sekitar kita mendapatkan musibah atau
sesuatu hal yang menuntut mereka harus bersabar, maka kita berupaya menguatkan
mereka untuk bersabar sebagai bentuk kasih sayang dan rasa simpati. Namun ada
pada umumnya, hakikat sabar yang melekat dalam pemahaman kita lebih
berorientasi pada sabar kala ditimpa musibah, selain itu banyak yang
terabaikan, padahal ruang lingkup sabar tidak sesederhana dan sekecil itu.
Dalam segala aspek kehidupan ada tuntutan sabar di dalamnya. Namun belum begitu
membumi bagi kita. Sehingga sikap itu tidak begitu menjadi akhlak perilku
keseharian kita.
Ketahuilah ….!!!
Memang, yang berat kita rasakan dalam
hidup ini secara lahiriyah adalah kala kita ditimpa musibah atau cobaan dalam
kondisi-kondisi yang rumit, sehingga sabar perisai yang ampuh untuk
menanggulanginya, agar kita tetap bertahan dan tegar menghadapinya. Tapi apakah
kita lupa, sabar dalam melaksanakan keta’atan, atau sabar dalam menjaga diri
dari berbuat maksiat juga merupakan hal yang berat ? Bahkan disini kita banyak
yang terjatuh. Seperti perintah menunaikan
shalat, kala azan berkumandang, bagaimana cara kita menyikapinya, apakah
kita telah bersabar untuk berupaya meninggalkan segala aktifitas keduniaan kita
untuk menyegerakan diri menunaikan panggilan shalat tersebut, atau mungkin kita
berdalih, ah, waktu shalat masih panjang, nanti sajalah. Memang, secara kajian
ilmu fiqh, selama shalat ditunaikan dalam waktunya, maka tertunailah kewajiban
tersebut. Tapi disini yang kita garis bawahi bukan masalah sah atau tidaknya,
tapi keinginan hati untuk tunduk dan pasrah akan sebuah aturan syari’at,
sehingga lebih kita utamakan dari pada aktifitas-aktifitas lain, walaupun
aktifitas itu masih dalam konteks dibolehkan ( mubah ). Disinilah tuntutan
sabar itu nampak, bagaimana kita dituntut untuk sabar dalam menunaikan
keta’atan dengan berupaya menepis dalih-dalih yang dibisikkan syetan. Sekali
lagi, hal ini kita sering lupa akan hakikat sabar seperti ini.
Begitu juga sabar dalam menjaga diri dari
kemaksiatan, bersabar untuk tidak terjerumus pada kehancuran diri, seperti
bersabarnya kita untuk menahan diri agar tidak mengumbar aurat. Untuk yang satu
ini, macam-macam dalih kita keluarkan. Terutama kaum Hawa yang lebih terpesona
dengan kecantikan dan keindahan diri. Kala ditanyakan mengapa tidak memakai
Jilbab ? Malah ia balik bertanya; mana yang lebih baik, orang yang hatinya bersih
tapi tidak memakai jilbab, dengan orang yang memakai jilbab tapi hatinya kotor
? Perkataannya ini hanyalah pembelaan terhadap dirinya yang berupaya berdalih
dari kenyataan syari’at yang berat baginya untuk menunaikannya. Kalaupun toh
ditanya hatinya, apakah dia yakin hatinya benar-benar bersih ? Dia sendiripun
mungkin ragu. Yang tepatnya bukan ragu, memang hatinya sebenarnya tidak bersih.
Mengapa ? Perkataannya tersebut telah menunjukkan ketidakbersihan hatinya,
karena tidak lebih dari pada dalih untuk menyelamatkan diri yang memang telah
tersesat. Maka ia tutup kesesatannya dengan alasan-alasan yang dia sendiri
sebenarnya tidak paham dengan alasan tersebut. Apakah ia tidak menyadari, bahwa
yang lahir itu menunjukkan yang batin ? Hati yang bersih melahirkan perbuatan
yang bersih, lantas bisakah diterima ungkapan, walaupun kita tidak berjilbab,
yang penting hati kita bersih. Ooo… sangat jauh pemahaman tersebut, keengganan
berjilbab menunjukkan keengganan menunaikan syari’at, itu menunjukkan hatinya
tidak bersih, sangat tidak bersih, lalu dimana istilah hati bersih itu ia
pahami ? Sangat tertipulah orang-orang yang memahami konsep yang demikian itu.
Ketahuilah, mengapa semua itu terjadi,
kembali pada konsep sabar tadi, sebenarnya hati ini belum sabar untuk berupaya
menahan diri agar tidak terjatuh pada kemaksiatan. Selama penyakit itu bercokol
dalam hati, maka selama itu pula syetan akan menampakkan jalan untuk mencari
dalih pembenaran akan kemaksiatan yang dilakukan. Berhati-hatilah saudaraku ….
Jika demikian adanya,
Ternyata, berat sekali penunaian sabar
ini dalam kehidupan. Memang berat, tapi dalam berat itulah terkandung
keutamaan. Sesuatu yang diperoleh dengan cara yang berat maka hasilnya juga
akan berat, artinya hasil yang diperoleh sangat memuaskan, sementara sesuatu
yang diperoleh dengan cara yang ringan, hasilnyapun ringan ( sedikit ). Maka
berpayah-payah dalam mencapai sesuatu merupakan konsep ikhtiar yang diajarkan
dalam Islam. Balasan sesuai dengan tingkat usaha, apakah sama balasan yang
diperoleh orang-orang yang bersungguh-sungguh dengan orang yang lalai dalam
kesungguhan ? Jelas tidak. Tidak akan sama sama tingkat keilmuan seseorang yang
belajar siang malam dengan ketekunan, dengan keilmuan seseorang yang hanya
belajar apa adanya penuh dengan kesantaian.
Renungkanlah, sungguh makna ini
mengandung hikmah yang begitu dalam. Ingatlah sebuah nasehat agung yang
ditanamkan Rasulullah saw : “ Pada kesabaran atas apa yang tidak kamu sukai
terdapat kebaikan yang banyak.” ( Hadits Riwayat Ath-Thurmidzi dari Hadits
Ibnu Abbas ), Hadits ini dapat ditemukan dalam Ihya’ ’Ulumiddin karya Imam
al-Ghazali.
Saudaraku …
Kelalaian pemahaman konsep sabar yang
mungkin kita juga lupa memahaminya adalah kita mungkin telah menganggap diri
kita orang yang sabar, kala ditimpa suatu urusan yang tidak menyenangkan.
Namun kesabaran itu muncul seiringnya
perjalanan waktu, artinya, kala kita ditimpa hal yang tidak diinginkan, awalnya
terasa perih dan menyakitkan, kala itu hati ini belum mampu menerimanya tapi
seiring perputaran waktu dan berjalannya hari, mulai tumbuh rela menerima
keadaan tersebut, lantas dengan hal tersebut kita menganggap kerelaan kita akan
penerimaan urusan yang awalnya tidak kita senangi itu telah menganggap diri
kita orang yang sabar.
Ketahuilah ...
Perputaran waktu adalah proses yang
menyebabkan kita banyak melupakan hal, beban yang berat seiring perputaran
waktu dihimpit oleh beban yang lain, sehingga yang telah berlalu lambat laun
terhapus, setidaknya terlupakan. Jika demikian adanya, jelas kita akan mampu
bersabar akan sesuatu yang tidak menyenangkan karena telah pupus dengan
beban-beban lain dan jauhnya beban itu meninggalkan kita oleh waktu. Kalau
demikian adanya, pantas saja kita bersabar. Ini bukan berarti kita menolak
kalau hal tersebut masih dikatakan sabar, hanya saja kita ingin menekankan
disini bahwa sabar itu kemampuan menguasai diri kala sesuatu yang tidak
menyenangkan itu menimpa, tepat saat peristiwa itu terjadi.
Ulasan tentang semua kesabaran ini dapat
kita pahami secara mendalam yang merupakan makna dari ungkapan Ibnu Abbas ra. sebagaimana
dituangkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab fenomenalnya Ihya’ ‘Ulumiddin. Ibnu
Abbas ra. Berkata :
“ Sabar di dalam al-Qur’an itu ada tiga
macam yaitu : sabar dalam menunaikan kewajiban-kewajiban yang diwajibkan Allah
ta’ala, maka bagi sabar ini memperoleh tiga ratus derajat, dan sabar dari apa
saja yang diharamkan Allah, maka bagi sabar ini memperoleh enam ratus derajat
dan sabar atas mushibat pada pukulan pertama, maka bagi sabar ini memperoleh sembilan
ratus derajat. Sesungguhnya tingkat ini dilebihkan, padahal ia termasuk
amal-amal yang wajib karena setiap orang mu’min itu mampu sabar dari
perkara-perkara yang haram.”
Untuk itu saudaraku pencari jalan
kesabaran …
Sekilas tampak sabar itu sulit
ditunaikan, tapi ketahulilah, kala hati telah berazzam, semangat telah
ditancapkan, maka kemuliaan sabar tidak akan rumit menggapainya. Semoga ini
menjadi bahan intropeksi diri, bahwa urusan sabar sebenarnya bukan urusan
sederhana, tapi urusan yang hendaknya lebih membuat kita menyadari bahwa
ternyata kita belum apa-apa dalam beramal untuk agama ini, apalagi telah
menganggap diri kita orang shaleh yang memiliki kedekatan yang luar biasa
dengan Allah swt. Disisi lain semoga menjadi pemicu semangat pula bagi kita
untuk mencapai ketinggian derajat sabar. Bukankah Rasulullah saw telah menjanjikan
pada hadits tadi : “ Pada kesabaran atas apa yang tidak kamu sukai terdapat
kebaikan yang banyak.” Benarlah
Mahfuzhat : “ Sabar itu terpuji ”.
Keterangan
dan Referensi :
1). “ Terjemah
Ihya’ ‘Ulumiddin Jilid VII ” dari Karya Imam al-Ghazali, dialih bahasakan oleh Drs. H.Moh
Zuhri, Dipl. TAFL., H. Muqoffin Mochtar, LC,
H. Muqorrobin Misbah, diterbitkan CV. Asy Syifa’ Semarang, cetakan tahun
2003)
2). Sumber
Mahfuzhat : K.H. Aslam Zakaria dan Abd. Halim Manaf B.A, Buku Pelajaran
Mahfuzhat I (Bandung: C.V Sulita, 1971 ), Cet. Ke-2
3). Penulisan
Format Tulisan Arab : Freeware Arabic Unicode text editor
©2007 by Ebta Setiawan