WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO
WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

Selasa, 16 Agustus 2011

Dakwah itu urusan Jiwa


Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Bersyukur selayaknya kita persembahkan kepada Allah rabbul ‘izzati, yang telah menumbuhkan jiwa kita dengan naluri kebenaran, shalawat teruntuk Rasulullah SAW yang memiliki nurani terjaga dari segala macam penyakit hati.

Ana tersentak  disaat membaca tulisan A.R. Rizal dalam kolom Langgam dengan judul : “ Makanan Jiwa ” pada Harian Umum Independen Membina Harga diri Untuk Kesejahteraan Nusa dan Bangsa Singgalang Minggu ( 3 Juli 2011/2 Sya’ban 1432 H), penggalan tulisan tersebut :
“ Penyakit terbesar di muka bumi ini adalah penyakit jiwa. Remaja yang sakit jiwa, mereka kebut-kebutan di jalan raya. Matilah ia terpental dari motornya. Anak-anak muda yang sakit jiwa, bermesum saja kerjanya. Hamil di luar nikah, aborsi dibuatnya. Matilah balita-balita di dalam kandungan ibunya. Belum lagi orang-orang kasar di jalan raya, orang-orang pintar yang tak beretika, hingga koruptor yang penjarah yang merajalela. Itu semua penyakit jiwa. Orang-orang yang memberi makan jiwanya dengan seni, maka akan sejuk bathinnya, perasa orangnya. Orang yang penyuka sastra, hebat tutur sapanya, penuh santun dan peribahasa.” ( Halaman A-11  )

Penyakit jiwa, bagi kita mungkin yang terbayang orang-orang yang rusak akalnya, alias gila. Gila dalam literatur bahasa Arab disebut dengan majnun ( tertutup akalnya ). Tapi benarkah orang yang mengalami penyakit jiwa rusak atau tertutup akalnya ? Disinilah kita perlu mengambil perluasan pemahaman tentang penyakit jiwa yang sesungguhnya, agar kita lebih mnegaca pada diri, jangan-jangan kita menyangka  jiwa kita sehat-sehat saja, tapi ternyata kita lebih kronis dibandingkan saudara kita yang menghabiskan hidupnya di rumah sakit jiwa. Kita sering memperolok-olok orang gila di tengah jalan, namun kenyataannya kita lebih layak diolok-olok.

Definisi yang dituturkan A.R. Rizal rasanya mewakili makna penyakit jiwa yang sesungguhnya, namun banyak yang tidak menyadari, atau pura-pura tidak sadar. Penyakit jiwa hakikatnya virus yang mendekam dalam diri, selalu mengajak, dan memberikan dorongan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nurani kebaikan, awalnya dilakukan secara berat karena fitrah manusia cendrung pada kebenaran, tapi karena dianggap remeh dan ditunaikan secara kontinue, lambat laun menjadi ringan dan biasa, akhirnya mati rasa, saat inilah seseorang dikatakan telah tertimpa penyakit jiwa.

Mengapa hal ini terjadi ? Mafhum mukhalafah dari penuturan A.R Rizal tersebut,  orang-orang yang ditimpa penyakit jiwa adalah orang-orang yang tidak mencintai seni dan sastra, karena dengan sentuhan seni  seseorang akan menjadi sejuk batinnya dan memiliki rasa yang halus, begitu pula seseorang yang mencintai sastra santun bahasanya.

Seni dan sastra menanamkan rasa, demikianlah kenyataannya. Maka urusan seni dan sastra hakekatnya urusan rasa, rasa itu terdapat dalam jiwa, hanya orang-orang yang memiliki rasa yang mempu memposisikan jiwanya. Jiwa akan tumbuh dengan baik jika ditanamkan rasa yang baik, sebaliknya jika dipompa dengan rasa yang jelek akan menggelembung kejelekan pula. Maka rasa inilah yang membentuk jiwa. Disinilah korelasi makna Nasihat Umar Bin Khattab yang dipetik Taufiq Ismail dalam kata pengantarnya terhadap karya Anis Matta “ Mencari Pahlawan Indonesia ” ( Jakarta : The Tarbawi Center, 2004, h. Xi ) : “ Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, agar anak pengecut jadi pemberani. ”  Sebab  sastra adalah bagian dari rasa.

Dakwah hakikatnya menanamkan rasa, rasa yang menyadarkan insan akan hakikat untuk apa diciptakan, apa amanah yang harus dipikul, serta kemana arah tujuan dibebankan kewajiban selaku hamba, ya, semua itu urusan rasa. Jika dakwah ini ditanamkan dan disebar luaskan dengan rasa, maka akan mampu mengubah jiwa-jiwa pendosa menjadi pengabdi. Demikian adanya Rasulullah SAW menunaikan risalah ini. Dengan rasa, beliau mampu mengubah watak-watak Badwi yang kasar menjadi lembut, menundukkan keangkuhan pemuka-pemuka Quraisy, meramahkan jiwa premanisme, ya, sekali lagi dengan rasa.

Bukankah dinegri ini, sejarah menjadi saksi, bahwa Islam sebagai agama yang membawa pada keselamatan disebarkan dengan rasa, bukan dengan pedang dan kekerasan, para pedagang Arab serta para sufi mengajarkan Islam dengan rasa, melalui pendidikan dan tasawuf diantara metode-metode rangkaian penyebaran Islam di Zamrud Khatulistiwa ini. Hasilnya dapat kita lihat, hingga dewasa ini Islam tetap eksis di bumi persada sebagai agama mayoritas dan memiliki pengaruh yang begitu luas.

Untuk itu, bagi kita yang telah menerjunkan diri dalam shaf dakwah ini, hendaknya mengaca diri, dan lebih mampu belajar dengan metode-metode yang telah digariskan oleh para pendahulu kita yang  tentunya  tidak kita ragukan lagi upaya dan kesungguhan serta kecintaan mereka terhadap dakwah ini, yakni mengajarkan, menyampaikan dan memperkenalkan kepada umat manusia kebenaran risalah Islam dengan rasa, menyentuh jiwa. Jika hal ini kita tunaikan, insya Allah kita tidak akan terjangkit penyakit jiwa dalam dakwah. 

Waspadalah penyakit  jiwa dalam dakwah sangat membahayakan untuk kelangsungan dakwah ini, jangan sampai, sekali lagi jangan sampai, kita menyangka telah menunaikan kewajiban dakwah ini dengan benar, tapi ternyata kita malah menyemai batu penarung kelangsungan dakwah, karena jiwa kita sakit. Ya Allah, berikan kami kekuatan menjaga jiwa kami.  

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Memposisikan Ujian Dakwah


Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Duhai ... sesungguhnya pertama sekali yang layak kita ucapkan adalah syukur kepada Allah SWT yang telah mengizinkan kita untuk terjun dalam barisan dakwah, walaupun hakikatnya kita belum layak dikatakan aktifis dakwah. Shalawat teruntuk panutan para aktifis dakwah, Rasulullah SAW.

Untuk membakar semangat dakwah kita, Ana mulai penyampaian ini dengan mengutip sebuah kisah yang dituturkan Ibnu al-Jauzi dalam karya beliau “ Ahla al-Hikayat min Kitabi al-Adzkiya ”, diterjemahkan oleh Abdurrahim Ahmad dengan Judul : Humor Cerdas ala Orang-Orang Cerdik ( Jakarta : Qisthi Press, 2007 ) :
Berikut ini adalah kisah tentang kecerdikan Isa a.s :

Suatu hari, Iblis datang menemuinya dan bertanya, “ Bukankah kamu meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi padamu adalah hanya yang telah  ditetapkan Allah bagimu ?”
“ Benar,” jawab Isa a.s.
Lantas, Iblis berkata, ” Kalau begitu, jatuhkanlah dirimu dari atas gunung ini. Sebab, jika Allah menakdirkanmu selamat, pastilah engkau akan selamat !”
Maka Isa a.s. pun menjawab, “ Wahai makhluk terlaknat, sesungguhnya hanya Allah s.w.t saja yang berhak menguji hamba-hamba-Nya. Sementara hamba-hamba-Nya tidak berhak sama sekali untuk menguji Tuhannya.” (( Halaman 10-11 )

Apa yang terlintas dalam pikiran kita disaat memaknai kisah ini ? Sungguh sebuah pengajaran yang begitu luar biasa untuk kita yang meniti jalan dakwah yang mana terasa begitu besar rintangan yang menghadang. Di hadapan kita segala aral melintang untuk memberangus gerakan dakwah yang ingin kita semai ...mungkin kita pernah merasakan dalam pengalaman dakwah yang kita tunaikan ... disaat  kita menyampaikan suatu kebenaran  ...ternyata kita mendapatkan tanggapan “ Alaaa ...h jangan sok alim, memangnya kamu orang yang benar, dijamin masuk sorga, apa yang kamu sampaikan itu apakah kamu mampu menunaikan sepenuhnya, ngaca dong, jangan hanya mampu bicara doang !  ”. Bagaimana perasaan kita disaat itu ?
Disatu sisi kita menyadari, bahwa apa yang dikatakan benar adanya, bukankah masih banyak dosa yang kita lakukan, hal ini tidak dapat kita pungkiri. Namun, jika perasaan ini kita bawakan secara mendalam dan dibiarkan berlarut-larut akan mengakibatkan semangat dakwah kita menjadi down, berujung pada suatu kesimpulan, kita belum layak untuk berdakwah, tapi kita selayaknya menjadi objek dakwah. Muncullah kata hati kita : “ Kita belum layak untuk berdakwah, sebab apa yang kita dakwahi belum tentu kita mampu untuk menunaikannya. ”

Aduhai ... ketahuilah ...

Jika hal ini yang menimpa kita ... sungguh kita telah tertipu, tertipu dengan ujian dakwah yang sama sekali kita tidak menyangka disanalah awal dari kehancuran misi kita dalam membangun izzah Islam wal muslimin. Memang benar ... kita selaku insan yang lemah, tidak terlepas dari kekurangan dan kealpaan, namun hal tersebut bukan berarti kita menjadi lemah, namun hendaknya berubah menjadi sebaliknya, menjadi cambuk agar kita lebih menggiatkan mengejar keutamaan kita disisi Allah SWT, sementara kita tidak berhenti menjalankan misi agung yang Allah SWT tetapkan hanya untuk orang-orang pilihan.

Seandainya para ulama-ulama terdahulu, orang-orang shaleh yang telah menyerahkan dirinya untuk agama ini, berfikiran sama dengan apa yang kita fikirkan, merasa diliputi rasa takut akan kesalahan diri dan takut tidak mampu menunaikan apa yang didakwahkan ... sehingga mereka menutup diri, enggan menunaikan kewajiban dakwah kemungkinan hari ini kita tidak akan mendapatkan cahaya keagungan nilai-nilai Islam. Maka terpendamlah cahaya Islam itu dalam lumpur yang hitam lagi pekat.

Ujian tersebut memiliki dua sisi yang perlu kita cermati dan kita posisikan pada tempatnya, Pertama, hal tersebut bisa jadi ujian yang didatangkan oleh Allah SWT untuk kita, sebagai barometer sejauhmana ketangguhan dan keistiqamahan kita dalam meniti jalan dakwah ini, mampukah kita untuk bertahan atau mungkin malah terkapar tidak beradaya yang berujung pada putus asa. Jika memang hal ini keadaannya, maka obatilah dengan kembali menguak dan mengambil i’tibar dari bagaimana cara Rasulullah SAW mengatasi hal ini. Disaat Rasulullah SAW menyeru orang-orang Thaif, tepatnya Bani Tsaqif, bagaimana reaksi mereka ? Bahkan main-main, Rasulullah SAW dianggap sebagai orang gila dan dilempari dengan batu hingga kaki beliau berdarah. Namun berputus asakah beliau ? Tidak, sama sekali tidak, bahkan beliau melihat dari sisi lain, mengapa orang-orang Thaif menolak ajakan beliau, ya, sesuai dengan kandungan do’a yang beliau lantunkan kepada Allah SWT : Ya Allah, berikanlah petunjuk pada kaumku, sesungguhnya mereka tidak memahami ”. Dengan kecerdasan beliau mampu melihat bahwa penolakan orang-orang Thaif terhadap dakwah bukan berarti mereka menolak kebenaran risalah, tapi tidak lebih dari pada karena mereka belum memahami yang sesungguhnya.

Demikian pulalah kita hendaknya jika mengalami hal yang serupa, dalam kadar dan bentuk apapun, belajarlah bagaimana cara Rasulullah SAW menyikapinya. Dengan ini lebih menguatkan dan memompa semangat kita bahwa sesungguhnya dalam setiap asa yang kita perjuangkan, jika hal tersebut berurusan dalam penegakan risalah dakwah, maka Allah SWT tidak akan membiarkan kita dalam kesendirian. Tapi pertolongan itu pasti akan datang.

Kedua, bisa jadi ujian tersebut adalah, upaya bagi bagi orang-orang yang menentang dakwah ini dengan mematahkan semangat dakwah kita yang masih labil dengan menguji keistiqamahan kita. Jika hal ini yang terjadi, kisah Nabi Isa a.s tersebut cukup kiranya bagi kita sebagai penawarnya, terpatri dalam ucapan Nabi Isa a.s : “ Wahai makhluk terlaknat, sesungguhnya hanya Allah s.w.t saja yang berhak menguji hamba-hamba-Nya. Sementara hamba-hamba-Nya tidak berhak sama sekali untuk menguji Tuhannya.”.

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh      

Upaya Pengembangan Potensi Dakwah Sekolah


Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Alhamdulillaahirabbil’alaamiin, kita ucapkan kepada Allah SWT yang hingga detik ini kita masih diberikan kekuatan dan petunjuk dalam dakwah ini, shalawat  teruntuk Rasulullah SAW.

Ada semacam kerisauan bagi kita, jika kita coba menilik situasi objek dakwah dari kalangan generasi muda, tepatnya kaum pelajar, anak sekolahan. Hal ini mungkin dialami oleh saudara-saudara kita yang bergerak dalam pembinaan dakwah sekolah, dan dakwah remaja dan pemuda. Kerisauan ini diantaranya : Tidak terdapatnya keseimbangan keberhasilan dakwah antara kaum akhwat dengan kaum ikhwah. Dakwah lebih cepat diterima oleh kaum akhwat daripada kaum ikhwah, sehingga tidak heran jika kita lebih sering mendengar istilah “ Forum Annisa’ ” dari pada “ Forum Ar-Rijal ” dalam lingkungan Rohis ( Rohani Islam ) disekolahan. Apakah karena kaum Hawa lebih cepat mendapat hidayah dari pada kaum Adam ? Tentu saja tidak. Atau karena memang jumlah kaum perempuan lebih banyak dari pada kaum laki-laki di permukaan bumi ini ? Hal ini juga bukan alasan.

Setidaknya dalam menyikapi hal ini, ada beberapa fenomena yang perlu kita cermati, sesuai dengan situasi perkembangan kejiwaan anak sekolahan, dari hal ini kita akan mampu menarik suatu jalan keluar. Secara kejiwaan, kaum perempuan lebih cendrung pada hal-hal yang bersifat perasaan, diperhatikan dan pemecahan solusi jiwa mereka yang tidak terungkap. Hal ini mereka peroleh seutuhnya dalam kegiatan rohis, karena memang kita akui, secara umum kegiatan rohis kenyataannya lebih banyak berorientasi pelaksanaannya ke arah sana. Tentunya tanpa mengabaikan mungkin ada rohis yang tidak hanya terfokus pada hal tersebut. Namun, bagaimanapun, pandangan para generasi tersebut, jika berbicara tentang rohis atau dakwah sekolah berarti berbicara tentang hati dan perasaan. Bagaimana menjaga hati, mengelola rasa cinta, ceramah, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan hal yang memang diminati oleh kaum perempuan. Karena kehidupam mereka lebih banyak di dominasi hal tersebut.

Berbeda halnya dengan kaum laki-laki, kecendrungan mereka lebih berorientasi pada pamor dan kekuatan fisik, sehingga tidak heran jika mereka lebih mencintai kegiatan-kegiatan sekolah ekstrakurikuler yang bersifat kompetisi, petualangan, tantangan dan rintangan. Bagi mereka yang ditonjolkan adalah bagaimana mereka selalu menjadi yang terbaik, dielu-elukan banyak orang,  dianggap pemain basket idola, pemain sepak bola yang banyak mencetak gol, atau vokalis band yang memiliki banyak penggemar.

Berangkat dari deskripsi ini, maka kita harus mampu merancang strategi dakwah ke depan untuk gerakan dakwah sekolah, tetap melalui rohis dengan mengagendakan kegiatan rohis sesuai dengan karakter dan kondisi kejiwaan anak sekolahan. Bagaimana kita mampu menjadikan rohis bukan hanya dalam bentuk format pengajian, penyampaian ceramah atau penanaman nilai-nilai melalui nasehat-nasehat di Masjid atau Mushalla, hendaknya ada upaya mengarah pada dunia anak sekolahan, masuk ke dalam dunia mereka, lalu dari sana kita tarik mereka ke arah nilai-nilai yang kita usung. Tentunya masuk ke dalam dunia mereka bukan berarti rohis harus diformat sama dengan dunia mereka, tapi dunia mereka dijadikan metode dan alat untuk penyampai pesan, dengan syarat selama masih dalam koridor kewajaran.  Sehingga rohis tidak lagi berbentuk pengajian rutin layaknya majlis taklim, tapi berisi kelompok-kelompok pelajar Islami yang tetap berada pada kecendrungan kejiwaan mereka. Tidak salah kiranya jika ada tim sepak bola dari rohis, grup nasyid dengan menggunakan alat-alat musik tingkat tinggi, hingga adanya kegiatan-kegiatan Hiking, Out Bound, Perkemahan, Mendaki Gunung, dan seabrek aktifitas yang menjadi kegemaran anak sekolahan. Dari sana nilai-nilai itu ditanamkan kepada mereka. Hal ini juga merupakan upaya pembuktian bahwa anak rohis bukan berarti keningnya harus hitam karena banyak sujud, selalu menunjukkan wajah serius, pakai peci dalam setiap keadaan, dan kegiatannya selalu di Masjid atau Mushalla. Tapi anak rohis adalah sosok-sosok yang mampu menunjukkan dirinya dengan berislam yang benar dengan segala potensi kebaikan yang ada pada dirinya kapan dan dimanapun ia berada.  Jika berprestasi dalam bidang olah raga, dia mampu menjadikan olah raga sebagai ajang untuk syi’ar, jika berpotensi dalam bidang  seni  atau musik dia mampu memposisikan dan mengarahkan  seni dan musik ke jalan kebaikan, bahkan dijadikan lahan untuk menyampaikan risalah, jika dia tergolong pencinta alam dan berjiwa petualang, dia mampu menjadikan hal tersebut sebagai upaya menggali nilai-nilai kebajikan yang tersebar dipelosok bumi. Demikian seluruhnya untuk setiap potensi-potensi dari masing-masing mereka.

Bagi kalangan dakwah kampus hal ini mungkin sebagian besar telah tertunaikan. Sehingga tidak heran jika dalam gurita pergerakan dakwah kampus, ada semacam kejar-mengejar antara gerakan dakwah kaum akhwat dengan gerakan dakwah kaum ikhwah.  Jika dalam gerakan dakwah kampus kita mampu menunaikannya, alasan apa yang menyebabkan kita tidak mampu untuk menunaikannya dalam dakwah sekolah ? Kata kuncinya adalah : Dakwah harus ditunaikan, jangan lihat kondisi dan alasan apapun, tapi lihatlah bahwa dakwah adalah kebutuhan umat, disaat umat merasakan urgensi yang sesungguhnya dari dakwah, maka mereka akan merasa beruntung mendapatkan sentuhan dakwah, termasuk anak sekolahan sekalipun.

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Kejelian dalam Menjaring Barisan Dakwah


Assalaamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji syukur hanya kepada Allah Azza Wa Jalla, Shalawat teruntuk Rasulullah SAW.

Ana ingin sedikit berbagi cerita dengan Antum semua, beberapa hari yang lalu, Ana pernah memberikan pesan terhadap salah seorang murid Ana disuatu madrasah, pesan itu Ana berikan kepadanya setelah  anak tersebut menetapkan pilihan dalam pengambilan jurusan dengan memilih PK ( Program Keagamaan ). PK dalam jurusan madrasah merupakan jurusan pilihan ditingkat Aliyah yang berbasis keagamaan, yakni agama Islam, dalam jurusan ini siswa ditempa dengan nilai-nilai mata pelajaran ke Islaman yang ditanamkan secara mendalam, seperti Akhlak Tasawuf, Ilmu Kalam, Tafsir, Hadits, Ushul Fiqh, Fiqh,Bahasa Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam, serta materi kegamaan Islam lainnya. Materi ini ditanamkan lebih banyak porsinya dibandingkan jurusan selain PK yang berada pada instansi madrasah. Karena memang,  PK khusus jurusan yang berorientasi pada penanaman nilai-nilai ke Islaman. Inti dari pesan yang ana sampaikan : “ Bersiap-siaplah menjadi anak PK ”. Saat itu dia tidak menimpali. Namun kemudian setelah itu dia mengirim pesan singkat melalui SMS dengan pertanyaan mengapa harus bersiap-siap. “ PK bukan hanya sekedar pilihan jurusan, tapi adalah pilihan keimanan, berani masuk ke dalam jurusan PK berarti kita telah menerjunkan diri dalam sebuah perjuangan besar meniti jalan Ilahi, akan banyak ditemukan rintangan dan hambatan yang akan melemahkan, apakah hal itu cemoohan, ejekan dan lain sebagainya yang bersifat melecehkan dan menjatuhkan, namun jangan takut, jika kita bangun dengan kebersamaan semua itu akan dapat diatasi. ” Demikian hakikat dari jawaban yang Ana berikan. 

Tak lama berselang, anak tersebut Ana temukan telah duduk dalam jurusan PK. Subhaanallaah.
Ada perasaan yang membuat Ana terharu dengan fenomena ini, keterharuan tersebut disaat Ana mendapatkan anak tersebut tetap istiqamah dengan pilihannya walaupun telah Ana gambarkan rintangan dan hambatan yang akan di alami. Duhai ... anak sebesar itu, sweetseventeen,  dalam zaman sekarang sulit untuk dicari keistiqamahannya. Bukankah, dengan maaf Ana sampaikan, masa-masa itu adalah masa-masa mencari jati diri, sulit untuk diarahkan, ingin menang sendiri, dan cendrung pada hal-hal yang disenangi oleh nafsu. Namun ia menetapkan pilihan hidup dengan menentang arus dan kebiasaan layaknya remaja sweetseventeen, dia rela menerjunkan dirinya dalam sebuah lingkaran yang memiliki rintangan dan hambatan yang begitu dahsyat, ya, lingkaran itu adalah lingkaran dakwah. Padahal, kecendrungan sebagian anak-anak zaman sekarang lebih mengarah pada hedonisme, bagaimana mereka mendapatkan kesenangan hidup sesuai dengan tuntutan nafsu dengan mengabaikan norma-norma yang ada, siapa lu siapa gue, emangnya gue pikirin, demikian falsafah mereka. Kalaupun bicara tentang cita-cita, harapan mereka lebih bertumpu pada bagaimana pendidikan dijadikan alat untuk mencapai dunia kerja, agar dapat mendapatkan pekerjaan yang dapat mengumpulkan harta melimpah, materialistis.

Disinilah keterharuan  Ana tersebut, terlepas dari apa sebenarnya nawaitu yang ingin dia kejar dengan mengambil jurusan PK, namun secara lahiriah  membuktikan bahwa dari sekian  seringnya kita memandang negatif terhadap generasi yang dalam proses mencari jati diri, terdapat dikalangan mereka yang bisa diharapkan dan ditanamkan harapan untuk mengusung dakwah ini. Hal-hal inilah hendaknya yang menjadi perhatian kita dan dijadikan skala utama dalam menambah panjangnya  barisan dakwah. Hendaknya hal ini juga menyadarkan kita, ternyata orang-orang yang istiqamah dan mencintai dakwah ini begitu banyak, bahkan berada dekat disekitar kita, hanya saja karena kurang jelinya kita dalam menangkap situasi menyebabkan mereka tidak terjaring dan masuk dalam satu barisan dakwah yang kita usung.

Assalaamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Upaya Membangun Format Dakwah


Assalaamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Bersyukur kita kepada Allah SWT yang telah menancapkan cahaya iman ke dalam relung kehidupan kita, yang telah mengajarkan kita akan sebuah pilihan hidup yang sesungguhnya. Shalawat kita curahkan buat Rasulullah SAW.

Ada kesan tersendiri yang saya peroleh disaat melepas lelah dalam perjalanan di malam hari mendaki Gunung Merapi yang bersebelahan dengan Gunung Singgalang. Saat itu, dalam satu rombongan di tengah perjalanan malam, kami yang terdiri dari para ikhwah beristirahat disuatu tempat, ditemukan ada rombongan lain yang juga mengadakan perjalanan dengan tujuan yang sama, mendaki Gunung Merapi,  mereka terdiri dari para pemuda. Dalam istirahat tersebut ketua rombongan kami memberikan komentar terhadap para pemuda tersebut, komentar beliau diarahkan kepada kami sebagai pengikut rombongan.  “ Mereka anak-anak muda itu, tidak terjamah oleh Dakwah-dakwah di Masjid, karena mereka hidup di alam bebas, ” Demikian intisari makna komentar beliau.

Bagi Ana komentar beliau tersebut menggambarkan betapa dakwah itu tidak cukup hanya ditunaikan melalui ceramah-ceramah atau diskusi-diskusi di Masjid, karena tidak akan menjamah seluruh potensi umat. Apalagi jika kita melihat fenomena yang tumbuh berkembang dalam masyarakat, Masjid masih jauh dari kalangan anak-anak muda, hanya didominasi oleh kaum tua, dan itupun mayoritas oleh kaum ibu-ibu. Padahal secara syari’at, yang dituntut untuk datang ke Masjid lebih utama adalah kaum laki-laki, sementara kaum wanita lebih dituntut untuk di rumah.

Masih sunyinya Masjid dari kalangan generasi muda hendaknya menguras cara berfikir kita bagaimana merancang strategi dakwah agar semata-mata tidak lagi aktifitas dakwah berpusat di Masjid, namun kita harus turun ke lapangan, berbaur dengan generasi tersebut, ikuti jalan kehidupan mereka, lalu lambat laun kita arahkan mereka ke jalan Masjid sebagai pusat sentral dalam institusi pergerakan dakwah.
Inilah makna yang dapat Ana tangkap dari penuturan ketua rombongan tersebut, kita harus masuk ke dalam dunia objek dakwah, jangan telalu memaksakan konsep dakwah dengan konsep yang ideal. Memang kita dituntut untuk idealis dalam urusan dakwah, namun bukan berarti menutup cara pandang realistis. Suatu hal yang ideal tanpa dikolaborasikan dengan realita hanya akan terkungkung dalam tataran ide atau teori yang tidak melahirkan sebuah kesimpulan hasil, tapi berputar-putar diantara angan-angan yang tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas.

Maka jangan heran jika kita pernah mendengar terdapat sebuah organisasi pergerakan dakwah yang memiliki klub sepak bola, kelompok pencinta alam, atau grup musik Islami yang bernuansa harakah, serta adanya kegiatan-kegiatan kemah dakwah. Hal tersebut tiada lain karena menyadari sepenuhnya bahwa untuk menjaring objek dakwah tidak cukup hanya dengan membawa mereka ke dalam dunia dakwah dengan ucapan-upacapan lisan dan nasehat-nasehat belaka, disebabkan terkadang mereka tidak memahami hakikat sesungguhnya sebelum mereka sendiri merasakan nilai-nilai dakwah itu dalam kehidupan nyata mereka. Sementara, permasalahannya, mereka enggan masuk dalam sebuah komunitas dakwah, ya, itu, dikarenakan mereka tidak memahami hakekat dakwah yang sesungguhnya. Untuk itu tinggal kita lagi yang dituntut, bagaimana upaya kita dalam menjaring mereka agar dapat merasakan nilai-nilai dakwah, hal tersebut diantaranya dengan memasukkan ruh dakwah ke dalam kehidupan yang mereka jalani.
Kesimpulannya, jika mereka tergolong pada para pemuda para pencinta alam, tuntutan dakwah hendaklah dikemas dengan format pencinta alam, jika mereka adalah terdiri dari kelompok para pelajar intelektual, tentunya tuntutan dakwah juga dikemas dengan gaya intelektual, begitu juga jika objek dakwah terdiri dari kaum ibu-ibu yang sudah tua renta dan lebih senang menghabiskan masa tuanya dengan beribadah, maka orientasi dakwah juga hendaknya mampu dirancang sesuai dengan kebutuhan mereka. Intinya adalah, dakwah dimana, kapan, dan dalam bentuk apapun harus mampu disesuaikan dan diasimilasikan dengan kebutuhan. Namun, tentunya harus diperhatikan tetap berada dalam koridor yang wajar, bukan dengan cara yang kebablasan yang berkibat malah melenceng dari tujuan yang ingin dicapai. Disini sangat dibutuhkan kehati-hatian, karena setan itu masuk di tempat-tempat yang paling kita anggap baik.

Assalaamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Menghapus Konsep Figuritas Dalam Dakwah


Assalaamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Alhamdulillaahirabbil ‘aalamiin. Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa ali Muhammad.

Beberapa tahun yang lalu, K.H. Abdullah Gymnastiar, atau lebih populer dengan panggilan Aa’ Gym menghadapi ujian yang begitu berat, beliau diserang dari berbagai arah, terutama dari kalangan ibu-ibu, dikarenakan mengambil tindakan yang dianggap kontradiktif bagi kalangan sebagian kaum hawa, poligami. Hal tersebut tidak main-main, tokoh yang terkenal dengan bengkel akhlak dengan Manajemen Qalbunya ini mengalami pemorosotan pengikut jamaah yang luar biasa drastis ba’da keberaniannya mengambil keputusan tersebut. Jauh sebelum itu, kita juga pernah mendengar dan menyaksikan, K.H. Zainuddin, MZ yang pernah mendapat julukan  “ Da’i Sejuta Umat ” mengalami penurunan pengikut yang juga sangat drastis, semenjak beliau berani menerjunkan diri ke dalam dunia politik.

Tanpa disangkal, dua tokoh agama di negri ini memang memiliki kharismatik yang luar biasa dalam menyampaikan tausiah-tausiah seputar ke Islaman. Mereka merupakan penda’i yang memiliki ciri khas tersendiri dalam metode menyampaikan dakwah, sehingga membuat umat terpukau dan menerima ajaran mereka dengan sepenuh hati. Namun ada satu hal yang membuat kita miris, disaat melihat apa yang terjadi setelah itu, disaat apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan keinginan umat, padahal, apa yang mereka lakukan toh, sama sekali tidak melanggar syari’at. Umat langsung berbalik menjauhi mereka.
Inilah dalam konsep dakwah yang disebut dengan figuritas, artinya dakwah yang terbangun dengan baik hanya dikarenakan pengaruh kharismatik tokoh, figur semata, bukan karena keinginan umat untuk menerima substansi dakwah yang sesungguhnya. Orang Minangkabau mengatakan “ rancak di labuah ”, kelihatannya sangat luar biasa, tapi sebenarnya bukan seperti yang kelihatan. Konsep figuritas tidak akan membawa perubahan apa-apa pada umat, hanya bersifat sementara dan akan punah dengan sendirinya seiring dengan pudarnya pamor figur yang dijadikan ukuran.

Lantas, apakah Aa’ Gym dan K.H. Zainuddin, MZ, salah dalam hal ini ? Tentu saja tidak, secara jujur mereka malah layak diapresiasi dengan kemampuan mereka memformat dakwah dengan cara yang menarik bagi umat. Bahkan kita bangga memiliki mereka, dan kita tentunya berprasangka baik bahwa mereka tiada niat sedikitpun untuk menjadikan diri mereka figur, namun yang harus menjadi bahan renungan dan pemikiran kita, dari sana hendaknya menjadi pelajaran dan menyadarkan kita, ternyata kecendrungan umat lebih pada konsep figuritas, bukan pada substansi dakwah yang sesungguhnya. Dari sinilah kita mengambil pijakan awal untuk menentukan strategi dakwah bagaimana mengalihkan konsep figuritas menjadi konsep yang lebih mengarah pada pemahaman pada substansi dakwah, sehingga umat, dikala mereka kehilangan tokoh yang membawa risalah dakwah, dikarenakan sesuatu dan lain hal, substansi dakwah tetap terjaga dan melekat dihati umat.

Demikianlah kiranya yang diterapkan Rasulullah SAW, walaupun pada hakekatnya diantara salah satu keberhasilan dakwah beliau memang karena figur beliau yang bergelar “Al Amin ”, namun Rasulullah SAW tidak menjadikan hal tersebut standar ukuran bagaimana umat menerima dakwah yang sesungguhnya. Sehingga beliau membangun sebuah konsep penanaman ruh substansi dakwah dengan konsep halaqah di rumah Arqam bin Abil Arqam, yang merupakan institusi dan madrasah pertama. Disana berjalan proses kaderisasi yang berksinambungan. Dari lembaga itu lahirlah generasi-generasi tangguh, istiqamah dan solid dalam urusan dakwah. Walaupun Rasulullah SAW telah wafat.

Assalaamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Menepis Keragu-raguan Dalam Dakwah


Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kita bukti-bukti sejarah yang agung, yang telah menunjukkan kepada kita bahwa kekuatan iman sangat menentukan akan sebuah keberhasilan sebuah perjuangan. Shalawat teruntuk Rasulullah SAW.

Inilah kisah yang membuat jiwa-jiwa pemberani bergetar, inilah sejarah yang membuktikan akan kekuatan sebuah keimanan, inilah kisah para perindu syahid yang entah akan muncul kembali tandingannya ..., ya kisah luar biasa yang telah dicontohkan para shahabat agung, para shahabat yang mendapatkan gemblengan tarbiyah dari madrasah Rasulullah SAW. Akan Ana sampaikan kisah ini dengan merujuk kepada penuturan Dr. Muhammad Husain Haekal, Ph. D dengan judul “ Hayat Muhammad ”, ( terbitan Dar Al-Maaref,119, Corniche El-Nil, Cairo, Egypt ), yang diterjemahkan oleh Ali Audah dengan judul “ Sejarah Hidup Muhammad ”, ( Jakarta : Tintamas, 1984 ) :

Dalam bulan Jumadil Awal tahun kedelapan Hijrah ( tahun 629 M ), dalam ekspedisi Mu’ta Nabi SAW memanggil tiga ribu orang pilihan, dari sahabat-sahabatnya, dengan menyerahkan pimpinannya kepada Zaid bin Haritha dengan mengatakan :

“ Kalau Zaid gugur, maka Ja’far bin Abi Thalib yang memegang pimpinan, dan kalau Ja’far gugur, maka Abdullah bin Rawaha yang memegang pimpinan.”

... Disinilah Zaid bertempur mati-matian sehingga akhirnya hancur luluh ia oleh tombak musuh. Saat itu juga benderanya disambut oleh Ja’far bin Abi Thalib dari tangannya. Ketika itu usianya baru tigapuluh tiga tahun, sebagai pemuda yang berwajah tampan dan berani. Ja’far terus bertempur dengan membawa bendera itu.
Bendera waktu itu dipegang di tangan kanan Ja’far; ketika tangan ini terputus, dipegangnya dengan tangan kirinya; dan bila tangan kiri ini pun terputus, dipeluknya bendera itu dengan kedua pangkal lengannya sampai ia tewas.

Setelah Ja’far tewas bendera diambil oleh Abdullah ibn Rawaha. Dia maju dengan kudanya membawa bendera itu. Sementara itu terpikir olehnya akan turun saja. Ia masih agak ragu-ragu. Kemudian katanya :
O diriku, bersumpah aku
Akan turun engkau, akan turun
Aku masih terpaksa juga
Jika orang sudah berperang
dan genderang sudah berkumandang
Kenapa kulihat kau masih membenci surga ?

Kemudian diambilnya pedangnya dan dia maju terus bertempur akhirnya dia pun tewas juga.

... setelah berita ini diketahui oleh Nabi, ia sangat terharu sekali, terutama terhadap Zaid dan Ja’far. Lalu katanya : Mereka telah diangkat kepadaku di surga – seperti mimpi orang yang sedang tidur – di atas ranjang emas. Lalu saya lihat ranjang Abdullah bin Rawaha agak miring daripada ranjang kedua temannya. Lalu ditanya : Kenapa begitu ? Dijawabnya: Yang dua orang terus maju, tapi Abdullah agak ragu-ragu. Kemudian terus maju juga. ... ( Halaman 485 dan 487-488 ).

Aduhai ... begitu agung kisah ini,bukan dongengan belaka, apalagi cerita pembual yang mampu mengukir kata, tapi kisah nyata sarat makna yang harus kita gali agar tidak hanya menjadi sejarah yang terlupakan.
Tertanam suatu nilai begitu luar biasa yang dapat kita tangkap dalam peristiwa ini, pembelajaran dalam menetapkan tekad perjuangan menegakkan izzah islam wal muslimin agar tidak ragu-ragu. Setiap kita meyakini, dan mungkin akan sepakat,bahwa shahabat sekaliber Abdullah bin Rawaha merupakan shahabat agung yang memiliki tingkat keimanan tidak perlu lagi diragukan. Bukti keagungan beliau dapat dibuktikan dengan terpilihnya sebagai pemegang pimpinan setelah Ja’far dan langsung ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Tapi mengapa terjadi hal yang mungkin menurut pemikiran kita suatu peristiwa yang tidak layak disandang oleh seseorang sekaliber shahabat.

Disini kita bukan untuk menghakimi Abdullah bin Rawaha, namun mencoba menggali pengajaran yang disampaikan Allah SWT melalui hamba-hamba-Nya yang shaleh. Pertama, kita harus mengakui, terkadang muncul keraguan dalam diri kita akan hasil sebuah perjuangan, disaat kita merasakan rintangan dan hambatan dakwah yang terasa semakin berat dan melelahkan, sementara gelombang serangan dari musuh-musuh kita terasa semakin memiliki kekuatan dan mencapai hasil kegemilangan yang berlipat ganda. Proses dakwah yang kita lakukan terkadang terasa jalan di tempat bahkan merosot, berbagai macam cara rasanya telah kita tunaikan, namun hasilnya tetap berada pada tahap di bawah garis memuaskan. Memang demikian kenyataannya perasaan tersebut, hal itu pulalah kiranya yang dirasakan Abdullah bin Rawaha disaat menemukan kenyataan pahit gugurnya dua pimpinan perang yang gagah berani Zaid dan Ja’far. Muncul dihatinya keragu-raguan. Namun disini kata kunci itu terkuak, Abdullah bin Rawaha mengajarkan kepada kita, keragu-raguan itu harus ditepis dan tidak boleh dibiarkan berkembang apalagi mekar, sehingga dengan cepat dia merengsek maju dan menetapkan pilihan hidupnya, syahid di jalan Allah SWT. Nilai inilah selayaknya kita tanamkan dalam jiwa kita, disaat keragu-raguan akan pencapaian hasil sebuah perjuangan terbersit dalam jiwa, tepislah segera, bangkit dan maju. Jangan biarkan sedetikpun waktu keragu-raguan itu mengendap apalagi membentuk kekuatan yang bermuara pada keputusasaan.

Kedua, ketahuilah, tekad dan azzam itu sangat menentukan kadar hasil yang diperoleh, Subhaanallaah, hanya sedikit keragu-raguan yag muncul dalam jiwa Abdullah bin Rawaha namun dapat membedakan hasil yang diperoleh beliau dibandingkan Zaid dan Ja’far.  Duhai ... begitu besar peran tekad dan azzam itu, tidak boleh terkontaminasi dengan apapun, sesedikit apapun, karena bagi Allah SWT tiada satupun yang luput dari pantauan-Nya, sungguh Allah SWT Maha Adil dalam menetapkan urusan.
Bagaimana tekad dan azzaam kita hari ini ? Semoga kita diberi kekuatan oleh Allah SWT untuk tetap istiqamah dalam jalan dakwah ini, dengan tekad dan azzam ikhlas hanya mengharapkan keridhaan Allah SWT.

Assalaamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh