Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh
Bersyukur selayaknya kita persembahkan kepada Allah rabbul ‘izzati, yang telah menumbuhkan jiwa kita dengan naluri kebenaran, shalawat teruntuk Rasulullah SAW yang memiliki nurani terjaga dari segala macam penyakit hati.
Ana tersentak disaat membaca tulisan A.R. Rizal dalam kolom Langgam dengan judul : “ Makanan Jiwa ” pada Harian Umum Independen Membina Harga diri Untuk Kesejahteraan Nusa dan Bangsa Singgalang Minggu ( 3 Juli 2011/2 Sya’ban 1432 H), penggalan tulisan tersebut :
“ Penyakit terbesar di muka bumi ini adalah penyakit jiwa. Remaja yang sakit jiwa, mereka kebut-kebutan di jalan raya. Matilah ia terpental dari motornya. Anak-anak muda yang sakit jiwa, bermesum saja kerjanya. Hamil di luar nikah, aborsi dibuatnya. Matilah balita-balita di dalam kandungan ibunya. Belum lagi orang-orang kasar di jalan raya, orang-orang pintar yang tak beretika, hingga koruptor yang penjarah yang merajalela. Itu semua penyakit jiwa. Orang-orang yang memberi makan jiwanya dengan seni, maka akan sejuk bathinnya, perasa orangnya. Orang yang penyuka sastra, hebat tutur sapanya, penuh santun dan peribahasa.” ( Halaman A-11 )
Penyakit jiwa, bagi kita mungkin yang terbayang orang-orang yang rusak akalnya, alias gila. Gila dalam literatur bahasa Arab disebut dengan majnun ( tertutup akalnya ). Tapi benarkah orang yang mengalami penyakit jiwa rusak atau tertutup akalnya ? Disinilah kita perlu mengambil perluasan pemahaman tentang penyakit jiwa yang sesungguhnya, agar kita lebih mnegaca pada diri, jangan-jangan kita menyangka jiwa kita sehat-sehat saja, tapi ternyata kita lebih kronis dibandingkan saudara kita yang menghabiskan hidupnya di rumah sakit jiwa. Kita sering memperolok-olok orang gila di tengah jalan, namun kenyataannya kita lebih layak diolok-olok.
Definisi yang dituturkan A.R. Rizal rasanya mewakili makna penyakit jiwa yang sesungguhnya, namun banyak yang tidak menyadari, atau pura-pura tidak sadar. Penyakit jiwa hakikatnya virus yang mendekam dalam diri, selalu mengajak, dan memberikan dorongan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nurani kebaikan, awalnya dilakukan secara berat karena fitrah manusia cendrung pada kebenaran, tapi karena dianggap remeh dan ditunaikan secara kontinue, lambat laun menjadi ringan dan biasa, akhirnya mati rasa, saat inilah seseorang dikatakan telah tertimpa penyakit jiwa.
Mengapa hal ini terjadi ? Mafhum mukhalafah dari penuturan A.R Rizal tersebut, orang-orang yang ditimpa penyakit jiwa adalah orang-orang yang tidak mencintai seni dan sastra, karena dengan sentuhan seni seseorang akan menjadi sejuk batinnya dan memiliki rasa yang halus, begitu pula seseorang yang mencintai sastra santun bahasanya.
Seni dan sastra menanamkan rasa, demikianlah kenyataannya. Maka urusan seni dan sastra hakekatnya urusan rasa, rasa itu terdapat dalam jiwa, hanya orang-orang yang memiliki rasa yang mempu memposisikan jiwanya. Jiwa akan tumbuh dengan baik jika ditanamkan rasa yang baik, sebaliknya jika dipompa dengan rasa yang jelek akan menggelembung kejelekan pula. Maka rasa inilah yang membentuk jiwa. Disinilah korelasi makna Nasihat Umar Bin Khattab yang dipetik Taufiq Ismail dalam kata pengantarnya terhadap karya Anis Matta “ Mencari Pahlawan Indonesia ” ( Jakarta : The Tarbawi Center, 2004, h. Xi ) : “ Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, agar anak pengecut jadi pemberani. ” Sebab sastra adalah bagian dari rasa.
Dakwah hakikatnya menanamkan rasa, rasa yang menyadarkan insan akan hakikat untuk apa diciptakan, apa amanah yang harus dipikul, serta kemana arah tujuan dibebankan kewajiban selaku hamba, ya, semua itu urusan rasa. Jika dakwah ini ditanamkan dan disebar luaskan dengan rasa, maka akan mampu mengubah jiwa-jiwa pendosa menjadi pengabdi. Demikian adanya Rasulullah SAW menunaikan risalah ini. Dengan rasa, beliau mampu mengubah watak-watak Badwi yang kasar menjadi lembut, menundukkan keangkuhan pemuka-pemuka Quraisy, meramahkan jiwa premanisme, ya, sekali lagi dengan rasa.
Bukankah dinegri ini, sejarah menjadi saksi, bahwa Islam sebagai agama yang membawa pada keselamatan disebarkan dengan rasa, bukan dengan pedang dan kekerasan, para pedagang Arab serta para sufi mengajarkan Islam dengan rasa, melalui pendidikan dan tasawuf diantara metode-metode rangkaian penyebaran Islam di Zamrud Khatulistiwa ini. Hasilnya dapat kita lihat, hingga dewasa ini Islam tetap eksis di bumi persada sebagai agama mayoritas dan memiliki pengaruh yang begitu luas.
Untuk itu, bagi kita yang telah menerjunkan diri dalam shaf dakwah ini, hendaknya mengaca diri, dan lebih mampu belajar dengan metode-metode yang telah digariskan oleh para pendahulu kita yang tentunya tidak kita ragukan lagi upaya dan kesungguhan serta kecintaan mereka terhadap dakwah ini, yakni mengajarkan, menyampaikan dan memperkenalkan kepada umat manusia kebenaran risalah Islam dengan rasa, menyentuh jiwa. Jika hal ini kita tunaikan, insya Allah kita tidak akan terjangkit penyakit jiwa dalam dakwah.
Waspadalah penyakit jiwa dalam dakwah sangat membahayakan untuk kelangsungan dakwah ini, jangan sampai, sekali lagi jangan sampai, kita menyangka telah menunaikan kewajiban dakwah ini dengan benar, tapi ternyata kita malah menyemai batu penarung kelangsungan dakwah, karena jiwa kita sakit. Ya Allah, berikan kami kekuatan menjaga jiwa kami.
Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh