WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO
WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

Jumat, 05 September 2014

Catatan Memori Hiking Ukhuwah PK MAN Maninjau Tiga Generasi

Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh
Puji syukur kepada Allah swt. Shalawat teruntuk Rasulullah saw.



Tak ada satupun yang luput dari penjagaan Allah swt. Selama suatu proses pijakan dan landasan hidup tertanam dalam bentuk azzam yang menggelora yang hanya mengharap ridha-Nya, insya Allah semuanya akan berakhir dengan suatu kenyataan yang menggembirakan.
Sesungguhnya masa lalu adalah sesuatu yang tak akan terulang, ia merekam jejak langkah kita dan menjadi saksi sejarah yang telah ditanam. Kala ia berbuah suatu prestasi kebajikan maka beruntunglah orang-orang yang mendapatkan cahayanya yang berpendar. Sebab selama bumi masih terkembang, ia menjadi prasasti kebajikan yang menjadi keteladanan orang-orang sesudahnya, mengalirlah amal kebajikan itu dari pancaran mata airnya yang bening laksana air terjun berkilau atas terpaan mentari pagi yang menyegarkan.
Dan,
Masa depan di dunia ini adalah suatu hal yang jauh dari pikiran dan imajinasi, misteri hidup yang tak terukur, entah dapat diraih atau tidak. Sesungguhnya masa depan tak terkalahkan adalah masa depan akhirat, disana terbentang keadilan dan segala macam bentuk akibat dari apa yang ditanam hari di dunia.
Jelas sudah, hari ini, itulah hari kita yang menentukan. Menentukan pilihan hidup, apakah akan menjadi orang beruntung, atau memilih menjadi orang yang menyesal. Hari inilah kita menanam apa yang bisa kita tanam, agar kelak hasilnya dapat diraih pada waktu yang telah ditentukan.
Siapa yang tidak pernah mengambil bagian dari kehidupan yang terindah, niscaya ia takkan merasakan keindahan abadi kelak di akhirat.
Sungguh !
Keindahan ukhuwah, kebersamaan, berbagi, dalam relung-relung jiwa saudara seperjuangan dalam iman adalah keindahan yang begitu dahsyat. Ia dapat meluluhlantakkan keegoan dan fanatisme, membungkam jiwa-jiwa para pendengki walau hanya untuk sekedar mengucapkan satu kata, menghancurkan tembok-tembok penghalang sekeras karang sekalipun, dan ketahuilah …ia merupakan suatu kekuatan yang sejarah telah membuktikan dapat menghancurkan keangkaramurkaan yang dibisikkan para Iblis la’natullah.
Untuk kita kawan,
Tidakkah engkau merasakan keindahan hidup telah menjalar dalam jiwa-jiwa kita ? Dalam komunitas besar yang kita bangun dari generasi-generasi. Ya, komunitas keluarga besar PK MAN Maninjau. Dalam simpul akidah yang begitu kokoh, belajar tentang Islam agar kita menjadi penuntut ilmu yang benar-benar mengamalkan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah  saw. Belajar untuk saling mencintai dan saling menghargai, dan segala macam permasalahan kita atasi dengan dasar ukhuwah.
Tidakkah engkau merasakan kawan?
Bahwa, ternyata kita telah besar, jumlah kita semakin banyak, dan telah banyak diantara kita yang membuktikan bahwa kita layak menjadi yang terbaik, karena memang kita layak untuk itu. Layak karena kita telah berjuang, karena kita memang berjuang, dan karena kita yakin akan makna sebuah perjuangan. Satu hal, karena kita yakin bahwa kita berada dalam perjuangan titian yang benar, berjuang atas ridha yang Allah swt. berikan pada orang-orang yang bersedia meniti jalan-Nya. 
Hari ini, ….
Kisah kita terekam, jejak kitapun terukir, mata rantai sejarah kita semakin panjang, dalam memori yang begitu indah, dalam kenangan yang mengharu biru, dalam decak kagum menyaksikan keindahan ciptaan Allah swt, dalam derai tawa ditengah peluh dan keringat yang membasahi badan, hiking di seputaran Dama Gadang, 31 Agustus 2014 ini adalah mata rantai mozaik kebersamaan kita yang terukir dalam pahatan-pahatan sejarah, dalam ukiran-ukiran dinding batu ukhuwah.
Tak tanggung-tanggung, tahun ini (1435 H), tiga generasi PK MAN Maninjau menyatu, menyatunya hati kita. Generasi yang kita sematkan sebagai bentuk upaya nawaitu agar kita mampu menjadi apa yang kita sematkan pada diri kita; Generasi Hadhari (X PK), Generasi Wira’i (XI PK), dan Generasi Ash-Haby (XII PK).




Kenanglah …!!!
Pagi itu, Minggu, 31 Agustus 2014, hujan megguyuri bumi, adakah keraguan dihati kita kawan? Untuk menuntaskan nawaitu yang telah kita bangun ? Nawaitu untuk menyusuri hutan dan perkampungan Dama Gadang hanya dengan berjalan kaki, Hiking . Yang jelas, keraguan tidak akan dapat mengalahkan tekad, dan kita memilih tekad itu.




Kesudahannya, kala tekad kita telah bulat, jiwa kita telah kokoh, dan kita yakin bahwa yang kita lakukan adalah suatu kebajikan, lihat bagaimana Allah swt. mengatur urusan kita. Boleh saja pagi itu hujan, boleh saja keadaaan menghimpit  menuntut membatalkan nawaitu. Tapi kita punya Allah swt. yang mengatur segala urusan. Dan kita yakin urusan yang ditetapkan Allah swt. terhadap kita tepat.
Dan kitapun berangkat. Para kafilah tiga generasi dengan segala macam kegembiraan, menuju hutan dan perkampungan Dama Gadang yang begitu asri. Jalan-jalan yang berliku, berkelok, mendaki, terkadang menurun, dipayungi langit yang begitu damai tak menyengat, menghadiahi kita perjalanan yang begitu indah sarat kenangan.




Dimana hujan  tadi ???
Ia seakan raib dihisab nawaitu kita yang menggelora, ia menyingkir dari cita-cita kita, karena sesungguhnya ia patuh pada aturan Allah swt. yang telah memberi kita izin untuk menuntaskan misi yang begitu hebat, merajut ukhuwah dalam ikatan yang kokoh melalui agenda besar. Subhaanallaah !!! Indahnya jalan hidup ini kala kita sikapi penuh kesyukuran.




Shahabat,
Seperti itulah kita, diajarkan membangun kebersamaan, membangun cinta dan ukhuwah, melalui alam sebagai bagian dari ayat-ayat Allah swt. Apa yang kita bangun dalam perjalanan Hiking, saling tolong menolong, saling peduli, saling menasehati, dan merasa kita satu bangunan yang kokoh, akan mampu membentuk kita menjadi pribadi yang kuat, baik secara individual, maupun secara sosial.




Inilah kita keluarga besar PK MAN Maninjau. Kita bersaudara, kita se-Iman, kita seperjuangan. Apa yang hendak kita raih dalam jama’ah ini jelas, ilmu yang hendak kita peroleh nyata, dan apa tujuan kita menjadi bagian ini tak diragukan.



Sahabat,
Kita diciptakan untuk beribadah, bukankah demikian Allah swt. mengajarkannya (Lihat Q.s. Adz-Dzariyat : 6). Kita mengemban misi sebagai khalifah dipermukaan bumi, pemegang amanah. Lantas dimana kita akan meraihnya kalau bukan pada komunitas jama’ah yang mengajarkan untuk itu? Dan kita sadar, segala tujuan kita diciptakan, misi kita, dan amanah yang kita emban berada dalam doktrin yang begitu sempurna yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Kenyataannya dalam komunitas ini, dalam keluarga besar PK MAN Maninjau,  itulah yang kita gali, kita pelajari, dan kita amalkan. Siapa yang berani membantah kebenaran ini?
Kebersamaan dalam hiking ukhuwah inipun bagian dari pembelajaran kita, bahwa kala hati kita disatukan, maka segala sekat dan pernak-pernik yang menjadi batu penghalang akan luluh dan lebur menjadi debu. Dalam Hiking kita rasakan indahnya kekuatan kebersamaan, kala lemah kita merasakan kelemahan itu bersama-sama dengan saling menguatkan, kegembiraan kita nikmati bersama, tidak ada kita yang lebih hebat, namun kita menjadi hebat dengan kebersamaan kita. Inilah jama’ah, inilah komunitas, dan inilah konsep perjuangan, karena sesungguhnya perjuangan itu dibangun secara berjama’ah.
(Catatan memori hiking ukhuwah keluarga besar PK MAN Maninjau, 31 Agustus 2014 di seputaran Dama Gadang)

Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh  




Rabu, 06 Agustus 2014

Wasiat Untuk Remaja Islam (13) : Jangan Tasyabbuh, Tunjukkan Dirimu Sebagai Muslim


Ketahuilah …!

Tasyabbuh atau menyerupai orang-orang kafir adalah tindakan orang-orang yang paling bodoh, tindakan orang-orang yang lemah dan tidak menyadari kemuliaan Islam. Sesungguhnya orang-orang Arab jahiliyah itu menjadi hina karena kejahilan akidah dan akhlak yang tercermin dari gaya hidup mereka. Mereka bukan orang bodoh yang tidak berilmu pengetahuan. Mereka kaum cerdas yang memiliki tingkat daya fikir yang begitu tinggi, ahli sya’ir dan memiliki keteguhan jiwa dalam perjuangan hidup. Namun mereka menjadi hina dikarenakan akidah dan akhlak mereka yang menyimpang dari fitrah. Kala Islam datang, mereka menjadi mulia, kedudukan kaum perempuan mendapat tempat, bahkan dari mereka lahir-lahir sosok hebat yang dahsyat luar biasa hingga melahirkan peradaban yang memancar ke penjuru dunia. Mereka menjadi bangsa yang dihargai dan dimuliakan, mereka menjadi kekuatan super power di bawah nilai-nilai Islam, berabad-abad lamanya, dan wilayah yang mendapatkan pengaruh merekapun menjadi mulia dengannya.

Untuk itu, apa alasan untuk mencari jalan lain selain Islam untuk mencapai kemuliaan? Islam telah mengajarkan sistem hidup yang mulia, menanamkan nilai-nilai konsep hidup yang sesungguhnya. Mengenalkan kita pada Sang Pencipta, untuk apa kita hidup, dan mengatur interaksi antar sesama, bahkan dengan alam semesta.

Maka, tidak ada alasan bagimu wahaaa…iii generasi Islam !, untuk mencari dan menerapkan gaya hidup yang dipertontonkan musuh-musuhmu, cara-cara hidup kaum kafir yang hendak memalingkan nilai-nilai ajaran agamamu yang luhur. Sesungguhnya hal itu tidak lebih dari cara-cara mereka yang hendak memalingkanmu dari ajaran keluhuran Islam sebagai agamamu. Bahkan betapa banyak dari kalangan yang tidak se-akidah dan tidak seagama denganmu yang meniru dan menerapkan keluhuran ajaran agamamu, pertanda mereka mengakui kesempurnaan ajaran agamamu.

Tasyabbuh dengan Meniru-niru gaya hidup orang-orang kafir merupakan kesalahan fatal bagimu yang menunjukkan kedangkalan pemahamanmu tentang Islam. Dan Ketahuilah …, hal itu hanya akan menjerumuskanmu pada jurang-jurang kejahiliyahan.

Aduhai …, ketahuilah … !

Bangsa Arab jahiliyah menjadi mulia dengan Islam seperti yang kau anut. Jika kau memilih cara-cara hidup musuh-musuhmu dari kaum kafir, sesungguhnya engkau ingin mengembalikan dirimu pada kejahiliyahan, dan itu artinya engkau hendak menghinakan dirimu. Kebodohan apa yang melebihi kebodohan ini? Renungkanlah …pikirkanlah dengan pemikiran yang sehat, gunakan akalmu sebelum kemuliaannya dicabut dari dirimu.

Jangan engkau mencari-cari alasan, bahwa engkau meniru-niru gaya hidup mereka hanya dalam urusan keduniaan, bukan dalam urusan agama. Tahukah engkau, bahwa gaya hidup yang mereka pertontonkan adalah gaya hidup ajaran agama. Apa yang engkau lihat dari gaya hidup mereka adalah ajaran-ajaran yang dilarang dalam Islam. Hati-hatilah engkau dalam hal ini, jangan engkau sampai terpedaya dengan hal-hal yang kelihatannya remeh, tapi menjatuhkanmu.

Mungkin saja engkau akan temukan dari gaya hidup musuhmu dari kalangan orang-orang kafir cara hidup yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran. Tapi ketahuilah, jika sesuatu itu benar, dan ia menjadi sendi-sendi dari nilai-nilai agama, tentu saja Islam mengajarkannya, Rasulullah saw. akan mengajarkan, maka engkau tak perlu mencari jalan selain dari Islam ini.

Cukupkan dirimu pada Islam dengan kesempurnaannya. Yakinlah ! Allah swt.Maha Sempurna, takkan luput baginya segala kesempurnaan. Maka, tidak ada alasan bagimu untuk mencari kesempurnaan selain dari Islam. Tunjukkan dirimu sebagai orang Islam. Berbuatlah bagaimana Islam mengajarkannya. Tunjukkan dirimu bahwa engkau benar-benar muslim.

Camkanlah ! Sungguh ini penting bagimu ! 

Wasiat Untuk Remaja Islam (12) : Tutur Katamu, peliharalah !

Tutur kata lahir dari lidah yang tak bertulang, ia bolak balik keatas dan kebawah, dan ketahuilah …kala ia telah keluar menjadi suatu kata yang terangkai dalam kalimat, ia akan menunjukkan siapa dirimu yang sesungguhnya, itulah ucapan. Seseorang bisa diukur dari apa yang ia ucapkan. Dan yang menjadi pegangan adalah ucapan pertama yang terlontar.

Sesungguhnya, menahan kata-kata itu berat, tapi menarik kata-kata yang telah keluar lebih berat. Untuk itu peliharalah tutur katamu, agar kau tidak terjerambab pada hal-hal yang dapat membinasakan dirimu sendiri akibat dari tutur katamu. Agar kau tidak menyesali terhadap apa yang kau tuturkan.
Belajar untuk berkata-kata, belajar untuk berucap, tidak perlu pelatihan atau pendidikan khusus. Ia lahir dari kondisi hati. Kala hati dalam keadaan galau, tutur kata akan mewakilinya untuk menunjukkan kegalauan hati. Demikian sebaliknya, kala hati dalam suasana sumringah, kata-katapun akan mewakilkan untuk menampakkan keadaan tersebut. Inilah yang dimaksud, seseorang dapat diukur dari apa yang ia ucapkan. Sebab ucapan itu merupakan cerminan hati.

Engkau bisa saja menipu atau mendustai orang lain dari ucapan yang keluar dari lisanmu, namun apakah kau mampu menipu dirimu sendiri kala kau mengeluarkan kata-kata itu ? Dari nadanya, logat, irama serta lantunan yang keluar dari lisanmu berupa kata-kata itu, bagaimanapun kau mendramatisirnya, akan tetap berbeda dengan keadaan yang mana kau mengeluarkannya tanpa ada indikasi terselubung di dalamnya. Demikianlah dahsyatnya tutur kata, ia tidak bisa ditipu, walau ia dapat dibolak-balikkan.

Oleh karena itu, bertuturlah dengan baik, peliharalah ia pada jalannya, jangan kau paksa ia untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan keinginannya. Jika kau tidak mampu untuk itu dalam beberapa keadaan, diam bagimu adalah lebih baik. Lebih menyelamatkanmu dibandingkan kau tetap memaksakan diri untuk bertutur kata.

Saudaraku …!

Sesungguhnya tutur kata merupakan alat komunikasi, alat interaksi dalam menempuh kehidupan, terutama diantara kita sesama insan. Jika alat ini rusak, dan yang keluar dari padanya tidak dapat membuat orang lain menjadi tenang kala mendengarnya, ketahuilah …hubunganmu antar sesama akan rusak. Dapatlah kau ketahui, mengapa memelihara tutur kata begitu penting ? Sebab  berkaitan erat sekali dalam menjaga hubungan antar sesama.


Alangkah indahnya, kala segala tutur katamu kau keluarkan untuk kebajikan, alangkah indahnya kala lisanmu yang cendrung bertutur kata dihiasi lantunann zikir dan madah do’a baik untuk dirimu, keluarga ataupun kaum muslimin. Alangkah mulianya melalui lisanmu seseorang mendapatkan hidayah.

Wasiat Untuk Remaja Islam (11) : Tutuplah Auratmu, Sebab Itu Kewajiban !

Saudaraku !

Apa yang engkau ketahui tentang aurat ? Hakikatnya aurat adalah sesuatu dari anggota tubuhmu yang engkau malu apabila diketahui oleh orang lain tentang sesuatu yang menjadi rahasiamu. Ia merupakan aib yang harus kau tutup rapat-rapat. 

Ia merupakan rahasia dirimu yang tidak berhak diketahui orang lain. Jika kau mengumbarnya, berarti kau telah mengumbar apa yang menjadi rahasia dirimu.  Sungguh aneh jika kau menganggap remeh hal ini. Bukankah kau marah kala rahasiamu diumbar orang lain?Lantas mengapa kau tidak merasa berat untuk mengumbar rahasiamu sendiri ? Adakah kebodohan melebihi hal ini ?

Sudah nyata, aurat perempuan adalah selain muka dan telapak tangan, dan aurat laki-laki adalah batasan antara pusar dan lutut. Tutuplah yang seharusnya kau tutup dan tampakkanlah yang seharusnya kau tampakkan. Ingat ! Tetap jagalah kesopanan. Memang benar bahwa aurat laki-laki adalah sebatas pusar dan lutut, lalu sopankah jika kau berpakaian hanya sebatas itu ? Inilah yang dimaksud menjaga adab dalam menutup aurat, bahwa rusak adabmu jika kau hanya menutup bagian auratmu saja, tanpa memperhatikan adab-adab kesopanan.

Ketahuilah … Saudaraku !

Menutup aurat bukan sekedar menutup anggota tubuh lalu usai begitu saja. Menutup aurat artinya kau tidak  menampakkan bagian auratmu walaupun ia tertutup oleh sesuatu. Jika masih memperlihatkan bentuk tubuhmu yang tergolong aurat walaupun kau menutupnya, sungguh kau belum dikatakan menurut aurat, bahkan agama mengatakan berpakaian tapi telanjang, na’udzubillah.

Sesungguhnya keharusan menutup aurat ini merupakan suatu ajaran luhur dari Islam, agama yang kau anut ini. Ajaran yang bertujuan menjagamu dari segala macam marabahaya, baik marabahaya secara lahir, batin dan hakikat. Yang dimaksud menjaga marabahaya secara lahir, dapat menjaga suhu tubuhmu agar stabil, menjaga dari serangan penyakit, menjaga dari panas dan dingin. Sedangkan menjaga marabahaya secara batin, menjagamu dari kesombongan jiwa bahwa milikmu yang paling berharga bukan untuk dipamerkan. Dan menjaga marabahaya secara hakikat, bahwa dengan menutup aurat kau akan terjaga dari gangguan orang-orang jahat, hal ini akan nampak sekali pengaruhnya bagi kaum perempuan.

Secara hakikat menutup aurat adalah suatu identitas, ia pembeda antara mukmin dan kafir, ia menjadi kehormatan dan meninggikan derajat. Maka camkanlah hal ini. Karena sesungguhnya dampak dari kewajiban menutup aurat merupakan kemashlahatan untuk dirimu sendiri.

Takutlah kau akan ancaman bagi orang-orang yang enggan menutup aurat. Belajarlah dari akibat dan dampak yang kau saksikan dari orang-orang yang telah melanggar aturan ini. Ambillah i’tibar bagaimana para orang-orang shaleh terdahulu memahami tentang pentingnya menutup aurat, bagaimana mereka bersegera melaksanakan kewajiban menutup aurat kala perintah menutup aurat itu datang. 


Karena aurat adalah aib, maka kau tidak perlu mencari alasan-alasan yang mengada-ada untuk melegalkan tidak menutup aurat dalam kondisi tertentu. Seperti enggan menutup aurat dalam cuaca panas. Enggan menutup aurat karena belum terbuka hatimu untuk menunaikannya. Aduhai …alasan apapun yang kau berikan, tidak akan merubah makna kewajiban menutup aurat. Yang perlu kau pahami, menutup aurat adalah kewajiban.

Wasiat Untuk Remaja Islam (10) : Carilah Pasangan Hidup Yang Mengokohkanmu di Jalan Iman

Saudaraku …

Jangan kau mencari-cari alasan, bahwa kau memilih orang yang jelek akhlaknya sebagai pasangan hidupmu dengan tujuan memperbaiki akhlaknya.  Sesungguhnya hal itu hanyalah alasanmu untuk mencapai keinginan syahwatmu yang lebih memandang seseorang itu berdasarkan nafsu belaka.

Pentingnya memilih pasangan merupakan kebutuhan akan tumbuhnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Muaranya akan lahir generasi yang shaleh. Berlanjut keturunan yang shaleh. Dan ketahuilah …semua itu bermula dari kemampuan memilih pasangan hidup.

Memilih pasangan yang mengokohkanmu di jalan iman, demikianlah yang harus kau lakukan. Tentunya yang kau cari adalah pasangan yang selalu berupaya mengokohkan imannya. Karena tidak mungkin ia akan mengokohkanmu jika ia sendiri tidak berupaya mengokoh imannya.

Bersatunya ikatan hati dalam pernikahan suci, terbentuknya sebuah keluarga merupakan sunnah Rasulullah saw., maka tanamkanlah nawaitumu untuk membangun keluarga dengan tujuan mengamalkan sunnah. Bagaimana sunnah mengajarkan untuk mencari pasangan, demikianlah hendaknya kau tunaikan.

Sudah jelas bahwa yang paling mulia dari segalanya adalah memilih pasangan berdasarkan agamanya. Berdasarkan agama tentu saja yang beriman. Dengan iman itulah ia akan mengokohkanmu.

Tak terlalu rumit untuk mengetahui seseorang itu beriman atau tidak, saksikan perilaku kesehariannya, karena iman itu nampak dari perilaku. Jika bertentangan dengan ketetapan syari’at, akhlakul karimah, dan segala rambu-rambu yang telah digariskan syara’, sungguh ia tidak beriman.

Waspadalah ! 

Tidak ada jaminan, seseorang yang tampak bagimu rajin datang ke masjid, atau melakukan gerakan shalat lantas ia disebut orang beriman. Dan tidak dijamin pula seseorang yang tampak menggunakan pakaian yang menunjukkan keshalehan seperti perempuan yang menggunakan jilbab lalu ia menjadi orang shaleh.

Bukti iman dan keshalehan terpatri dari akhlak yang tercermin dari kesehariannya. Jika kau hendak mengetahui akidah seseorang, benar atau tidak, maka saksikanlah pandangannya terhadap syari’at, apakah dia patuh, ketakutannya akan maksiat apakah benar-benar ia tinggalkan, cara dia menyikapi permasalahan hidup, kemana ia menggantungkan urusan.

Engkau bisa menyaksikan dari keluh kesahnya, sikapnya, serta bentuk perilakunya. Jika ia orang yang sering mengeluh, sungguh ia hakikatnya bukanlah orang yang beriman dengan sebenar-benar beriman. Jika ia tampak bagimu menutup aurat tapi perilakunya tidak mencerminkan dari pakaian yang ia pakai, sungguh imannya perlu dipertanyakan. Jika ia tampak bagimu seakan seperti ahli ibadah, rajin shalat, rajin puasa sunnah, tapi perilakunya tidak lepas dari menyakiti orang lain, menyebut kejelekan saudaranya dan lain sebagainya, lantas dimana imannya ?

Selektiflah ! 

Engkau harus mampu memilah dan memilih, istikharah penting bagimu. Jangan kau terjebak dalam bisikan-bisikan syetan untuk menyegerakan pernikahan lalu kau dengan serampangan mencari pasangan dengan alasan umurmu telah terlalu lewat dan terlambat untuk menikah, sehingga kau terlalu ceroboh dan tergesa-gesa untuk menyegerakannya.

Memang menyegerakan pernikahan itu penting, sebab penyegeraan itu akan menjagamu dari bencana yang besar. Tapi jika kau ceroboh, bencana lebih besarpun akan menimpamu.

Memang tidak ada manusia yang sempurna, dengan pernikahanlah kesempurnaan akan diperoleh, karena adanya saling mengisi kekurangan. Tapi ini bukan berarti engkau harus memilih pasanganmu yang lemah kesempurnaannya. Kau harus berupaya mencari titik-titik yang dapat mencapai kesempurnaan itu.

Dan titik itu, itulah yang mengokohkan iman. Ini juga bukan berarti kau harus mencari pasangan yang telah sempurna keimanannya, sebab itu kemungkinan besar tidak mungkin kau temukan, walaupun tetap saja mungkin. Tapi yang dimaksud, carilah pasangan yang dapat mengokohkanmu di jalan iman. Keberadaannya bukan melemahkan imanmu, tapi semakin membuat ghirahmu semakin menggebubu untuk mencapai kesempurnaan iman. Semua itu tidak akan kau dapat jika kau tidak selektif, dan tidak akan kau temukan jika kau sendiri tidak paham dengan makna iman itu sendiri.

Sabtu, 02 Agustus 2014

Beginilah Jama'ah Mendidik Kita

“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai berai …”
(T.Q.S. Ali Imran : 103)

Jama’ah, itulah yang membuat kita tegar. Jama’ah, disanalah kekuatan jiwa tertempa. Dan Jama’ah, disana mekar taman-taman cinta penuh gelora ukhuwah. Karena dalam jama’ah kita bertemu banyak orang, bukan sembarang orang, tapi kumpulan orang yang memiliki komitmen dalam satu nawaitu yang begitu dahsyat, sama-sama mencari ridha Allah swt. Disanalah jiwa yang asing mendapat keramaian, kegalauan pupus dihembus angin saling mengingatkan, kefuturan luluh lantak dalam semangat ukhuwah, dan iman yang menurun secara cepat menanjak naik dengan lesatan yang begitu memukau. Itulah jama’ah, disanalah keutamaannya.
Dalam pergerakan Islam ataupun membangun kekuatan dan tataran nilai-nilai Islami, jama’ah merupakan suatu keharusan, ia menjadi pemicu bangkitnya semangat untuk bergerak. Jangan kita mengira apa yang kita lakukan akan mampu menyelesaikan perkara dengan dalamnya ilmu kita tanpa adanya kekuatan jama’ah. Mungkin saja ilmu kita luas dan pemahaman kita mumpuni dalam hal materi dakwah ataupun pergerakan, tapi itu bukan berarti kita bisa bergerak sendiri tanpa adanya jama’ah.
Apakah kita lupa, bahwa terkadang semangat itu terkadang naik dan terkadang datar, malah terkadang menurun. Kala ia menurun maka jama’ahlah yang menguatkannya. Pertemuan dengan saudara dalam jama’ah bagaikan amunisi yang kembali menghidupkan ghirah. Tahukah kita segala kekurangan diri hanya akan dapat ditambal oleh jama’ah. Artinya bisa saja kita memiliki banyak kemampuan, tapi ada yang tidak kita miliki, namun dimiliki anggota jama’ah, maka jama’ahlah yang akan menyempurnakannya. Yang perlu diingat  tak ada kita yang sempurna, kesempurnaan hanya akan terbentuk dengan menyatukan serpihan-serpihan yang terserak-serak hingga membentuk satu kesatuan, jama’ah adalah wadahnya.
Kesadaran inilah yang membuat kita merasa butuh dengan jama’ah, membuat kita merasa memiliki, membuat kita merasa bahwa hidup bukanlah sendiri. Hingga hal tersebut menumbuhkan suatu rasa bahwa hidup berjama’ah merupakan suatu keharusan.
Maka perhatikanlah bagaimana Islam menanamkan indahnya konsep jama’ah dalam shalat berjama’ah. Mulai dari fadhilah yang menjanjikan dua puluh derajat nilainya dibandingkan shalat sendirian, hingga nilai-nilai penerapannya. Jama’ah yang dibangun dengan satu kepemimpinan, dan dilarang membentuk jama’ah tandingan dalam waktu dan tempat yang bersamaan suatu isyarat bahwa kita harus bersatu dalam satu komando kepemimpinan. Kepatuhan akan pemimpin menjadi syarat diterima shalatnya berjama’ah, tak dibenarkan mendahului imam (pemimpin) walau sekecil apapun bentuk tindakannya, ancamannya, siapa yang melanggar kelak diakhirat akan dibangkitkan kepalanya diganti dengan himar. Aduhai …apakah gambaran binatang yang lebih bodoh dari pada himar?
Dalam jama’ah, kita dibina saling mengingatkan, dan saling menghargai. Bukankah kala sang imam (pemimpin) salah, menjadi keharusan bagi ma’mum untuk meluruskannya. Ini berarti orang atau sosok yang kita didahulukan dan yang memimpin sekalipun ada kemungkinan melakukan kesalahan, dan walaupun ia pemimpin jika salah tetap salah, harus diluruskan. Subhaanallaah ! Begitu dahsyatnya jama’ah.
Adakah yang melebihi seseorang dalam shalat berjama’ah? Ya, ketaqwaannnya dan kefahamannya akan agama, maka yang lebih itu berhak menjadi imam. Demikianlan jama’ah mengajarkan bahwa seseorang yang layak dimuliakan hanyalah berdasarkan ketaqwaannya dan kefahamannya akan agama, bukan berdasarkan kekayaan atau keindahan fisik. Dan lihatlah pancaran shalat jama’ah itu dalam shaf-shaf para makmum yang mengikuti imam. Bagaikan pasukan yang tersusun rapi dalam satu komando yang teratur, tak ada yang saling mendahului, sama-sama terikat dengan arahan sang imam. Bahu mereka saling bersentuhan, serentak rukuk dan sujud, mereka berlomba berebut shaf terdepan, semuanya punya hak mendapatkan keutamaan, tak ada yang harus didahulukan karena kedudukannya di dunia.

Sungguh…, demikianlah jama’ah, yang membuat hati lapang bersamanya, membuat jiwa terbang kealam keindahan  penuh pesona, alam yang membuat kita merasa hidup terasa indah. Alam yang memupus strata sosial, mengikis keangkuhan pribadi dan arogansi jiwa. Alam yang menyatukan hati untuk tunduk pada satu poros pengabdian hanya untuk Allah swt. Beruntunglah orang-orang  yang mengambil keutamaan jama’ah, dan  kerugian besar akan menimpa orang-orang yang memisahkan diri dari jama’ah. 

Refleksi Tentang Persatuan Kita (Hikmah Untaian Kalimat Ust. M. Anis Matta) (*)

Dalam “Arsitek Peradaban: Kumpulan Esai Penggugah Jiwa”, merupakan kumpulan pemikiran-pemikiran Ust. M. Anis Matta yang memang menggugah jiwa, ada hal menarik yang beliau suguhkan tentang persatuan(**). Sebagai refleksi bagi kita untuk lebih memahami persatuan bukan sekedar keterikatan semata, kita coba mengurai dan mengambil beberapa nilai-nilai tersebut dengan harapan mampu menggugah dan meletakkan makna persatuan pada etalase kehidupan yang sesungguhnya, agar keberagaman kita dalam membangun umat lebih memiliki suatu kesamaan persepsi dan lebih menjuruskan langkah mewujudkan persatuan umat yang didambakan.

Diantara ungkapan beliau :

“Tingkatan ukhuwwah (marâbitul ukhuwwah) yang disebut Rasulullah saw., mulai dari salâmatus shadr hingga îtsar, semuanya mengacu pada suasana jiwa. Jiwa yang dapat bersatu adalah jiwa yang memiliki watak ‘permadani’. Ia dapat diduduki oleh yang kecil dan besar, alim dan awam, remaja dan dewasa. Ia adalah jiwa yang besar, yang dapat ‘merangkul’ dan ‘menerima’ semua jenis watak manusia. Ia adalah jiwa yang digejolaki oleh keinginan kuat untuk memberi, memperhatikan, merawat, mengembangkan, membahagiakan, dan mencintai.”(h. 64)

Watak ‘permadani’, demikian beliau mengibaratkan jiwa yang mampu untuk bersatu. Permadani sebagaimana yang kita pahami, suatu hal yang menarik, indah penuh warna-warni dengan segala pernak-pernik hiasan memukau, walau mungkin saja terdapat yang polos, namun tetap indah. Permadani bagi siapa saja memiliki kebebasan untuk mendudukinya, dalam artian ia tak pandang siapa yang layak berada di atasnya, mampu  menerima tanpa “seleksi”.

Inilah mungkin yang hendak ditawarkan beliau. Persatuan hanya akan terwujud kala dalam diri kita berkembang watak yang tidak memandang sesuatu berdasarkan kelebihan diri dan semua orang harus mengikuti apa yang menjadi keinginan ataupun pemikiran kita. Tapi hendaknya kita mencoba menerima apa yang menjadi pemikiran ataupun kehendak orang lain walaupun bisa jadi dalam waktu tertentu bersebrangan dengan keinginan diri kita. Kita mencoba untuk menerima dengan lapang dada dan meletakkan segala hal dalam bingkai husnudzan (berprasangka baik) , mungkin itulah yang terbaik. Sehingga yang kita suguhkan, seperti kata beliau, “ Ia adalah jiwa yang besar, yang dapat ‘merangkul’ dan ‘menerima’ semua jenis watak manusia. Ia adalah jiwa yang digejolaki oleh keinginan kuat untuk memberi, memperhatikan, merawat, mengembangkan, membahagiakan, dan mencintai” (h. 64)

Selanjutnya, beliau mengungkapkan :

“Jiwa seperti itu sepenuhnya terbebas dari mimpi buruk ‘kemahahebatan’, ‘keserbabisaan’. Ia juga terbebas dari ketidakmampuan untuk menghargai, menilai, dan mengetahui segi-segi positif dari karya dan kepribadian orang lain” (h.64).

Selanjutnya:

“Jiwa seperti itu sepenuhnya merdeka dari ‘narsisme’ individu atau kelompok. Maksudnya bahwa ia tidak mengukur kebaikan orang lain dari kadar manfaat yang ia peroleh dari orang itu. Tapi ia lebih melihat manfaat apa yang ia dapat berikan kepada orang tersebut. Ia juga tidak mengukur kebenaran atau keberhasilan seseorang atau kelompok berdasarkan apa yang ia ‘inginkan’ dari orang atau kelompok tersebut”(h.64).

Ya, rasa saling menghargai, menghormati, dan selalu meletakkan kedudukan saudara  seiman dalam bingkai kecintaan pada dirilah persatuan akan terwujud. Sehingga tak akan muncul merasa diri lebih dari segalanya, yang ada saling berlomba dalam kebenaran, dan saling bahu membahu untuk sama-sama mencapai derajat tersebut tanpa harus saling menjatuhkan dan menyalahkan. Sebab yang terpatri dalam jiwa hanyalah keinginan untuk memberi dan bermanfaat untuk umat, bukan untuk menonjolkan diri dan merasa diri telah berperan, apalagi memaksakan kehendak diri untuk diikuti.

Indah sekali beliau menggambarkan   figur contoh keteladanan sahabat Rasulullah saw. yang telah mewujudkannya :

“Umar bin Khattab, mungkin merupakan contoh dari sahabat Rasulullah saw. yang dapat memadukan hampir semua prestasi puncak dalam bidang ruhiyah, jihad, qiyadah, akhlak, dan lainnya. Tapi semua kehebatan itu sama sekali tidak menghalangi beliau untuk berambisi menjadi sehelai rambut dalam dada Abu Bakar. Sebuah wujud keterlepasan penuh dari mimpi buruk ‘kemahahebatan’ ” (h. 65).

Subhaanallaah ! Demikianlah Umar bin Khattab sebagai figur contoh dalam memaknai persatuan, walaupun bisa saja ia merasa lebih dari Abu Bakar dalam banyak hal, tapi ia sama sekali tidak menjadikan tolok ukur bagi dirinya untuk merasa lebih dari pada Abu Bakar. Dalam ungkapan Ust. M. Anis Matta “Sebuah wujud keterlepasan penuh dari mimpi buruk ‘kemahahebatan’ ”.

Untuk kita, yang bercita-cita dan punya keinginan untuk mewujudkan persatuan, dalam pergerakan kita yang bermacam-macam bentuk dan metode yang tentunya persatuan suatu hal yang didambakan, mari kita bertanya kepada relung hati kita yang terdalam, bagi kita yang merasa kala kebenaran menurut kita yang kita perjuangkan seakan tidak mendapatkan dukungan, dan kala kita merasa resah melihat perjuangan saudara kita yang lain yang mungkin tidak sejalan dengan ide perjuangan kita dan kita anggap suatu perjuangan yang tidak benar.  Renungannya adalah : Apakah benar perjuangan yang kita tempuh benar dan perjuangan yang ditempuh orang lain salah? Pertanyaannya : Apakah yang telah kita pahami, rasakan dan amalkan telah mampu menandingi kalibernya Umar bin Khattab seperti kata Ust. M. Anis Matta : “...Tapi semua kehebatan itu sama sekali tidak menghalangi beliau untuk berambisi menjadi sehelai rambut dalam dada Abu Bakar…”?. Renungkanlah ! Semoga hati kita disatukan dalam derap-derap ukhuwah bersama bingkai persatuan Islam yang hakiki, hingga tak satupun yang dapat menghantamnya, apalagi hanya sekedar menggerus.
___

(*) Ulasan ini hanya berdasarkan yang Ana pahami, hakikat makna yang sebenarnya dikembalikan kepada penulisnya : Ust. M. Anis Matta 

(**) Lihat : M. Anis Matta, Arsitek Peradaban: Kumpulan Esai Penggugah Jiwa, Editor : Deka Kurniawan (Jakarta: Fitrah Rabbani, 2007). Cet. II.

NB : Mohon maaf jika terdapat kesalahan petikan atau penulisan.

Refleksi Tentang Ukhuwah Kita

Aku sangat yakin dengan kekuatan ukhuwah. Ukhuwah itu tak dapat dibayar dengan materi sebesar apapun. Satu hal, ia hanya akan  terwujud kala kesatuan hati terbina melalui suatu proses yang bukan dibangun atas kamuflase atau “atas nama kepentingan”, tapi dibangun  atas kesamaan pandangan, tujuan dan cita-cita. Disanalah manifestasi ukhuwah itu mengakar hingga melahirkan pohon yang kokoh, bercabang, berdaun hingga berbuah ranum, lezat sekali hasilnya.
Terkadang …, apa yang kita rasakan dari ukhuwah malah melebihi dari pada apa yang kita pahami. Bisa saja kita memahami konsep-konsep ukhuwah sebagai suatu persaudaraan yang kokoh. Yang mana dalam konsepnya ia berwujud dalam bentuk saling mencintai dan merasakan hidup dalam satuan perasaan yang saling mengikat. Namun selama konsep itu hanya berada dalam tataran ilmiah dan pembicaraan-pembicaraan belaka, maka ia tak lebih dari pada pelajaran-pelajaran dalam lembaran ilmu yang kering dari rasa dan nilai. Sebab rasa dan nilai itu bukanlah teori,  tapi menghunjam ke dalam hati sanubari dan mempengaruhi pola tingkah laku serta cara pandang. Demikianlah ukhuwah, kedahsyatannya akan nampak dan kewibawaannya membumbung tinggi kala ia telah menjadi bagian dari perilaku hidup, dirasakan, bukan sekedar dipahami. Inilah yang aku maksud, terkadang apa yang kita rasakan dari ukhuwah melebihi dari apa yang kita pahami.
Ukhuwah kala telah terwujud,  mampu membentuk jiwa untuk lebih menyadari bahwa hidup adalah suatu jama’ah, ia saling mengikat dan saling menguatkan antara satu sama lain. Disanalah kegembiraan hati akan bersemi dalam taman-taman keindahan. Hati yang gersang akan disirami cahaya cinta yang penuh gelora, ia akan selalu dibangkitkan  oleh kehadiran hati yang lain, walaupun hanya sekedar untuk memandang wajahnya. Siraman cahaya ukhuwah itulah yang menggerakkannya, sehingga hanya dengan melihat wajah saudara se-Iman telah mampu membangkitkan hati yang terkapar  tak berdaya, hanya dengan seulas senyuman dari saudara se-Iman mampu menjadi alat penggerak untuk bangkit dari keterpurukan. Mengapa? Karena saudara se-Iman adalah alarm pengingat akan makna iman itu sendiri, makna perjuangan akan iman, dan makna bahwa imanlah yang mengantarkan kita pada derajat ketinggian. Sebab iman kita diantaranya terbentuk dan mengurai dalam lingkup-lingkup proses tarbiyah jama’ah orang-orang beriman. Kita sama-sama belajar tentang iman, kita sama-sama berjuang untuk iman, dan satu hal iman itulah yang mengikat kita, sehingga ia menjadi suatu ukhuwah. Demikianlah hebatnya Allah swt menggambarkan ukhuwah dalam surat al-Hujuraat ayat 10 : “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…”.
Apa yang pertama dilakukan Rasulullah saw terhadap orang beriman kala hijrah ke Yastrib yang akhirnya bernama Madinah? Ya, ukhuwah, mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar. Menyatukan hati orang-orang beriman. Menanamkan pada mereka bahwa mereka satu kesatuan dalam panji-panji iman.  Kesudahannya, terbentuklah kekokohan iman dalam persatuan yang berpijak pada permadani ukhuwah. Terbentuklah suatu kekuatan besar dalam derap-derap langkah yang teratur. Hingga perang diizinkan dan pasukan dimobilisasi, kala musuh hendak menyerang, maka yang ada adalah keberanian, yang muncul adalah perlawanan, yang bersemi dalam jiwa adalah tekad serta semangat yang membara untuk mempertahankan keimanan. Sebab hati itu telah kuat, jiwa itu saling mengokohkan, perasaan itu punya kekuatan besar. Apa yang membuat ragu? Apa yang membuat takut? Apa yang membuat lemah? Kala ia telah dikokohkan oleh iman, kala ia telah diikat kesatuan ukhuwah yang membentuk kekuatan besar, laksana benteng kokoh yang takkan jangankan roboh bergoyangpun tidak?

Demikianlah dahsyatnya ukhuwah. Pertanyaannya, sejauhmana ukhuwah kita hari ini? Dimana nilai-nilai persaudaraan itu kita sandang? Ditengah zaman dan kondisi umat Islam dibeberapa belahan bumi ini tercabik-cabik? Mengapa harus ada saudara-saudara kita yang terzhalimi  dengan kezhaliman yang berkepanjangan, seakan tak ada pembelaan? 

Renungan Hujan : Antara Rahmat dan Malapetaka

Hujan, rahmat yang memiliki warna warni inspirasi bagi kehidupan insan. Ia datang tak bisa diukur, raibnya tak terkendali. Terkadang kala diharapkan ia enggan untuk sekedar memenuhi harapan tersebut, tapi kala tak dibutuhkan tiba-tiba muncul tanpa aba-aba. Kehadirannya menyentuh kalbu, bisa memebuat hati yang beku kala ditimpa kegalauan, tapi menjadi keindahan berpendar penuh kilauan bagi jiwa yang rindu akan kehadirannya. Ia membasahi jiwa-jiwa yang kering kerontang. Itulah hujan.
Luar biasa hujan dengan sifat kedatangannya yang misteri. Bisa saja manusia dengan pengetahuannya memprediksi kapan ia turun, tapi tak lebih dari perkiraan semata. Dan kala ia bersentuhan dengan taqdir Allah swt., maka perkiraan itu sirna laksana debu ditiup angin, sama sekali perkiraan itu jauh panggang dari api. Disanalah misterinya hujan. Kalau dalam musim-musim, ditentukan bulan ini musim hujan, tapi mengapa ada istilah kemarau panjang? Bukankah ia telah melindas musim-musim bulan datangnya hujan? Kalau ada yang mengira gumpalan awan hitam dilangit sedang menari-nari pertanda hujan akan turun, diiringi kilat menyambar-nyambar disahut dentuman gemuruh petir menandakan akan lebatnya hujan mengguyuri bumi? Mengapa dengan sekejap ia bisa saja hilang, dan langit kembali cerah? Hujan tidak turun. Sementara disisi lain, dalam kondisi langit cerah, panasnya mentari membakar bumi, tiba-tiba air hujan  membasahi bumi. Itulah hujan. Hujan begitu misteri.
Setiap kita butuh hujan, baik pada wilayah yang memang menggantungkan hidup pada curah hujan, termasuk pada wilayah yang berada di wilayah yang airnya melimpah. Untuk yang kedua ini, perlu menjadi renungan lebih lanjut, pada wilayah yang airnya melimpah seperti danau, rawa , sungai ataupun laut, mengapa penduduk yang hidup disekitarnya tetap berharap pada hujan? Sebab kelebihan limpahan air yang disediakan alam untuk mereka sama sekali tidak menutup kebutuhan mereka pada hujan. Bagaimanapun hujan tetap sebagai sumber kehidupan yang fundamental.
Ini artinya, hujan memiliki multifungsi yang tidak bisa diwakilkan. Boleh saja wilayah berair bangga dengan keberadaan airnya yang melimpah, namun sampai kapan ia akan bertahan jika hujan enggan menyambanginya. Bukankah musim panas yang berkepanjangan akan mengakibatkan keberadaan air menjadi susut dan jika tidak disuplai dengan air yang baru ia akan habis? Dan hujanlah penyuplai itu. Tanpa hujan sumur-sumur akan kering, air danau akan menguap tanpa tambahan, sungaipun berpotensi untuk kering, apalagi telaga. Jadi apa yang dibanggakan dari semua itu tanpa hujan?
Jelas sudah, hujan adalah kebutuhan vital, ia datang dan pergi menjalankan takdirnya, dan ia telah memberi cahaya kehidupan pada makhluk hidup dengan guyuran airnya yang membagi rata rezki makhluk dipermukaan bumi. Setiap kita akan rindu dengan hujan, dan kita berharap hujan akan selalu ada dalam kehidupan kita.
Namun pertanyaanya. Mengapa hujan terkadang menjadi musibah bagi kita? Ia datang bagaikan bala tentara musuh yang hendak mencabik-cabik kehidupan kita.  Dengan guyurannya yang besar, deras dan membahana, membuat air sungai meluap, menghantam pemukiman penduduk hingga menutup akses jalan, bahkan merusak jalanan sebagai jalur transportasi. Kota besar menjadi danau ataupun sungai, akibat ulahnya yang mengirim banjir besar. Kampung-kampung binasa akibat tanah longsor yang selalu dikikisnya. Sebelum dijawab mengapa hujan terkadang menjadi musibah bagi kita, mari kita beri pertanyaan selanjutnya, benarkah semua ini akibat ulah hujan? Hujan memang misteri, tapi untuk pertanyaan yang terakhir ini, ini bukanlah sebuah kemisterian hujan, sebab pertanyaan  ini berada pada ranah sebab akibat. Hanya saja, sebelum kita memvonis hujan sebagai penyebab dan melahirkan akibat, marilah kita mengaca apa yang telah kita buat dipermukaan bumi ini, sehingga hujan yang merupakan rahmat dari Allah swt., tapi akibatnya seakan menjadi malapetaka bagi kita. Apakah rahmat itu mengandung malapetaka? Atau kita yang tidak mampu memahami rahmat sehingga kita lebih memilih malapetaka?

Yang jelas hujan tetap hujan, ia datang menjadi rahmat. Lalu kala ia kita rasakan sebagai malapetaka, mengapa semua ini terjadi? Bertanyalah pada nurani dan apa yang telah kita buat. Jangan tanyakan pada hujan, karena hujan tak butuh untuk menjawab pertanyaan kita. Jawablah dengan nurani kita. Satu hal, dalam Islam kita diajarkan, jika hujan tak kunjung turun, agar kita melaksanakan shalat istisqa’, shalat minta hujan, dengan menundukkan kepala penuh permohonan, keinsyafan diri akan segala apa yang dilakukan. Renungkanlah ! Sungguh semuanya memiliki serpihan-serpihan makna, agar kita lebih menyadari bahwa segala apa yang terjadi tak ada yang luput dari pantauan Allah swt. 

Watak Generasi Tukang Sorak


Siapa yang tidak kenal dengan anjing? Binatang yang tergolong mengidap najis berat. Apabila air liurnya menyentuh kita, maka haruslah dicuci tujuh kali dengan air dan satunya dicampur dengan tanah, barulah najis itu dikategorikan hilang.
Dalam interaksi keseharian, istilah penggunaan kata anjing adalah kata-kata kotor yang di sandarkan kepada seseorang yang dianggap menjijikkan. Ia merupakan kosakata yang tidak mengandung pendidikan, dan sedapat mungkin hendaknya dihindari dalam tulisan-tulisan ilmiah atau pembicaraan agar istilah ini sama-sama dianggap tabu dan tidak boleh dikembangkan karena mengandung mudharat.
Sungguh, jika kita mencoba melihat kenyataan, perilaku yang ditonjolkan anjing diantaranya memang perilaku yang menjijikkan, parahnya lagi perilaku tersebut  kemungkinan saja diwarisi oleh sosok manusia. Itulah manusia-manusia yang berwatak anjing, perilakunya perilaku anjing, dan sikapnya, sikapnya anjing.
Bagaimanakah watak anjing ini? Perhatikanlah ! Yang paling santer anjing suka menggonggong tak karuan, menyalak setiap orang yang lewat di depan mereka. Seakan hendak menyerang, tapi itu hanya gertak belaka.  Menyalak dari kejauhan, biasanya  dekat kandang dengan cara ramai-ramai, seakan-akan untuk menumbuhkan rasa takut bagi yang disalak. Jika mereka melihat yang disalak ketakutan dan menunjukkan gelagat hendak melarikan diri, maka anjing itu akan semakin berani dan mulai menampakkan ancar-ancar hendak menyerang, sok jagoan. Tapi, jika yang disalak seakan tidak peduli, acuh tak acuh saja, anjing tersebut tetap berdiri di tempatnya dengan terus menyalak, ia tak hendak menunjukkan gelagat menyerang, karena bisa jadi sangat tidak percaya diri dengan salakannya. Parahnya, jika yang disalak menunjukkan gelagat hendak melawan, seperti seseorang yang menunjukkan hendak mengambil batu untuk melempari, maka anjing itu dengan terbirit-birit akan lari ketakutan, padahal belum tentu benar-benar hendak dilempar, baru sebatas menunduk belaka, pengecut. Itulah watak yang ditonjolkan anjing, sok jaogoan, tukang sorak, dan pengecut.
Pertanyaanya ? Adakah manusia yang berwatak seperti ini ? Kalau ada, inilah ciri dari sosok manusia atau kelompok yang hanya berani dengan komentar penuh sorak, kala komentarnya menampakkan pengaruh dan membuat orang lain terpedaya, ia semakin memperkuat komentarnya dan semakin berani dengan komentarnya. Namun kala komentarnya tak dipedulikan orang, ia sendiripun tidak mampu memperjuangkan kekuatan komentarnya untuk dapat diterima orang lain, maka tinggallah ia dengan komentarnya belaka, tukang sorak, anehnya ia tetap saja komentar tak karuan walau telah ditinggalkan orang. Parahnya, kala ia diserang orang, dibantah dan digertak, ia menjadi kecut, tak berdaya, dan berupaya mencari helah untuk menyelamatkan diri. Intinya ia tak pernah berbuat, ia hanya mampu berkomentar, tukang sorak, dan berharap orang mengikuti keinginannya. Mereka berharap kala orang telah mengikuti keinginan mereka, barulah mereka bergerak. Tapi jika belum, mereka lebih senang menjadi tukang sorak, tukang komentar, dan jika dituntut untuk mewujudkan komentar mereka dan membuktikan, palingan mereka akan jawab dengan alasan klise, “belum saatnya”.
Mereka mengira dengan komentar mereka itu akan dapat mengubah keadaan, seperti anjing yang mengira dengan salakannya itu membuat semua yang ada di depannya takut. Padahal salakannya tersebut lebih menunjukkan kebodohan dirinya bahwa dirinya adalah pengecut, sebab salakan itu hanyalah alat untuk menakut-nakuti. Demikianlah ahli komentar yang mengira dengan komentar mereka itu akan merubah keadaan, padahal tidak lebih menunjukkan mereka hanya tukang sorak. Dan mereka hanyalah sosok lemah yang tidak berdaya. Berlindung dari ketajaman lidah yang sama sekali membinasakan dirinya sendiri. Menyembunyikan watak diri yang suka mengomentari tapi enggan untuk bergerak, pengecut.

Adakah dalam sejarah orang-orang yang banyak omong, tukang komentar mampu mengubah dunia? Apakah mereka mengira dengan sorak tersebut dapat membangkitkan semangat untuk bangkit dari keterpurukan? Sama sekali tidak. Segala sesuatu hanya akan terbangun dengan kerja keras dan kerja nyata, dimulai dari apa yang bisa dilakukan, lalu memperjuangkannya. Bukannya komentar dengan sorak, tapi tak pernah berbuat apa-apa. Ibarat anjing yang  hanya menakut-nakuti dengan salakan, kala yang disalak tak peduli, maka salakan itu tinggal senandung hina dan lebih layak dicampakkan pada tong sampah, disebabkan sama sekali tak mendatangkan manfaat.

Jumat, 01 Agustus 2014

Pelajaran Ilmu Hadits : Apa Yang Dimaksud Hadits Hasan ?

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji syukur kepada Allah swt, shalawat buat Rasulullah saw.

Haaa….iii ! Kaifa haluk ???

Semoga tetap semangat belajar tentang Islam, termasuk yang hendak kita bahas pada bagian ini tentang HADITS HASAN. Wooo…w pelajaran anak PK memang luar biasa. Kita belajar tentang hakikat ilmu yang sesungguhnya, ilmu yang akan membuat bangga orang kita kala kita menguasainya, ilmu yang membuat ditinggikan derajat kita dan membuat kita mulia di dunia maupun di akhirat.

Sebelum kita belajar tentang Hadits Hasan, diingatkan ya,  harus ngerti dulu tentang hadits shahih, bagi yang belum ngerti lihat pembelajarannya pada pembahasan “Apa Yang Dimaksud Hadits Shahih ? ”.

Sudah ??? Bisa kita lanjutkan ? Jika bisa, mari maju, let’s go !!!

Kapan dikatakan hadits disebut hasan? Untuk menjawabnya dapat kita pahami bahwa hadits hasan itu terbagi dua. Perhatikan baik-baik, Oke??? Mulai memeras otak :

1. HASAN LIDZATIHI
Apabila hadits tersebut  cukup dengan syarat hadits shahih (lihat syarat hadits shahih : click here), namun perawinya kurang dhabith (kurang kuat ingatannya/hafalannya), dan tidak ada hadits lain yang sederajat dengannya, maka di sebut HASAN LIDZATIHI. Jika ada yang sederajat dengannya, berarti hadits itu dibantu dengan hadits hasan lidzatihi yang lain, maka kedudukannya bukan lagi Hasan Lidzatihi, tapi naik menjadi Shahih Lighairihi (untuk keterangan shahih lighairihi, lihat pembelajarannya disini : click here )

Jadi Kata kunci Hadits Hasan Lidzatihi :

-          Perawinya kurang dhabith (kurang kuat ingatannya).
-          Tidak ada hadits lain yang sederajat dengannya.

Kira-kira ngerti ngak yaaa …???

Kalau udah ngerti, next !!!

2. HADITS HASAN LIGHAIRIHI

Apabila hadits tersebut dha’if (lemah) karena perawinya buruk hafalannya, atau karena mastur (tidak dikenal siapa dirinya), namun  ia didukung oleh hadits dha’if (lemah) yang sederajat dengannya, maka ia menjadi HADITS HASAN LIGHAIRIHI , tapi jika tidak didukung hadits lain, maka ia tetap disebut hadits dha’if (lemah) .

Stop !!!

Apapula ini hadits dha’if (lemah) ??? Istilah baru nih. Sabar…, sabar …, tentang hadits dha’if (lemah) nanti pembahasannya, insya Allah, belajarnya pelan-pelan yaaa…???

Kita kembali pada Hadits Hasan Lighairihi yang berasal dari hadits dha’if (lemah). Ini contohnya biar mudah dipahami :

Hadits Pertama :

(kataTurmudzy) telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’, telah menceritakan kepada kami Hasyim bin Ziyad dari Abdurrahman bin Abi Laila dari Barra’ bin ‘Azib ra. berkata, Rasulullah bersabda:

حَقًّا عَلَى الْمُسْلِمِيْنَا أَنْ يَغْتَسِلُوْا يَوْمَ الْجَمَعَةِ

“Adalah suatu kewajiban orang muslim mandi pada hari jum’at.” (Diriwayatkan Turmudzy)

Dalam hadist tersebut terdapat rawi-rawi yang terpercaya, kecuali Hasyim bin Ziyad, ia terkenal dengan mudallis (suka menyembunyikan aib/cacat seseorang yang meriwayatkan hadits, padahal dalam rawi hadits ini penting untuk mengetahui apakah perawinya cacat atau tidak, untuk menentukan diterima atau tidaknya periwayatan darinya). Karena itu hadits di atas dianggap lemah (dha’if).

Untuk sementara pahamkan makna hadits dha’if (lemah) ? Tapi nanti untuk keterangan hadits dha’if (lemah)kita ulas lebih dalam, sebab cabang dan ketentuannya banyak, insya Allah.

Hadits Kedua :

Melalui jalan sanad yang lain, terdapat hadits yang sederajat dengan hadits pertama, sehingga hadits tersebut menguatkannya. Yakni riwayat Turmudzy juga, dengan  jalur sanad :

Turmudzy – Aly bin Hasan Al-Kufy – Abu Yahya Ismail bin Ibrahim Attaimy – Yazid bin Ziyad – Abdurrahman bin A’bi Laila – Barra bin ‘Azib.

Dalam sanad ini yang dianggap menyebabkan dha’if (lemah) adalah Abu Yahya (namun tidak terlalu lemah).

Kesimpulannya :

Hadist pertama yang dha’if (lemah) dikuatkan dengan hadits kedua yang juga dha’if (lemah) namun haditsnya sederajat, maka kedudukan haditsnya naik menjadi HASAN LIGHAIRIHI

Catatan yang harus diingat, Penting !!!

Tidak semua hadits dha’if (lemah) bisa menjadi Hasan Lighairihi, hanya hadits dha’if (lemah) yang disebabkan oleh :
- Rawinya buruk hafalannya (kurang dhabith)
- Rawinya mastur (tidak dikenal identitasnya)
- Rawinya mudallas (suka menyembunyikan cacat perawi)

Oke???

Pahami baik-baik, pikirkan matang-matang. Selamat menikmati dahsyatnya Ilmu Islam.

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh.
___
Maraaji’ :
·    Drs. A. Basyuni M. Nur, dkk, Hadis – Ilmu Hadis 3 Untuk Madrasah Aliyah Kelas III, editor : H. Ubaidillah Muchtar dan Drs. Marzuki, Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama R.I,  Dicetak oleh CV. Bintraco – Jakarta, Cetakan pertama Tahun Aggaran 1983/1984, h. 174-177. (Dengan beberapa tambahan dan perubahan redaksi)

·         Tulisan Arab dibuat melalui Arabic Pad 1.03, Freeware ©2007 by Ebta Setiawan