WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO
WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

Senin, 30 Januari 2012

Duhai Hati, Mengapa Engkau Enggan Menerima Nasehat


Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji syukur kepada Allah swt, shalwat buat Rasulullah saw.

Nasehat kebajikan, merupakan pancaran cahaya yang hendak dimasukkan ke dalam hati manusia, berharap dengan nasehat orang-orang yang mendapatkan nasehat dapat merubah cara pandang hidupnya kearah jalan kebaikan. Para ulama terdahulu, penguasa-penguasa muslim yang ta’at, kita temukan dalam sejarah, mereka banyak yang mencintai nasehat, nasehat dari para ulama, atau kaum sufi, sehingga para ulama atau kaum sufi berada pada kedudukan yang mulia. Bagi orang-orang shaleh terdahulu, mereka biasa saja dikala berbicara dengan saudaranya seiman, “ Saudaraku, nasehatilah aku ”. Walau terkadang bisa jadi orang yang memberi nasehat tingkat keilmuannya berada dibawah orang yang diberi nasehat. Namun jiwa haus akan nasehat itulah yang membuat mereka selalu merasa butuh untuk dinasehati.

Dalam tataran kehidupan kita hari ini, bagaimana kita menyikapi nasehat ? Apalagi jika yang memberi nasehat itu orang-orang yang berada dibawah kita kedudukannya dalam berbagai hal. Bagaimana kita menyikapi nasehat dikala anak kita mencoba memberi nasehat kepada kita ? Bagaimana kesan kita dikala orang miskin yang memberi nasehat kepada kita, sementara kita orang kaya ? Bagaimana tanggapan kita jika murid kita memberi nasehat kepada kita selaku guru ? Bagaimaan perasaan kita jika kita seorang pemimpin diberikan nasehat oleh rakyat ? Bagaimana reaksi kita dikala kita mendapatkan nasehat dari orang biasa, sementara kita seorang ulama dan paham akan hakikat nasehat ? Semuanya berpulang kepada hati kita masing-masing.
Nasehat, dalam bentuk apapun, dari sumber manapun, dengan cara apapun selama berupa pancaran kebajikan yang mengalir dari ruh tataran al-Qur’an dan Sunnah hakekatnya tetap bermakna nasehat, karena nasehat tidak akan mengalami perubahan makna jika diberikan oleh anak kepada orang tua, orang miskin kepada orang kaya, murid kepada guru, rakyat kepada pemerintah, orang biasa kepada ulama. Inti nasehat bukanlah pada kedudukan keduniaan sang pemberi nasehat, tapi sejauhmana pemahaman sang pemberi nasehat akan nasehat yang ia sampaikan.

Saudaraku …

Ketahuilah … penyebab gersang dan kerasnya hati dikarenakan hati ini jarang dialiri nasehat, hati ini selalu diliputi oleh rasa merasa diri lebih dari segalanya, sehingga tak ada yang melembabkan dan melunakkannya. Terkadang nasehat itu ada, tapi karena merasa diri lebih yang menyebabkan nasehat tak bergeming. Bagaimana nasehat akan bergeming dikala, misalnya, kita seorang guru, lalu ada seorang murid yang memberi nasehat tentang kesalahan kita, lantas karena ia murid, kita enggan menerima nasehat darinya secara kedudukan kita sebagai guru, maka dengan berbagai macam dalih dan alasan kita lontarkan kepada sang murid tentang kesalahan kita yang intinya kita tidak bisa menerima nasehat dari sang murid, dengan satu alasan dia murid kita, tak layak memberi nasehat kepada kita sebagai guru. 

Begitu juga dikala kita sebagai orang tua yang mendapat nasehat dari sang anak, paling-paling tanggapan kita, “ Orang tua pula kau ajari,  dasar anak durhaka ”. Padahal kita yang durhaka pada nasehat yang disampaikannya. Hal itu sebenarnya karena itu tadi, merasa diri lebih, sehingga nasehat tak mampu menembusnya.

Untuk itu saudaraku …

Agar jiwa yang gersang dan keras ini luluh dengan kebaikan, mampu menerima pancaran nasehat, maka bukalah benteng-benteng penghalangnya, bukalah belenggu-belenggunya, cabutlah ranjau-ranjaunya, apakah gerangan ? Ya, hapuslah dalam jiwamu perasaan merasa diri lebih, karena tidak ada yang melebihi manusia di dunia ini dimata Allah swt kecuali tingkat ketaqwaannya. Dikala kita mendapatkan nasehat dari manapun sumbernya, hakikatnya ia mengajarkan kita untuk mencapai derajat ketinggian dalam pandangan Allah swt. Maka berterima kasihlah kepada orang-orang yang telah bersedia memberi nasehat kepada kita, walau dari anak kita, dari murid kita, dari orang miskin dari kita, dari rakyat, dari segala apapun yang mungkin selama ini kita anggap tidak layak memberi nasehat, padahal layak dari sisi hakekat nasehat. Ketahuilah … semua itu bentuk kepedulian dan rasa cinta … ternyata masih banyak orang yang bersedia menasehati kita … berarti masih banyak orang yang tidak ingin membiarkan kita berkubang kesalahan … dan berarti masih banyak orang yang berharap kita berada pada jalan kebaikan. 

Syukurilah semua itu … sebelum kesempatan bersyukur itu dicabut oleh Allah swt. Terimalah nasehat dari manapun … selama nasehat tersebut berdasarkan tuntutanan al-Qur’an dan Sunnah.

Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

" Setiap Kata Yang Terucap Tak Satupun Luput Dari Pantauan Allah swt "


Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji syukur kepada Allah swt, shalawat buat Rasulullah saw.

Kata, alat komunikasi penyampai pesan dalam bentuk apapun, dengan kata seseorang mampu menjalin silaturrahim, dengan kata seseorang mampu menanam amal kebajikan, namun juga dengan kata segala kemungkaran akan bertebaran secara berantai. Bukankah dengan kata, nasehat akan berbekas dalam hati, namun juga dengan kata dua orang bersaudara akan dapat bermusuhan. Dakwah disampaikan dengan kata, ghibah juga dengan kata, dusta juga berhubungan erat dengan kata. Intinya kata merupakan media untuk mencapai apa yang diinginkan, ia akan membawa kebaikan, jika mengandung kebaikan, dan akan membawa malapetaka jika mengandung marabahaya.

Menempatkan kata dalam hidup begitu penting, seseorang bisa diukur hatinya dari perkataannya, selihai apapun orang merangkai kata, tapi dari rangkaian kata yang keluar dari katanya, menunjukkan siapa dia sesungguhnya. Seseorang yang berdusta tetap akan diketahui kedustaannya dari cara ia berkata-kata, walau hal ini sulit dideteksi. Seseorang yang jujur dalam berkata-kata juga akan dapat diketahui kejujurannya, juga walau hal ini sulit dipahami. Tapi tetap kata adalah bentuk lahir dari apa yang ada dihati.

Namun ada kata yang tidak sesuai dengan apa yang dihati, lain apa yang keluar dari mulut, lain pula dari apa yang sesungguhnya dalam hati, agama kita menyebutnya, inilah yang dimaksud dengan munafik. Ancaman Allah swt tidak main-main dalam urusan munafik ini. Hal ini mengindikasikan tetap apa yang dikatakan menunjukkan siapa dia sesungguhnya, yakni munafik.

Pernahkah kita mencoba mengintropeksi kata-kata yang keluar dari lisan kita dalam satu hari ? Dari rangkaian kata yang bertebaran kepada banyak  orang sudahkah mengandung kebaikan? Atau malah menebar malapetaka bagi orang yang mendengarnya, apalagi jika sampai kata-kata yang mengandung malapetaka itu disampaikan orang pula secara berantai, na’udzubillah, mengalir dosanya kepada kita, walau jasad kita telah hancur dikandung tanah.

Saudaraku …

Kita mungkin pernah melontarkan kata-kata yang membuat orang lain sakit hati, namun kita abaikan begitu saja, dengan alasan lidah tidak bertulang, biasalah kalau lidah keseleo, setelah itu kita lupa. Kelupaan kita tersebut merupakan awal dari rusaknya hubungan kita dengan orang yang pernah kita sakiti dengan kata-kata, dan tahukah antum setelah itu … jika hal ini lama-lama dan bertambah banyak kita semai, lambat laun orang-orang akan menjauh dari kita, bahkan orang-orang yang kita cintai sekalipun, muaranya adalah putusnya hubungan silaturrahim. Duhai … sadarilah … besar kemurkaan Allah swt bagi orang-orang yang memutuskan hubungan silaturrahim, tidak akan masuk sorga, ancam Rasulullah saw.

Namun terkadang, kesadaran kita bebal akan hal ini, malah dikala orang-orang menjauh dari kita, karena ulah kata yang tidak pada tempatnya namun telah kita lupakan, dan dikala orang-orang menjauh dari kita akibat dari kata-kata tersebut, kita malah melontarkan tuduhan orang tersebut yang memutuskan hubungan silaturrahim dengan kita karena menjaga jarak dengan kita. Pertanyaannya, mengapa hal tersebut bisa terjadi ? Ya … karena itu tadi, berawal dari kata yang keluar, namun dianggap sepele.

Untuk itu saudaraku …

Sebelum tidur, cobalah merenung agak sejenak, tentang perbendaharaan kata-kata yang pernah terucap oleh kita dalam satu hari, dikala hati sedang tenang, jiwa dalam keadaan stabil menerima kebenaran, disana akan terpancar kebenaran hakiki yang akan mengoreksi segala tindakan kita, termasuk kata-kata kita. Insya Allah, jika kita bersedia merenung kata-kata yang pernah kita ucapkan dalam satu hari, mengoreksinya, ternyata banyak kesalahan dan kekhilafahan yang bukan main-main dan berdampak buruk terhadap orang-orang yang pernah kita lontarkan kata-kata.

Perenungan ini akan mengasah jiwa kita untuk lebih berhati-hati dalam mengeluarkan kata-kata, berpikir sebelum melontarkannya, dan menganalisa dampaknya. Takutlah … jika kata-kata telah terlontar …maka tidak akan mampu ditarik kembali … ia mengalir deras bagaikan air, menghantam apa saja yang ada didepannya. Alangkah ngerinya dikala kata-kata yang kita ucapkan membinasakan banyak orang, bahkan menjadi pegangan dan rujukan orang lain dalam mengeluarkan kata-kata. Na’udzubillah.

Sesungguhnya setiap kata yang diucapkan akan dicatat oleh malaikat dan akan menjadi persaksian kelak diakhirat kelak tentang apa yang kita ucapkan, tak ada satupun yang luput dari pantauan Allah swt, berhati-hatilah wahai saudaraku seiman.

Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

“ Zakat, Rasa Yang Enggan Dirasakan ”


Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji syukur kepada Allah swt, shalawat buat Rasulullah saw.

Dalam Islam, terdapat tiga komponen harta yang harus dikeluarkan; Jizyah, Kharaj dan Zakat. Jizyah merupakan harta yang harus dikeluarkan oleh kalangan kafir zimmi yang berada dibawah perlindungan umat Islam, kafir zimmi yang dimaksud orang-orang kafir yang hidup dan bermukim dalam kekuasaan umat Islam, sementara umat Islam memberikan perlindungan keamanan terhadap mereka, dikeluarkan satu kali setahun dengan ketentuan tertentu yang telah dijelaskan secara detail dalam ilmu Fiqh. Sedangkan Kharaj merupakan penghasilan yang harus dikeluarkan oleh orang-orang kafir dikala mereka mendapatkan hasil panen dari tanah garapan mereka yang merupakan milik Islam. Kharaj ini dikeluarkan dikala panen dan dibayarkan pada pemerintahan Islam. Sementara zakat merupakan kewajiban yang harus dikeluarkan umat Islam yang memiliki harta untuk disalurkan kepada yang berhak menerimanya ( Q.s. Attaubah [ 9 ] : 60 ).

Dari tiga bentuk pengeluaran harta tersebut, jelas kewajiban bagi masing-masing individu dalam Islam teratur secara gamblang. Tidak ada satupun yang luput, disanalah Islam menunjukkan keadilannya.
Saudaraku …Seiman …

Untuk urusan Jizyah dan Kharaj, biarlah, mungkin kita tidak terlibat di dalamnya, tapi untuk urusan zakat, pernahkah kita memikirkannya ??? Selaku muslim, kita mengakui bahwa zakat merupakan sebagai syarat seseorang itu mengaku muslim, sehingga zakat tergolong pada rukun Islam. Namun bagaimana sikap kita tentang zakat ini ???

Banyak alasan yang dikemukakan seseorang yang mengaku muslim tapi enggan membayar zakat, bisa jadi kita termasuk orang-orang yang mencari-cari alasan tersebut. Dengan alasan kita banyak tanggunganlah, anak-anak yang masih banyak duduk dibangku pendidikan sedang membutuhkan biaya, dan berbagai dalih yang diada-adakan hingga berujung pada keengganan membayar zakat,  apalagi keadaan yang mendukung karena memang disekitar kita mungkin kita tidak ditemukan pihak-pihak yang memungut  zakat secara paksa, atau memang tidak terdapat amil, maka dengan leluasa kita abaikan saja kewajiban ini, toh jika tidak membayar zakat, kita tidak akan masuk penjara, tidak akan ada surat tagihan zakat, tidak akan ada surat teguran dan lain sebagainya.

Namun anehnya … dengan jujur kita bayar pajak dengan segera, kita tuliskan segala harta kekayaan kita, kita hitung penghasilan setahun, lalu dengan ikhlas kita buat SPT Tahunan dan kita laporkan kepada kantor pajak, tepat waktu, sangat jujur. Mengapa ? Karena kita takut mendapat surat tagihan pajak jika terlambat membayar pajak, takut akan denda yang menimpa jika terlambat membuat laporan SPT Tahunan, dan tentunya takut jika dianggap pembangkang dalam urusan pajak sehingga kita akan masuk penjara.

Mengapa dikatakana aneh ??? Kita takut akan hal yang membinasakan kita karena tidak membayar pajak, tapi kita tidak takut dengan hal yang membinasakan kita karena tidak membayar zakat. Kita takut dengan pejabat pajak yang siap menginterogasi dan menghukum kita karena melakukan kesalahan dalam urusan pajak, tapi kita tidak merasa takut dengan malaikat pencatat amal karena kita ingkar dengan kewajiban zakat.

Dalam hal ini kita bukan membicarakan masalah kedudukan pajak dalam Islam, namun kita membicarakan bagaimana rasa ketundukan  kita terhadap aturan Islam, selaku kita mengaku muslim. Secara jujur ketundukan itu sangat jauh … sangat jauh. Mengapa ??? Karena urusan Islam adalah urusan hati, hakikatnya  tidak tampak, namun dapat dirasakan, hanya saja kecendrungan kita lebih kuat pada yang tampak, sementara yang tidak tampak kita masih meragukan.

Urusan pajak adalah urusan kasat mata, nampak akibat yang menimpa dikala melakukan pelanggaran, namun urusan zakat urusan jiwa, tak nampak dampak dari pelanggarannya namun dapat dirasakan. Tapi, na’udzubillah, entah karena rasa ini tidak melekat dalam hati kita, sehingga tanpa beban kita tinggalkan kewajiban zakat ini. Ya, rasa itu mungkin yang sangat jauh dalam hati kita, bukan berarti tidak ada rasa itu, tapi kita enggan merasakan.

Sebenarnya dampak yang diakibatkan tidak membayar zakat berlaku didunia. Pernahkah kita merasakan  dikala jiwa tidak mampu untuk khusyu’ dalam beribadah ? Bisa jadi karena isi perut kita dipenuhi dengan harta zakat. Pernahkah kita merasakan, mengapa anak-anak kita begitu nakal ? Bisa jadi karena mereka kita besarkan dengan harta zakat, kita nafkahi mereka dengan harta yang seharusnya kita zakatkan. Karena harta zakat substansinya bukan milik kita, tapi harta orang lain yang melekat dalam harta kita. Namun tanpa beban kita makan harta tersebut, kita nafkahi keluarga kita dengan harta tersebut.

Kitapun mungkin paham, haram hukumnya memfungsikan harta yang bukan milik kita tanpa izin pemiliknya, apakah dalam bentuk menggunakan atau mengkonsumsi. Sehingga kita takut untuk mecari harta dengan jalan yang bathil. Kita berupaya mengumpul harta dan menafkahi keluarga kita dengan jalan yang halal.Tapi pernahkah kita menyadari, ternyata dalam upaya kesadaran kita untuk mencari harta dengan jalan yang halal, ternyata kita telah melakukan kesalahan besar dengan menjadikan harta zakat menjadi milik kita, tanpa beban dan tanpa merasa berdosa.

Inilah kesalahan yang tak kasat mata, namun begitu membinasakan, semua itu berawal karena kita mengabaikan kewajiban zakat dengan berbagai macam dalih. Berawal dari ketakutan kita akan yang tampak, tapi kita lupa akan sesuatu yang tidak tampak, namun dapat dirasakan. Berawal dari rasa yang tidak pernah kita rasakan.
Berhati-hatilah … hal ini begitu samar … hanya rasa yang dapat merasakan hal ini, bukan kasat mata.

Kita renungkan kutipan kalamullah yang begitu agung :
“ Pungutlah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan  dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka.  Sesungguhnya doa kamu itu (membuat) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”( Q.s. At-Taubah [ 9 ] : 103 )


Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Kamis, 26 Januari 2012

Catatan Perjalanan Hiking XI PK MAN Maninjau 1433 H


Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji syukur hanya milik Allah swt, shalawat tercurah buat Rasulullah saw.

Catatan kenangan bersama orang-orang yang Ana cintai, kelas XI PK MAN Maninjau 1433 H.
Alam menunjukkan pesonanya, reranting dan dedaunan bersinergi menyambut pagi  yang indah memukau, hari itu tanggal 29 Shafar 1433 H sekelompok generasi  muda berkumpul di depan Masjid Ummul Qura Bancah, Maninjau. Kehadiran mereka cukup menarik perhatian orang yang lalu lalang ditengah jalan beraspal antara Maninjau dan Sungai Batang.



Ya, Insya Allah kelak itulah rombongan anak-anak para perindu dakwah Ilalllah. Hari itu mereka telah menancapkan nawaitu, akan terlaksana sebuah program, program yang mungkin bagi sebagian anak ABG program main-main dan hura-hura, program yang mungkin ada yang menganggap sebagai pelampiasan rasa kekesalan karena telah berhari-hari dijejali  rumus-rumus ilmu pengetahuan dibangku sekolah, tapi … tunggu dulu, bagi segerombolan generasi ini, program tersebut merupakan program yang telah ditata dengan ruh ukhuwah, program yang dibimbing oleh guru-guru mereka, program yang telah lama dirancang dan dipikirkan dengan akal sehat. Program itu adalah “ HIKING ”, menembus semak belukar, menikmati harumnya aroma dedaunan rimba belantara, menyusuri jalan-jalan setapak  hingga mendaki tingginya puncak dan menuruni dalamnya lembah, menyeberangi derasnya air sungai dan meniti titian-titian maut yang menunggu siapa saja untuk menjadi mangsa empuknya. Semua itu untuk satu tujuan besar, menjalin ikatan persaudaraan yang kuat dalam satu ranah kekeluargaan keluarga besar kelas XI Program Keagamaan ( PK ) MAN Maninjau.



Perjalananpun dimulai, diiringi lantunan-lantunan nasyid haroki, setapak demi setapak pematang sawah ditelusuri, hingga mendaki perbukitan  menuju sebuah kampung yang perumahannya didominasi rumah kosong, itulah Kubu Gadang. Terus mendaki mencapai  perkampungan yang disebut Panji. Sampai disanakah ??? OOOooo… tidak shahabat, pendakian dilanjutkan, medan yang ditempuh sudah mulai terasa berat, jika sebelumnya perjalanan hanya dihadang oleh tingginya pendakian, namun perjalanan ini membutuhkan kehati-hatian, berjalan ditepian tebing yang di bawahnya air sungai dangkal berbatu. Sementara jalan  ditepian tebing hanya sebatas jalan setapak, yang bisa saja menyebabkan kemungkinan terpeleset, karena jalan ini dibuat secara permanen dari semen.



Subhaanallaah !!! Begitu besar nikmat yang diberikan oleh Allah swt kepada hamba-Nya, rombongan masih diberikan kesempatan oleh Allah swt untuk melanjutkan perjalanan, mendaki bukit terjal, ada yang cepat, namun ada juga yang tertatih mendakinya. Tapi semua itu bermuara pada sebuah kesimpulan. Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Akhirnya rombongan sampai di wilayah Ambun Pagi. Wilayah yang jika ditempuh melalu jalan umum akan dapat dicapai melalui kelok 44.
Waktu menunjukkan sekitar jam dua belas siang, matahari sudah terasa terik,  Subhaanallaah, hamparan Danau Maninjau begitu memukau memancarkan pesona.Dari wilayah ini tampak jelas keindahan Danau Maninjau dengan kharismanya  yang membuat lidah ini berdecak kagum, dan akan membuat seorang muslim mengucapkan kata : “ Subhaanallaah, Subhaanallaah ”



Jika ada yang mengatakan pesona Danau Maninjau akan terasa nyata jika dilihat melalui “ Puncak Lawang ” , maka dari Ambun Pagipun tidak kalah mempesona keindahannya, yang terpenting dari sudut mana kita memandang keindahan tersebut ???



Ada hal menarik yang tidak boleh dilupakan, rombongan mendapat suguhan luar biasa dari wali murid salah seorang anggota rombongan, makan kolak labu, naneh, dan satu lagi suguhan batangan “ TABU ” dari salah seorang saudara dari anggota rombongan. Semoga Allah swt membalas dengan kebaikan.
Prosesi kegiatan mencapai garis finish disebuah panorama yang belum  mencapai kesempurnaan pengelolaannya. Untuk sampai pada lokasi ini, diharuskan kembali untuk mendaki, bisa melalui jalur memotong  “ Parak Tabu ” di jalan Ambun Pagi, atau melalui  gerbang lokasi “ Ambun Tanai ” .

Semoga perjalanan ini menjadi kesan penting dalam menanamkan ruh Ukhuwah Islamiyah antar sesama saudara XI PK MAN Maninjau 1433 H, dan semoga perjalanan ini menjadi meomentum berharga bahwa persaudaraan dan kebersamaan yang diikat oleh rasa cinta karena Allah swt menjadi suatu keharusan,
Semoga kelak, antum menjadi sosok generasi yang Ana banggakan, generasi RABBANI, generasi yang tidak sombong akan kecerdasannya, generasi yang tidak angkuh akan potensi diri, generasi yang memahami dengan kesungguhan jiwa bahwa Islam adalah agama yang harus diperjuangkan, generasi yang berani berkata benar dalam kondisi apapun, tentunya generasi yang menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman, generasi yang belajar kitab dan mengajarkannya.

Takbiiiii…………………………………………..r !!!!

Ditulis oleh sosok yang mencintai antum semua …Semoga kita dipertemukan dijalan dakwah. 

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Dikala Ibadah Terasa Hambar


Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji syukur hanya kepada Allah swt, shalawat buat Rasulullah saw.

Mungkin kita pernah merasakan, mengapa ibadah yang kita tunaikan terasa hambar, rutinitas shalat yang kita lakukan tak lebih dari gerakan rukuk dan sujud tanpa pengaruh, percikan air wudhu’  seakan tak terasa menyentuh relung hati yang terdalam, bacaan tilawah al-Qur’an yang kita lantunkan seperti tak berkesan dalam kalbu, mengapa demikian … ??? Pernahkah kita mempertanyakan ??? Atau mungkin memang kita enggan untuk mempertanyakan ???

Sebagai bahan intropeksi bagi diri kita, layak kiranya kita mempertanyakan hal demikian, sebab jika hal ini dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan kesan bahwa ibadah hanya sebatas ritual belaka, ibadah hanya sebatas tiket untuk masuk ke dalam surga, ibadah hanya sebatas karena kita tak ingin dicap kafir.

Padahal, hakekat pensyari’atan ibadah kepada kita oleh Allah swt memiliki tujuan agung agar kita mampu mengarungi kehidupan ini dengan penuh ketenangan.  Pensyari’atan ibadah selalu melahirkan hikmah yang luar biasa, seperti pensyari’atan shalat yang dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar sebagaimana Allah swt gariskan yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-Ankabut ayat 45. Puasa yang menumbuhkan rasa kepedulian sosial, dan haji yang membangkitkan rasa kebersamaan, semuanya bermuara pada ketenangan kalbu dan melahirkan pengaruh begitu dahsyat akan kelangsungan hidup.
Namun seperti pertanyaan tadi, entah mengapa ibadah yang kita tunaikan seakan tak mewujudkan kesan seperti di atas, dalam tahap ini kita coba untuk menganalisis ibadah kita, semoga hal ini menjadi pemicu dan membangkitkan kesadaran kita akan pentingnya ibadah dan menumbuhkan semangat beribadah yang mengarah pada hakikat ibadah yang sesungguhnya :

Pertama, Yang harus dipahami ibadah adalah manifestasi ketundukan, dikala kita hendak melakukan ibadah dalam level apapun, maka resapilah bahwa ibadah yang kita lakukan bentuk kesadaran kita selaku hamba yang  telah digariskan untuk beribadah kepada-Nya, jelas hal tersebut termaktub dalam al-Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 56. Pertanyaannya bagaimana menumbuhkan kesadaran akan pentingnya ibadah sebagai bentuk ketundukan ? Ya, kita harus menyadari, kehidupan yang diberikan oleh Allah swt kepada kita untuk apa ?

Hakikat yang kita butuhkan dalam hidup ini sebenarnya adalah ibadah, hanya saja karena dalam perjalanannya terdapat banyak godaan, maka makna hakikat itu menjadi buram sampai kabur, bahkan sampai menghitam. Mengapa ibadah yang kita butuhkan hakikatnya ? Sederhana jawabnya, kalau bukan untuk ibadah untuk apa kita hidup ? Apakah untuk mencari makan, binatang juga mencari makan, untuk mencari harta yang banyak ? Toh, harta tersebut akan kita tinggalkan. Untuk mendapatkan kesenangan ? Bukankah lebih baik kita tidak dilahirkan kedunia ini yang mengandung berbagai macam problema ? Yang namanya hidup, kesenangan tidak akan selalu berpihak pada kita.
Menyadari hal tersebut, jelas yang kita butuhkan hakikatnya adalah ibadah, sekarang bentuk ibadah itu telah diberikan oleh Allah swt, telah diberikan kita petunjuk jalan untuk melakukannya tanpa meraba-raba, yakni al-Qur’an dan Sunnah. Tidak mampu kita membayangkan jikalau kita membutuhkan ibadah, sementara kita tidak diberikan petunjuk dan tata cara pelaksanannya, meraba-raba sesuatu yang kita harapkan merupakan suatu hal yang menggelisahkan dan menyakitkan.

Bagi Allah swt skenario tersebut telah tertata rapi, melalui rasul-Nya, Allah swt tuntun kita mencapai kebutuhan yang kita butuhkan, Allah swt penuhi kebutuhan kita akan ibadah, tinggal kita lagi bagaimana menunaikan kebutuhan yang telah diberikan tersebut.
Pada tahap ini, dapatlah kita pahami, dikala kebutuhan kita terpenuhi, apakah kita akan meremehkan kebutuhan tersebut ? Tak masuk akal jika jawabannya ya, sebab tidak termasuk dalam logika orang-orang yang berakal, disaat seseorang membutuhkan sesuatu, lalu saat kebutuhan yang dibutuhkan tergapai malah ia campakkan. Logisnya kebutuhan itu ia jaga sepenuh jiwa, bahkan dengan darah dan nyawanya.

Dari sinilah hendaknya langkah kita mengambil pemahaman akan kesadaran ibadah, bahwa ibadah adalah kebutuhan yang telah diberikan oleh Allah swt, akankah kita sia-siakan hal ini, tentu tidak, malah kita akan mempertahankan dengan sepenuh jiwa. Jika hal ini telah terpatri dalam jiwa kita, yakinlah ibadah tidak akan bermakna beban ritual yang memberatkan, tapi malah menjadi kebutuhan yang membuat kita rindu untuk selalu melakukannya.

Kedua, Suatu makanan akan terasa hambar jika tidak dicukupi dengan bumbu yang membuatnya menjadi lezat, maka disaat kesadaran akan pentingnya ibadah itu telah tertancap dalam jiwa, maka bumbuilah ibadah itu agar bermakna. Apakah gerangan bumbu tersebut ? Nawaitu ikhlas mengharap keridhaan yang memberikan syari’at ibadah,  Allah swt. Karena arah dan tujuan kebutuhan akan ibadah itu hanya untuk Allah swt. Allah swt mencukupi kebutuhan kita akan  ibadah, maka tempat muara ibadah itu harus ditujukan kepada sang pemberi kecukupan.

Kembali kepada tadi, kesadaran akan tumbuh dikala kita merasa butuh, sekarang kebutuhan itu telah terpenuhi, namu pemenuhan kebutuhan ini tidak akan cukup dirasakan oleh jiwa, dalam artian kebutuhan tersebut belum merasa tercukupi dikala tidak dibumbui dengan porsi bumbunya.  Kita tidak akan merasakan nikmatnya memakan suatu makanan yang kurang bumbunya, hambar. Maka ibadah tidak akan mendapatkan kenikmatan dikala bumbunya tidak terpenuhi, itulah ikhlas. Nikmat ibadah akan terasa dikala ditunaikan dengan ikhlas, bukan karena sesuatu hal lain, murni karena memang kita selayaknya mengibadahkan diri dengan tulus kepada Allah swt.
Apabila hal ini telah tercapai, insya Allah, ibadah yang kita tunaikan selama ini, akan menimbulkan bekas dalam kehidupan kita, bekas yang akan semakin memicu semangat kiat untuk terus dan terus menanam keinginan untuk beribadah.
Renungkanlah … semoga bahan intropeksi bagi kita semua …

Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh