WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO
WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

Sabtu, 17 September 2011

Mensiasati Kedengkian Dalam Dakwah

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji Syukur hanya layak diberikan kepada Allah swt yang mampu membolak-balikkan hati, Shalawat buat Rasulullah saw  

Kisah ini ana kutip dari karya besar Imam al-Ghazali “ Ihya’ ’Ulumiddin ”,  namun ana tuturkan secara bebas, karena tiada hakikat dari menuturkan kisah keculai agar kita mampu mengambil nilai-nilai yang dapat dijadikan amalan.

Bakar bin Abdillah berkata : “ Seorang laki-laki datang kepada seorang raja, lalu berdiri di dahadapan raja tersebut seraya berkata : ” Berbuatlah kepada orang yang berbuat baik karena kebaikannya, sesungguhnya orang yang berbuat jahat akan dicukupkan baginya oleh kejahatannya.”

Lalu terdapat seorang laki-laki yang dengki kepada  laki-laki yang berkata kepada raja atas kedudukan dan perkataan itu. Ia menfitnah laki-laki tersebut kepada raja, seraya berkata : “ Sesungguhnya laki-laki itu mengatakan raja memiliki bau mulut yang busuk.” Raja bertanya kepadanya : “ Bagaimana mungkin ? ”. Ia berkata : “ Engkau panggil ia. Maka apabila ia dekat dengan engkau , maka ia meletakkan tangannya pada hidungnya agar ia tidak mencium bau busuk mulut. ” Lalu raja berkata kepadanya : “ Pergilah ! sehingga saya menyaksikan yang sebenarnya.”

Maka laki-laki yang dengki itu keluar dari sisi raja, lalu ia memanggil laki-laki yang difitnahnya tadi ke rumahnya, lantas ia memberinya makanan yang di dalamnya terdapat bawang putih.
Kemudian laki-laki yang didengki tadi meninggalkan laki-laki yang mendengkinya tadi, seperti kebiasaanya berdiri dihadapan raja seraya berkata : ” Berbuat baiklah kepada orang yang berbuat baik karena kebaikannya, sesungguhnya orang yang berbuat jahat akan dicukupkan baginya oleh kejahatannya.” Lalu raja berkata kepadanya : “ Dekatlah denganku.” Maka laki-laki itu mendekatinya seraya  meletakkan tangannya pada mulutnya karena takut raja mencium bau bawang putih dari mulutnya. Lalu raja berkata kepada dirinya : ” Saya tidak melihat perkataan si Polan, kecuali benar adanya .”

Bakar bin Abdillah terus berkata : “ Raja itu biasanya tidak akan menulis dengan tangannya sendiri melainkan jika memberi hadiah  atau suatu pemberian. Maka raja menulis surat untuk laki-laki itu dengan tulisannya sendiri yang ditujukan kepada salah satu pegawainya yang berisikan : “ Apabila pembawa surat ini datang kepadamu, maka semeblihlah ia, kupaslah kulitnya, penuhilah kulitnya dengan jerami, dan kirimkanlah kulit itu kepadaku.”

Laki-laki tadi mengambil surat tersebut dan keluar dari sisi raja. Lalu ia berjumpa dengan laki-laki yang menfitnahnya, seraya bertanya : ” Apa isi surat ini ? ”. Ia menjawab : “ Tulisan raja bagiku dengan suatu pemberian. ”  Orang yang menfitnah itu berkata : “ Berikanlah surat itu kepadaku. ” Orang  yang menfitnah itu mengambil surat itu dan membawanya kepada pegawai raja.

Pegawai raja yang menerima surat berkata : ” Di dalam suratmu supaya saya menyembelihmu dan mengupas kulitmu.” Orang menfitnah itu berkata : ” Sesungguhnya surat itu bukan bagiku. Allah, Allah, tentang urusanku ini tetapkanlah hingga kamu memeriksa kembali kepada raja.”
Pegawai raja berkata : ” Tidak terdapat dalam surat raja tentang pemeriksaan kembali.” Lalu pegawai raja itu menyembelihnya, mengupas kulitnya, memenuhi kulitnya dengan jerami dan mengirimkan kulit itu.

Kemudian, laki-laki yang difitnah tadi kembali menemui raja seperti kebiasaannya dan ia mengatakan perkataannya, seperti perkataannya dahulu. Raja heran dan bertanya: ” Apa yang terjadi dengan surat ? ” Laki-laki itu menjawab : “ Si Polan meunjumpaiku, lalu meminta surat itu dari padaku, lantas saya berikan kepadanya.” Raja berkata kepadanya: ” Sesungguhnya ia menyebutkan kepadaku bahwa kamu menyangka mulutku bau busuk.”

Laki-laki itu berkata : “ Saya tidak mengatakan demikian.” Raja bertanya : “ Mengapa kamu meletakkan tanganmu atas mulutmu ? ” Laki-laki itu menjawab : ” Karena orang itu telah memberiku makanan yang di dalamnya terdapat bawang putih, lalu saya takut engkau mencium baunya.” Raja berkata: ” Kau benar, pulangla ke tempatmu. Telah dicukupkan bagi orang yang jahat oleh kejahatannya.” ( Imam Al-Ghazali, , Alih Bahasa oleh Drs. H. Moh. Zuhri Dipl. TAFL, H. Muqoffin Mochtar, Lc, H.Muqorribin Misbah, dengan judul Terjemahan Ihya’ 'Ulumiddin Jilid V ( Semarang : CV. Asy Syifa’, 2003), h. 594-596 )

Kedengkian, demikianlah adanya penyakit yang membinasakan, dalam surat al-Falaq ayat 5 kita diajarkan oleh Allah swt agar berlindung kepada Allah swt dari perbuatan para pendengki. Dari kisah sarat makna di atas, sungguh berbahaya akibat kedengkian jika bercokol dalam jiwa, kedengkian tidak akan puas melihat orang lain mendapatkan kenikmatan, sehingga berupaya secara sungguh-sungguh untuk membinasakan orang yang didengki. Na’udzubillah !

Dalam urusan dakwah, penyakit ini rentan menggorogoti kita yang berjuang dalam urusan dakwah, dengan alasan bermacam-macam melakukan pembenaran akan tindakan kedengkian, seperti menyebutkan kejelekan kelompok gerakan Islam yang berbeda gerakan dengan kita, dengan dalih untuk menjelaskan kepada umat bahwa gerakan mereka adalah sesat, padahal hal itu hanyalah sebuah kedengkian dikarenakan gerakan lain yang disebutkan kejelekannya lebih banyak mendapat pengaruh dari pada kita.

Pertanyaannya, mengapa muncul kedengkian diantara gerakan-gerakan Islam ? Mengapa tidak antara gerakan Islam dengan gerakan non Islam ? Ketahuilah, Imam Al-Ghazali dalam kitabnya yang sama dengan di atas menjelaskan bahwa kedengkian muncul karena sama maksud atau tujuan. Tutur Imam al-Ghazali : “ Karena itulah, kamu melihat orang alim dengki kepada orang alim tidak kepada orang abid ( ahli ibadah ), dan orang abid dengki kepada orang abid tidak kepada orang alim …” ( h. 618-619 ).

Tidak heran kiranya, jika kedengkian terjadi diantara kelompok-kelompok gerakan Islam, karena mereka memiliki satu maksud dan tujuan. Kedengkian itu berwujud disaat kita melihat suatu kelompok gerakan Islam yang tidak satu metode dengan kita menggapai suatu keberhasilan dengan metode yang mereka tempuh, berbagai cercaan dan celaan akan muncul dari kelompok kita tentang metode yang mereka tempuh, upaya menyalahkan metode yang ditempuh oleh kelompok lain tersebut tidak berdasarkan dalil yang kuat, hanya berdasarkan sangkaan belaka dan emosional yang tidak berlandasan. Duhai … sungguh ini merupakan suatu kedengkian yang nyata.

Misalnya, bisa jadi, karena kita tergabung dalam kelompok yang mengharamkan masuk ke dalam sistem pemerintahan non Islami, lalu kita bersorak-sorak mencaci partai politik yang berjuang diparlemen untuk Islam, menghina, mengejek dan menghujat mereka dengan kata-kata kotor, walaupun kita menyadari bahwa mereka adalah saudara se-Iman. Begitu juga sebaliknya, bagi kita yang membolehkan tergabung dalam sistem pemerintahan non Islami melalui partai politik, menyerang balik dengan cara yang tidak bijak terhadap gerakan yang menolak masuk ke dalam sistem pemerintahan Islami. Muaranya saling hujat dan perang idealisme menggerogoti antar kelompok gerakan Islam, sehingga budaya saling menyalahkan dan berupaya saling menjatuhkan akan menimpa kita umat Islam. Disaat itulah, kita akan terpecah belah, bercerai berai, malah akan berakibat saling menghancurkan.

Duhai … ketahuilah, inilah bencana yang begitu dahsyat, pengingkaran yang luar biasa akan sebuah persatuan umat yang selayaknya didengung-dengungkan. Ironisnya, dalam kondisi seperti itu kita malah berkoar-koar bicara masalah kebangkitan umat, bicara masalah menyatukan umat untuk mencapai kejayaan. Kebangkitan yang mana ? Persatuan yang mana ? Apakah kebangkitan menurut  metode kelompok kita yang benar ? Apakah persatuan menurut metode kita yang kita anggap sesuai dengan syari’at ? Sadarilah wahai saudaraku se-Iman. Jangan hanya memandang segala sesuatu berdasarkan kebenaran diri sendiri dan benar menurut pandangan diri, benar menurut kita belum tentu benar menurut orang lain ? Walaupun alasan kita benar menurut al-Qur’an dan Sunnah. Bukankah kelompok lain juga merasa benar dan juga berjuang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah ? Lantas siapa sebenarnya yang benar ?.

Untuk itu, ketahuilah kebenaran hanya milik Allah swt. Maka kembalikan urusan kepada Allah swt jika mendapatkan perbedaan dalam masalah perjuangan ini. Jangan sampai nawaitu kita dalam berjuang ikhlas mengharap keridhaan Allah swt malah dikotori oleh penyakit hati yang luar biasa “ Kedengkian.” Renungkanlah pesan bijak dari kisah di atas :

” Berbuat baiklah kepada orang yang berbuat baik karena kebaikannya, sesungguhnya orang yang berbuat jahat akan dicukupkan baginya oleh kejahatannya.”


Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Apa baru yang telah kita sumbangkan untuk Dakwah ?

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji-pujian hanya milik Allah SWT, shalawat tercurah untuk Rasulullah SAW.

Saudaraku se-Iman, semoga hingga detik ini kita masih bertahan di jalan dakwah yang Allah SWT tetapkan bagi orang-orang pilihan, yang Allah SWt tanamkan pada jiwa-jiwa yang rela dengan penuh keikhlasan menyumbangkan segenap jiwaraganya untuk agama ini. Semoga rintangan dan hambatan yang datang baik dari luar diri kita berupa celaan dan hinaan maupun dari dalam diri kita yang dibisikkkan oleh bisikan nafsu syahwat tidak melemahkan azzam kita dalam meniti jalan ini.

Pernahkah antum mendengar kisah Al-Bakka’un, yakni orang-orang yang menangis. Menangis Karena apa ? Akankah menangisi kehidupan dunia yang terasa semakin sulit dan sempit ? Akankah menangisi kekasih yang sangat dicintai karena harus menikah dengan orang lain ? O, tidak saudaraku, tapi inilah tangisan iman, air mata yang akan berubah menjadi mutiara-mutiara keagungan, air mata yang akan menjadi saksi keteguhan iman. Ana tuturkan secara bebas kisah ini dengan merujuk penuturan Dr. Muhammad Husain Haekal dalam Karya beliau yang berjudul “ Hayat Muhammad ”, diterjemahkan oleh Ali Audah dengan judul “ Sejarah Hidup Muhammad ” ( Jakarta :Tintamas, 1984 ) :

Dalam periode Dakwah Madinah, disaat perhatian diarahkan pada seluruh Jazirah Arab agar tidak ada pihak yang dapat menggoyahkan, tiba-tiba terdengar berita dari pihak Rumawi, bahwa Negara itu sedang mempersiapkan sebuah pasukan tentara yang hendak menyerang perbatasan tanah Arab sebelah utara, dengan suatu serangan yang akan membuat orang lupa akan penarikan mundur secara cerdik yang dilakukan kaum muslimin pada peristiwa perang Mu’ta. Juga akan membuat orang lupa akan pengaruh kaum muslimin yang deras maju ke segenap penjuru yang hendak membendung kekuasaan Rumawi di Syam dan kekuasaan Persia di Hira.
Ketika itu musim panas belum berakhir. Suhu panas musim pada awal musim rontok yang sampai pada titik yang sangat tinggi merupakan musim maut yang sangat mencekam di padang pasir. Disamping itu perjalanan sangat panjang dan sukar ditempuh dari Madinah ke Syam. Maka Rasulullah SAW mengumumkan pemberangkatan untuk menghadapi tentara Rumawi tersebut agar kaum muslimin bersiap-siap.

Bagaimana gerangan sambutan kaum muslimin dalam menyambut seruan ini, yang berarti harus meninggalkan istri, anak, dan harta benda, dalam panas musim yang begitu dahsyat, dalam mengarungi lautan tandus padang sahara, kering, airpun tak seberapa, kemudian harus pula menghadapi musuh yang telah mengalahkan Persia, dan belum dapat dikalahkan oleh kaum muslimin ? … Ada yang menyambut dengan hati yang bersemarak cahaya dan bimbinga Allah SWT, hati yang sudah berkilauan cahaya iman. …Golongan ini segera berbondong-bondong menyambut seruan Rasulullah SAW. … Sedang yang lain masih berat-berat langkah dan mulai mereka mencari-cari alasan, … ya, itulah orang-orang munafik. … Seperti Jadd b. Qais salah seorang Banu Salima, disaat Rasulullah SAW berkata : “ Hai Jadd, engkau bersedia tahun ini menghadapi Banu’l-Ashfar ( bangsa Rumawi )? ”.
“ Rasulullah,” Kata Jadd. “ Ijinkanlah saya untuk tidak dibawa kedalam ujian serupa ini. Masyarakat saya sudah cukup mengenal, bahwa tak ada orang yang lebih berahi terhadap wanita seperti saya ini. Kuatir saya, bahwa kalau saya melihat wanita-wanita Banu’l-Ashfar, saya takkan menahan diri.” … Dalam hal in turun ayat al-Qur’an surat 9 ayat 49.
Namun, disisi lain terdapat rang-orang yang tidak punya datang kepada Rasulullah SAW agar diikutkan dalam peperangan ini. Kata Rasulullah SAW : ” Dalam hal ini sayaa tidak mendapat kendaraan yang akan dapat membawa kamu.”
Dengan demikian merekapun kembali, kembali dengan bercucuran airmata. Mereka sedih, karena tak ada pula yang dapat mereka sumbangkan. Karena tangisana mereka itu mereka bernama Al-Bakka’un ( orang-orang yang menangis ). ( Halaman : 556-560 ).

Aduhai …
Begitu agung jiwa-jiwa para al-Bakka’un, orang-orang yang menangis bercucuran airmata karena tidak memiliki kesanggupan mengikuti panggilan Rasulullah SAW, panggilan yang akan mengangkat derajat manusia pada tingkat tertinggi syahid di jalan Allah SWT. Keinginan yang begitu bergelora untuk terlibat langsung dalam memperjuangkan panji-panji Ilahi, tapi harus tertahan dan tidak tercapai dikarenakan mereka tidak memiliki apa-apa.

Saudaraku se-Iman, pada titik ini, cobalah untuk mengaca pada diri kita, disaat kita menyadari urusan dakwah adalah urusan yang membutuhkan pengorbanan, terutama harta, sementara kita memiliki kemampuan dengan hal itu, lantas kita merasa enggan atau berat untuk menunaikannya dengan berbagai macam alasan yang pada hakikatnya secara nurani kita mengakui alasan itu tidak layak kita jadikan sebagai alasan yang diterima untuk tidak berkorban untuk dakwah.

Kita mungkin pernah merasa berat mengeluarkan recehan uang untuk memberikan sedikit bantuan dalam kegiatan dakwah dengan alasan orang seperti kita yang memiliki rezki pas-pasan tidak apa-apa untuk tidak mengeluarkan harta di jalan dakwah, toh masih banyak orang-orang yang memiliki kemampuan lebih yang akan menyuplai dana perjuangan ini.

Ketahuilah … sesungguhnya antum tertipu, tertipu dengan alasan antum yang dibuat-buat. Memang benar, jika kita tidak memiliki kelebihan harta selayaknya kita terlebih dahulu mencukupi kebutuhan hidup dan menafkahi keluarga. Namun permasalahanya bukan disana, tapi pada titik kesadaran kita, kesadaran akan keinginan hati untuk terlibat langsung dalam urusan yang dijanjikan pertolongan oleh Allah SWT. Sama seperti alasan orang-orang untuk enggan masuk ke dalam barisan dakwah dengan memahami surat Ali Imran ayat 104 :
“ Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung. ”

Bukankah ayat itu menunjukkan hanya segolongan umat untuk menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, jadi jika telah ditunaikan oleh segolongan umat, maka gugurlah kewajiban yang lain ( fardhu kifayah ). Lalu dengan dalih ayat tersebut enggan untuk masuk ke dalam barisan dakwah disebabkan telah ada yang menunaikan.

Duhai … sungguh bisikan syetan itu luar biasa dahsyat, ketahuilah … bisikan-bisikan dengan pemahaman seperti inilah yang menyebabkan Islam hingga hari ini tidak mengalami kebangkitan. Karena hanya selalu berharap pada orang-orang yang telah menunaikan, jika telah ada yang menunaikan lantas kita enggan bergabung di dalamnya.

Disinilah hakekat ketertipuan kita itu, kita tertipu dengan hukum-hukum yang kita pahami secara kasat mata namun jauh dari hakikat tujuan dari hukum itu sendiri. Tidakkah kita menyadari, jika seluruh umat Islam berfikiran jika telah ditunaikan urusan agama ini oleh sebagian orang, lalu gugur kewajiban yang lain, lalu seluruhnya saling berharap-harap yang lain telah menunaikan, akankah kewajiban itu tertunaikan ? Sungguh kita telah tertipu…

Fardhu kifayah hakikatnya adalah kewajiban yang diemban oleh seluruh kaum muslimin, namun jika telah ditunaikan oleh sebagian orang baru gugur kewajiban yang lain, tapi jika tidak ada yang menunaikan, maka seluruhnya menanggung dosa. Pertanyaannnya untuk kita,apakah cukup kita hanya berharap  orang lain menunaikannya.  Apakah kita enggan untuk termasuk kepada golongan orang-orang yang menyebabkan gugurnya kewajiban yang lain ?

Wahai saudaraku ! Berkompetisilah ! Berkompetisilah dalam kebaikan, fastabiqul khairat ( berlomba-lomba dalam kebaikan ) merupakan tuntunan Allah SWT agar kita tidak cukup hanya sebagai penonton, tapi agar kita terlibat langsung dalam sebuah perjuangan. Maka masuk dalam suatu barisan panjang dakwah menegakkan kalimat Allah SWT di permukaan bumi merupakan suatu keniscayaan yang harus kita tanamkan dalam jiwa kita. Dalam bentuk apapun dan dalam situasi apapun. Seperti Al-Bakka’un, mereka menangis kembali dengan bercucuran airmata karena tidak memiliki apa yang harus disumbangkan untuk dakwah, tangisan itu adalah bagian dari peran yang memiliki nilai tinggi disisi Allah SWT. Untuk kita, berapa baru peran dakwah yang kita tunaikan, apa yang telah kita sumbangkan untuk dakwah ini, walaupun dengan setetes air mata, sudahkah kita lakukan ?

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh