Diriwayatkan dalam Jâmi’ at-Tirmidzi, dari
seorang syaikh dari Bani Murrah, dia bercerita,
Setibaku di Kufah, aku diberitahukan
tentang Bilal ibn Abi Burdah, kemudian aku berkata (dalam hati),”Di dalam
dirinya pasti terdapat sesuatu yang bisa dijadikan pelajaran.” Maka aku
mendatanginya.
Ternyata dia sedang mengurung dirinya di
rumah yang dulu terbangun apik, dan ternyata segala keadaannya telah berubah;
tampak padanya seperti bekas siksaan dan pukulan dan dia seperti berada di
tempat sampah.
Aku berkata padanya,“Segala puji bagi
Allah. Wahai Bilal, Aku dulu pernah melihatmu melintas kami, sementara engkau
memegang hidungmu tanpa ada debu menempel padamu, dan kini engkau dalam keadaan
seperti ini. Bagaimana kesabaranmu sekarang?”
Dia bertanya,“Dari bani apakah engkau?”
“Dari Bani Murrah ibn Ubbad,” jawabku.
Dia berkata,“Maukah engkau kuberi tahu
tentang suatu perkataan, yang bisa jadi Allah memberi manfaat darinya?”
“Katakanlah!” tegasku.
Dia berkata,“Abu Burdah (ayahku)
menceritakan kepadaku dari Abu Musa bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda,’Seorang
hamba tertimpa suatu musibah, atau yang lebih dari itu atau yang kurang dari
itu, hanyalah akibat suatu dosa (yang telah dia perbuat). Dan dosa yang Allah
ampuni adalah (karunia yang) lebih banyak (daripada musibah itu)’.” [H.R.
Tirmidzi (hadis no. 3252)].
Dia kemudian membacakan firman Allah,“Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).”(QS. Asy-Syûrâ: 30)(1)
Saudaraku ….
Dalam setiap tindakan kita, tak satupun
yang luput dari pantauan dan pengetahuan Allah swt. Boleh saja seluruh makhluk
dipermukaan bumi tidak mengetahuinya, bisa saja mereka kita tipu dengan
kamuflase yang kita susun secara kamuflase, tapi tidak untuk Allah swt.
Jangan heran jika kita temukan dalam
lapangan kehidupan, terdapatnya orang-orang yang aman-aman saja dalam melakukan
maksiat dari hukum manusia, bahkan ia semakin langgeng dengan kemaksiatannya
tanpa ada satupun hambatan. Tapi apakah ia aman dari hukum Allah swt.? Secara
kasat mata mungkin aman, karena tidak tampak hukuman yang menimpanya, namun
benarkah demikian? Jika memang, mengapa orang yang kelihatan telah hidup dalam
berkecukupan dengan materi, tapi masih lagi menambah dan ingin menambah, bahkan
dalam upaya menambah itu ia lalui dengan jalan yang bathil, tanpa lagi
mengindahkan halal haram. Apakah keinginan untuk menambah dan menambah itu
bukan kegelisahan dan kesusahan hati yang membuat hidup terasa tidak tenang?
Apakah semua itu bukan hambatan hidup untuk merasakan nikmatnya kebahagiaan?
Baiklah, penyadaran diri hakikatnya lebih
penting. Kita tidak perlu melihat pada orang lain, cukup diri kita dijadikan sebagai
bahan pembelajaran. Dalam menempuh hidup, sering kita menemukan
hambatan-hambatan yang sama sekali tidak kita duga, sehingga kita merasa gelisah.
Sebagai permisalan, jika kita orang tua, mengapa kala kita memberi nasehat pada
anak kita, seakan nasehat kita tak bermakna dalam diri mereka, mereka enggan
menerimanya apalagi untuk melaksanakan. Bukankah orang tua adalah sosok yang
terdekat dengan anak? Memiliki pertalian batin yang begitu kuat, rasa yang
mendalam serta kecintaan yang menggelora? Jangan terlalu cepat memvonis anak
kita adalah anak durhaka, anak yang tidak berbakti pada ibu bapak. Bisa jadi
hal tersebut adalah akibat dari perbuatan kita yang sama sekali membuat
anak-anak kita tidak merasa tertarik dan patuh dengan nasehat kita. Mungkin kita
sendiri tidak pernah menunaikan nasehat yang kita ajarkan pada mereka. Kita
hanya mampu memberi pandangan-pandangan nasehat pada mereka, sementara kita
sendiri tidak begitu yakin jika dibawakan pada diri kita. Sebagai bukti ketidak
yakinan kita, kita tidak menunaikannya. Lalu apakah mungkin anak-anak kita akan
menerima nasehat dari kita, yang kita sendiri sama sekali tidak pernah
menunaikannya?
Bisa jadi ini teguran dari Allah swt. untuk
kita, melalui anak-anak kita, bahwa ternyata kita belum pernah melakukan
nasehat yang kita yakini. Artinya kita tidak lebih hanya baru mengetahui
makna-makna butiran nasehat tapi belum
mengamalkannya. Padahal segala pengetahuan intinya adalah pengamalan. Sehingga
melalui cara seperti ini, maka Allah swt. berikan akibatnya melalui anak-anak
kita dengan menutup jalan penerimaan mereka untuk menerima nasehat dari kita.
Tujuannya agar kita menyadari, ternyata kita selama ini telah lalai akan suatu
pengetahuan yang ada dalam diri kita. Segala pengetahuan kita tidak lebih hanya
bagaikan perhiasan yang indah dan mempesona, tapi hanya menawan untuk dilihat,
tidak membawa manfaat apapun.
Jika kita rujuk pada kisah-kisah orang
shaleh nampak sekali kenyataan ini. Seperti kisah Imam Syafi’i yang mengalami
musibah akibat dari kesalahan yang ia lakukan :
Suatu ketika Imam Syafi’i duduk di hadapan
Imam Malik. Ketika itu Imam Malik terkesima dengan kelebihan yang dimiliki Imam
Syafi’i. Lalu Imam Malik berkata, “Allah telah menganugerahkan seberkas cahaya
dalam hatimu, maka janganlah sekali-kali kamu memadamkannya dengan kegelapan
maksiat.”
Namun pada suatu hari ketika Imam Syafi’i
sedang dalam perjalanan menuju rumah gurunya, Waki’ Ibnul Jarah, wasiat Imam
Malik tersebut ia langgar. Ia melihat tumit seorang wanita. Seketika itu
pulalah hafalannya kacau, padahal ia terkenal mampu menghafal persis seperti
yang tertulis, bahkan agar hafalannya tak tercampur, ia meletakkan sebelah
tangannya di atas lembaran berikutnya. Imam Waki’ pun kembali mengingatkan
Syafi’i terhadap nasihat Imam Malik, yaitu agar ia meninggalkan dosa sebagai
obat manjur untuk menguatkan hafalannya.
Kuadukan kepada Waki’
Buruknya hafalanku
Maka ia menasihatiku
agar aku meninggalkan maksiat
Ia juga mengingatkanku
bahwa ilmu adalah cahaya
Dan cahaya Allah takkan diberikan
kepada pelaku maksiat(2)
Berangkat dari sini, dapatlah kita pahami,
apa yang terkandung dari makna mutiara hadits di atas, ’Seorang hamba tertimpa
suatu musibah, atau yang lebih dari itu atau yang kurang dari itu, hanyalah
akibat suatu dosa (yang telah dia perbuat). Senada dengan hadits, ayat di atas menjelaskan“apa
saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri …,”.
Saudaraku …
Begitu hebatnya Allah swt. mengatur urusan
hamba-Nya, dan begitu besarnya kasih sayang Allah swt. pada kita. Kala kita
melakukan kesalahan, Allah swt. memiliki cara tersendiri untuk mengarahkan kita
agar kembali pada jalan kebaikan. Kala kita lupa, maka kita diberikan
peringatan. Kala kita lalai kita diingatkan dengan cara yang membuat hati kita
tertarik untuk keluar dari kelalaian tersebut. Namun ketahuilah …hal ini hanya
akan dipahami dengan kelembutan hati, berpangkal dari perasaan jiwa yang
benar-benar hendak mendapatkan mutiara hidup yang berharga, niscaya segala
pendaran hikmahnya dapat diraup dengan cepat. Tidak bagi hati yang diliputi
kesombongan, keangkuhan penuh muatan arogansi, apapun peristiwa yang ditimpakan
oleh Allah swt. terhadapnya tidak lebih dari prasangkanya pada Allah swt.
dengan prasangka buruk. Menganggap Allah swt. telah zhalim dan aniaya pada
dirinya. Inilah yang membuat manusia semakin jauh dari hidayah.
Perhatikan penggalan-penggalan pesan
terakhir dari hadits diatas,” Dan dosa yang Allah ampuni adalah (karunia yang)
lebih banyak (daripada musibah itu). Begitu juga pada ayat, ”…dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). Ketetapan Allah swt.
terhadap hamba agar sang hamba menjadi baik lebih tinggi dan kuat dari pada
ancaman-Nya pada kita. Renungkanlah !
Adakah keindahan yang melebihi ajaran ini?
Adakah ketinggian kearifan yang mampu melangkauinya? Dalam segala apapun
ketetapan Allah swt. selalu untuk mengarahkan kita agar menjadi baik dan lurus,
sehingga kelak kita akan selamat.
Setelah ini, segala apa yang menimpa kita,
apakah musibah, dan segala macam yang menyulitkan kita, layakkah kita untuk
berkeluh kesah dan berprasangka buruk pada Allah swt.? Tentu saja yang layak
kita semai dalam lubuk hati kita adalah syukur yang tak terhingga karena Allah
swt. telah menuntun kita pada jalan yang diridhai-Nya dengan jalan dan cara-Nya
yang begitu bijaksana. Sungguh Allah swt. sangat tepat urusannya.
Keterangan
:
(1)Lihat
Kisah tersebut dalam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, diterjemahkan dari ‘Uddah
ash-Shâbirîn
wa Dzakhîrah asy-Syâkirîn
oleh Iman Firdaus, Lc., Q.Dpl dengan judul ‘Uddatush Shâbirîn:
Bekal Untuk Orang-Orang yang Sabar (Jakarta: Qisthi Press, 2010), Cet. 1, h.
129-130
(2)Lihat
kisah tersebut dalam Dr. Khalid Abu Syadih, diterjemahkan dari judul asli Wa
Aswataahu Wa In ‘Afauta oleh Ahmad
Ikhwani dengan judul terjemahan Alangkah Buruknya Dosa (Penerbit Gema Insani),
h. 13-14
(*)
Judul berdasarkan kisah dalam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah