WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO
WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

Selasa, 20 Mei 2014

Dialog Seorang Syaikh dari Murrah dengan Bilal Ibn Abi Burdah (*)

Diriwayatkan dalam Jâmi’ at-Tirmidzi, dari seorang syaikh dari Bani Murrah, dia bercerita,
Setibaku di Kufah, aku diberitahukan tentang Bilal ibn Abi Burdah, kemudian aku berkata (dalam hati),”Di dalam dirinya pasti terdapat sesuatu yang bisa dijadikan pelajaran.” Maka aku mendatanginya.
Ternyata dia sedang mengurung dirinya di rumah yang dulu terbangun apik, dan ternyata segala keadaannya telah berubah; tampak padanya seperti bekas siksaan dan pukulan dan dia seperti berada di tempat sampah.
Aku berkata padanya,“Segala puji bagi Allah. Wahai Bilal, Aku dulu pernah melihatmu melintas kami, sementara engkau memegang hidungmu tanpa ada debu menempel padamu, dan kini engkau dalam keadaan seperti ini. Bagaimana kesabaranmu sekarang?”
Dia bertanya,“Dari bani apakah engkau?”
“Dari Bani Murrah ibn Ubbad,” jawabku.
Dia berkata,“Maukah engkau kuberi tahu tentang suatu perkataan, yang bisa jadi Allah memberi manfaat darinya?”
“Katakanlah!” tegasku.
Dia berkata,“Abu Burdah (ayahku) menceritakan kepadaku dari Abu Musa bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda,’Seorang hamba tertimpa suatu musibah, atau yang lebih dari itu atau yang kurang dari itu, hanyalah akibat suatu dosa (yang telah dia perbuat). Dan dosa yang Allah ampuni adalah (karunia yang) lebih banyak (daripada musibah itu)’.” [H.R. Tirmidzi (hadis no. 3252)].
Dia kemudian membacakan firman Allah,“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”(QS. Asy-Syûrâ: 30)(1)

Saudaraku ….

Dalam setiap tindakan kita, tak satupun yang luput dari pantauan dan pengetahuan Allah swt. Boleh saja seluruh makhluk dipermukaan bumi tidak mengetahuinya, bisa saja mereka kita tipu dengan kamuflase yang kita susun secara kamuflase, tapi tidak untuk Allah swt.
Jangan heran jika kita temukan dalam lapangan kehidupan, terdapatnya orang-orang yang aman-aman saja dalam melakukan maksiat dari hukum manusia, bahkan ia semakin langgeng dengan kemaksiatannya tanpa ada satupun hambatan. Tapi apakah ia aman dari hukum Allah swt.? Secara kasat mata mungkin aman, karena tidak tampak hukuman yang menimpanya, namun benarkah demikian? Jika memang, mengapa orang yang kelihatan telah hidup dalam berkecukupan dengan materi, tapi masih lagi menambah dan ingin menambah, bahkan dalam upaya menambah itu ia lalui dengan jalan yang bathil, tanpa lagi mengindahkan halal haram. Apakah keinginan untuk menambah dan menambah itu bukan kegelisahan dan kesusahan hati yang membuat hidup terasa tidak tenang? Apakah semua itu bukan hambatan hidup untuk merasakan nikmatnya kebahagiaan?
Baiklah, penyadaran diri hakikatnya lebih penting. Kita tidak perlu melihat pada orang lain, cukup diri kita dijadikan sebagai bahan pembelajaran. Dalam menempuh hidup, sering kita menemukan hambatan-hambatan yang sama sekali tidak kita duga, sehingga kita merasa gelisah. Sebagai permisalan, jika kita orang tua, mengapa kala kita memberi nasehat pada anak kita, seakan nasehat kita tak bermakna dalam diri mereka, mereka enggan menerimanya apalagi untuk melaksanakan. Bukankah orang tua adalah sosok yang terdekat dengan anak? Memiliki pertalian batin yang begitu kuat, rasa yang mendalam serta kecintaan yang menggelora? Jangan terlalu cepat memvonis anak kita adalah anak durhaka, anak yang tidak berbakti pada ibu bapak. Bisa jadi hal tersebut adalah akibat dari perbuatan kita yang sama sekali membuat anak-anak kita tidak merasa tertarik dan patuh dengan nasehat kita. Mungkin kita sendiri tidak pernah menunaikan nasehat yang kita ajarkan pada mereka. Kita hanya mampu memberi pandangan-pandangan nasehat pada mereka, sementara kita sendiri tidak begitu yakin jika dibawakan pada diri kita. Sebagai bukti ketidak yakinan kita, kita tidak menunaikannya. Lalu apakah mungkin anak-anak kita akan menerima nasehat dari kita, yang kita sendiri sama sekali tidak pernah menunaikannya?
Bisa jadi ini teguran dari Allah swt. untuk kita, melalui anak-anak kita, bahwa ternyata kita belum pernah melakukan nasehat yang kita yakini. Artinya kita tidak lebih hanya baru mengetahui makna-makna  butiran nasehat tapi belum mengamalkannya. Padahal segala pengetahuan intinya adalah pengamalan. Sehingga melalui cara seperti ini, maka Allah swt. berikan akibatnya melalui anak-anak kita dengan menutup jalan penerimaan mereka untuk menerima nasehat dari kita. Tujuannya agar kita menyadari, ternyata kita selama ini telah lalai akan suatu pengetahuan yang ada dalam diri kita. Segala pengetahuan kita tidak lebih hanya bagaikan perhiasan yang indah dan mempesona, tapi hanya menawan untuk dilihat, tidak membawa manfaat apapun.
Jika kita rujuk pada kisah-kisah orang shaleh nampak sekali kenyataan ini. Seperti kisah Imam Syafi’i yang mengalami musibah akibat dari kesalahan yang ia lakukan :
Suatu ketika Imam Syafi’i duduk di hadapan Imam Malik. Ketika itu Imam Malik terkesima dengan kelebihan yang dimiliki Imam Syafi’i. Lalu Imam Malik berkata, “Allah telah menganugerahkan seberkas cahaya dalam hatimu, maka janganlah sekali-kali kamu memadamkannya dengan kegelapan maksiat.”
Namun pada suatu hari ketika Imam Syafi’i sedang dalam perjalanan menuju rumah gurunya, Waki’ Ibnul Jarah, wasiat Imam Malik tersebut ia langgar. Ia melihat tumit seorang wanita. Seketika itu pulalah hafalannya kacau, padahal ia terkenal mampu menghafal persis seperti yang tertulis, bahkan agar hafalannya tak tercampur, ia meletakkan sebelah tangannya di atas lembaran berikutnya. Imam Waki’ pun kembali mengingatkan Syafi’i terhadap nasihat Imam Malik, yaitu agar ia meninggalkan dosa sebagai obat manjur untuk menguatkan hafalannya.
Kuadukan kepada Waki’
Buruknya hafalanku
Maka ia menasihatiku
agar aku meninggalkan maksiat
Ia juga mengingatkanku
bahwa ilmu adalah cahaya
Dan cahaya Allah takkan diberikan
kepada pelaku maksiat(2)
             
Berangkat dari sini, dapatlah kita pahami, apa yang terkandung dari makna mutiara hadits di atas, ’Seorang hamba tertimpa suatu musibah, atau yang lebih dari itu atau yang kurang dari itu, hanyalah akibat suatu dosa (yang telah dia perbuat). Senada dengan hadits, ayat di atas menjelaskan“apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …,”.

Saudaraku …

Begitu hebatnya Allah swt. mengatur urusan hamba-Nya, dan begitu besarnya kasih sayang Allah swt. pada kita. Kala kita melakukan kesalahan, Allah swt. memiliki cara tersendiri untuk mengarahkan kita agar kembali pada jalan kebaikan. Kala kita lupa, maka kita diberikan peringatan. Kala kita lalai kita diingatkan dengan cara yang membuat hati kita tertarik untuk keluar dari kelalaian tersebut. Namun ketahuilah …hal ini hanya akan dipahami dengan kelembutan hati, berpangkal dari perasaan jiwa yang benar-benar hendak mendapatkan mutiara hidup yang berharga, niscaya segala pendaran hikmahnya dapat diraup dengan cepat. Tidak bagi hati yang diliputi kesombongan, keangkuhan penuh muatan arogansi, apapun peristiwa yang ditimpakan oleh Allah swt. terhadapnya tidak lebih dari prasangkanya pada Allah swt. dengan prasangka buruk. Menganggap Allah swt. telah zhalim dan aniaya pada dirinya. Inilah yang membuat manusia semakin jauh dari hidayah.
Perhatikan penggalan-penggalan pesan terakhir dari hadits diatas,” Dan dosa yang Allah ampuni adalah (karunia yang) lebih banyak (daripada musibah itu). Begitu juga pada ayat, ”…dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). Ketetapan Allah swt. terhadap hamba agar sang hamba menjadi baik lebih tinggi dan kuat dari pada ancaman-Nya pada kita. Renungkanlah !
Adakah keindahan yang melebihi ajaran ini? Adakah ketinggian kearifan yang mampu melangkauinya? Dalam segala apapun ketetapan Allah swt. selalu untuk mengarahkan kita agar menjadi baik dan lurus, sehingga kelak kita akan selamat.
Setelah ini, segala apa yang menimpa kita, apakah musibah, dan segala macam yang menyulitkan kita, layakkah kita untuk berkeluh kesah dan berprasangka buruk pada Allah swt.? Tentu saja yang layak kita semai dalam lubuk hati kita adalah syukur yang tak terhingga karena Allah swt. telah menuntun kita pada jalan yang diridhai-Nya dengan jalan dan cara-Nya yang begitu bijaksana. Sungguh Allah swt. sangat tepat urusannya.

Keterangan :

(1)Lihat Kisah tersebut dalam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, diterjemahkan dari ‘Uddah ash-Shâbirîn wa Dzakhîrah asy-Syâkirîn oleh Iman Firdaus, Lc., Q.Dpl dengan judul ‘Uddatush Shâbirîn: Bekal Untuk Orang-Orang yang Sabar (Jakarta: Qisthi Press, 2010), Cet. 1, h. 129-130

(2)Lihat kisah tersebut dalam Dr. Khalid Abu Syadih, diterjemahkan dari judul asli Wa Aswataahu Wa In ‘Afauta  oleh Ahmad Ikhwani dengan judul terjemahan Alangkah Buruknya Dosa (Penerbit Gema Insani), h. 13-14


(*) Judul berdasarkan kisah dalam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah 

Seorang Laki-laki Bani Israil yang Kehilangan Istrinya (*)

Alkisah, di kalangan Bani Israil ada seorang laki-laki yang fakih, ahli ibadah, dan suka berjihad. Dia memiliki seorang istri yang sangat dia sukai. Ketika istrinya meninggal dunia, dia sangat berduka cita dan menyendiri di suatu rumah dan menguncinya, serta tidak mengizinkan siapa pun masuk menemuinya.
Kemudian seorang wanita dari Bani Israil mendengar tentang keadaannya, lalu dia mendatanginya dan berkata, ”Aku memiliki keperluan untuk meminta fatwa darinya, yang apabila dia tidak mengizinkanku masuk ke rumahnya maka aku akan tidak mengetahui jawabannya.”
Orang-orang pun mengantarkan wanita itu kepadanya. Setelah mengetuk pintu, mereka memberitahukan kepadanya keinginan wanita itu. Diapun mengizinkan wanita itu masuk. Wanita itu berkata, “Aku meminta fatwa kepadamu tentang suatu perkara.”
“Apakah itu?” tanyanya.
Wanita itu berkata, ”Aku meminjam perhiasan dari tetangga perempuanku. Aku lalu memakainya dan meminjamnya dalam waktu yang lama, kemudian tiba-tiba dia menyuruh orang datang kepadaku untuk memintanya; apakah aku harus mengembalikannya?”
“Ya, tentu saja,” jawabnya.
Wanita itu bertanya lagi, “Tapi, demi Allah, perhiasan itu telah lama ada padaku?”
“Itu sudah menjadi haknya untuk engkau kembalikan,” jawabnya tegas.
Wanita itu berkata, “Semoga Allah merahmatimu, apakah engkau juga tidak mau mengembalikan apa yang telah Allah pinjamkan kepadamu, yang kini sudah Dia ambil darimu, dan Dia memang lebih berhak darimu?”
Laki-laki itu pun tersadar akan kesalahannya selama ini. Allah telah memberikan manfaat dari kata-kata wanita itu. [Al-Muwaththa’ (vol. 2, hlm. 237)] (**)

Saudaraku …,

Hati, sesuai dengan namanya, ia bolak balik, terkadang kuat, terkadang lemah. Kala ia kuat mungkin bisa menerima kenyataan apapun yang menimpa, tapi saat berada pada titik lemah sulit untuk mengkondisikannya. Hanya saja, hati itu kala ditimpa oleh suatu kesulitan, ia cendrung berada pada titik lemah jika tidak ada yang menguatkannya. Disinilah kita diuji bagaimana untuk mampu bertahan dalam kesabaran walau pada titik lemah sekalipun agar ia merangkak naik menjadi kuat.
Diantara ujian itu adalah kehilangan dari apa yang telah dimiliki. Merasa kehilangan sesuatu yang berada dalam genggaman memang sangat meninggalkan sisa-sisa luka yang mendalam. Apalagi sesuatu yang hilang itu sangat dicintai bahkan mempengaruhi pola hidup kita, seperti harta, anak ataupun keluarga. Terlebih kala manfaatnya sangat terasa dan kita masih berada dalam kenikmatan mereguknya lalu lenyap hilang seketika.
Namun semua itu tidak akan terjadi jika kita memahami siapa diri kita sesungguhnya, dari mana segala yang kita miliki, dan untuk apa kita memiliki segala sesuatu. Dengan sedikit merenung, cobalah untuk bertafakur. Saat kita dilepas kealam dunia, apa yang kita bawa? Tidak lebih dari pada membawa diri yang dipundak terkandung beban amanah. Amanah yang harus kita tunaikan sesuai dengan perjanjian kita pada saat Allah swt. berkata: “alastu birabbikum? (bukankah aku ini Tuhanmu?)”, kita jawab,”balaa syahidna (benar, kami menyaksikan) (Q.s. Al-A’raaf : 172). Amanah untuk hanya menghamba pada-Nya. Amanah untuk mengabdikan diri hidup di permukaan bumi dan kelak akan kembali kepada-Nya. Kelak segala amanah itu akan dipertanyakan. Itulah inti tujuan kita diciptakan kepermukaan bumi, hanya untuk mengabdi kepada-Nya, “dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk mengabdi kepada-Ku” (T.Q.S. Adz-Dzaariyaat : 56.). Tidak ada selain itu yang kita bawa. Tapi apa yang kita bawa itu sungguh sangata berat tanggungjawabnya.
Jika memang demikian adanya, lantas segala apa yang kita peroleh, keluarga, anak, harta dan segalanya di permukaan bumi ini dari mana kita dapatkan? Tentu saja dari Allah swt. yang telah memberi kita beban amanah di alam perjanjian. Semua itu kita dapatkan cuma-cuma dan gratis, tidak ada satupun kita yang mampu mengadakannya dengan sendiri. Karena kita diciptakan telah berjanji untuk menunaikan amanah, maka seluruh apa yang diberikan pada kita merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Ia bukan milik kita, tapi suatu titipan yang kelak akan diambil kembali pemiliknya, namun selama ia berada dalam titipan, kita harus menjaganya sesuai dengan amanah tersebut.
Menjaga amanah berupa titipan dalam artian, kita harus mampu menggunakannya untuk apa hal tersebut dititipkan. Disebabkan inti amanah adalah pengabdian, maka setiap perbuatan kita harus untuk pengabdian. Seluruh yang diberikan kepada kita juga harus difungsikan untuk pengabdian. Harta, anak, istri ataupun keluarga haruslah difungsikan untuk mengabdi kepada-Nya. Seperti harta yang dititipkan kepada kita, hendaklah digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, mengandung kemashlahatan dan dikeluarkan di jalan Allah swt. Begitu juga dengan keluarga, kecintaan kita kepada mereka hendaklah bermuara pada pengabdian, dalam bentuk menafkahi keluarga dan memberikan pendidikan agama yang benar pada mereka,”quu anfusakum ahliikum naaraa. (peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka)” (Q.S. At-Tahriim : 6).
Ketahuilah … setiap penyimpangan yang kita lakukan terhadap amanah, sungguh kita telah ingkar akan perjanjian, kelak niscaya kita akan mendapatkan ganjarannya, “wa mayya’mal mitsqaala dzarratin syarrayyarah (dan barangsiapa yang berbuat keburukan seberat biji dzarrah, niscaya ia akan melihat balasannya)(Q.s. Az-Zalzalah : 8)
Jika kita menyadari hakikat ini, sungguh ternyata beban amanah itu berat. Secara umum, beban amanah yang dipikul oleh manusia telah ditawarkan kepada yang lain, namun semuanya enggan untuk menerima, karena beratnya amanah tersebut. Manusialah yang bersedia menerimanya.
Oleh karena itu, pahamilah ! Tiada satupun yang menjadi milik kita dipermukaan bumi ini, tapi malah kita dibebankan amanah yang berat terhadap apa yang telah dimiliki. Lantas kala segala yang berada dalam amanah ditarik kembali oleh pemiliknya, pantaskah kita untuk berkeluh kesah, bersedih hati ataupun enggan untuk mengembalikannya? Bukankah yang layak bagi kita bersyukur? Sebab semakin ditarik beban amanah kepada kita semakin berkurang beratnya dipundak? Dan sebaliknya semakin kita berupaya mempertahankannya bukankah kita mempertahankan beban dalam hidup?
Ambillah pelajaran ini, agar hati kita lebih lapang menerima kenyataan kala kehilangan sesuatu. Sebab hilangnya sesuatu yang kita “miliki”, hakikatnya berkurangnya beban amanah kita. Sadarilah ! Apa yang telah hilang dari genggaman kita pertanda kita tidak lagi diberikan amanah untuk mengembannya dan ia telah kembali pada pemiliknya. Apa yang menyebabkan kita tidak senang untuk kembali sesuatu kepada pemiliknya? Dan apakah yang lebih menggembirakan kala beban dipundak menjadi ringan?
Demikianlah kiranya pelajaran penting dari kisah di atas, kala laki-laki dari Bani Israil itu diingatkan oleh sang wanita bahwa kala ia kehilangan istri yang membuat ia berat, sang wanita berkata, “Semoga Allah merahmatimu, apakah engkau juga tidak mau mengembalikan apa yang telah Allah pinjamkan kepadamu, yang kini sudah Dia ambil darimu, dan Dia memang lebih berhak darimu?”.

Jika kita mampu meresapi nilai-nilai luhur ini, niscaya apapun yang menimpa kita dari kehilangan sesuatu yang sangat dicintai, insya Allah kita akan mampu untuk bersabar, dan hati yang bolak balik itu akan kuat dengan daya sabar yang bergelora. Sungguh Allah swt. Maha Sempurna dalam mengatur jalan hidup kita.

Keterangan :
(*) Judul berdasarkan kisah
(**) Lihat kisah tersebut dalam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, diterjemahkan dari ’Uddah ash-Shâbirîn wa Dzakhîrah asy-Syâkirîn oleh Imam Firdaus, Lc., Q.Dpl dengan judul ‘Uddatush Shâbirîn: Bekal Untuk Orang-Orang yang Sabar (Jakarta: Qisthi Press, 2010), Cet. 1, h. 129   

Seorang Arab, Sufi dan Singa (*)

Suatu ketika, ada seorang Arab datang bertemu kepada Abu Said Abul Khair. Ia ingin berguru. Abu Said Abul Khair adalah seorang tokoh sufi. Ia terkenal ramah dan gemar mengajar tasawuf di setiap pengajian. Rumah Abu Said Abul Khair, sang guru sufi, terletak di tengah-tengah padang pasir. Ketika orang Arab itu tiba, Abul Khair sedang memimpin majlis semaan (mendengarkan orang membaca doa) di tengah para pengikutnya. Pada waktu itu Abul Khair membaca Al-Fatihah. Ia tiba pada ayat: ghairil maghdhubi alaihim, wa laz zalim. Orang Arab itu berfikir, “Bagaimana mungkin aku boleh berguru kepadanya. Baca Al-Quran saja, ia tidak boleh.”
Orang Arab itu mengurungkan niatnya untuk belajar kepada Abul Khair.
Begitu keluar, orang Arab itu dihadang seekor singa padang pasir yang buas. Ia mundur tetapi dibelakangnya ada seekor singa lain yang menghalanginya. Lelaki Arab itu menjerit keras dan takut. Mendengar teriakannya, Abul Khair turun keluar meninggalkan majlis. Ia menatap kedua ekor singa dan menegur, “Bukankah sudah kubilang jangan ganggu para tamuku.” Kedua singa itu lalu bersimpuh di hadapan Abul Khair.
Sang sufi lalu mengelus telinga kedua singa dan menyuruhnya pergi.
“Bagaimana mungkin Anda bisa menaklukkan singa yang begitu liar?” tanya lelaki Arab yang tampak keheranan.
“ Aku sibukkan memperhatikan urusan hatiku. Untuk kesibukanku memperhatikan hati ini, Tuhan menaklukkan seluruh alam semesta kepadaku. Sedangkan kamu sibuk memperhatikan hal-hal lahiriah, karena itu kamu takut kepada seluruh alam semesta,” jawab Abul Khair.(**)

Saudaraku …
Dalam kisah-kisah sufi banyak kita temukan hal-hal yang kelihatan ganjil dan tidak masuk akal. Namun adakah kita layak untuk menyatakan hal tersebut hanyalah dongeng belaka, hanya karena tidak masuk akal menurut kita? Apakah setiap yang tidak masuk akal tidak dapat diterima? Apakah akal satu-satunya alat untuk memahami sesuatu? Ketahuilah, akal hanyalah bagian dari diri kita untuk melakukan interaksi kehidupan. Untuk itu jika kita menemukan kisah-kisah sufi, lebih baik kita mengambil nilai-nilai yang terkandung dari pada memperdebatkan masuk akal atau tidak. Sebab memang kenyataannya dalam literatur kesufian, segala sesuatu yang digambarkan terkadang hanya bersifat majazi atau alegoris semata, dan arahnya lebih banyak pada pengajaran nilai.
Dalam tataran kisah di atas, apa yang terlintas dalam pemahaman kita? Ini bukan masalah pembenaran akan bacaan Sang Sufi yang memang salah. Tapi tentang pengajaran gambaran hidup. Bagaimana cara kita memandang hidup. Dari sudut mana kita menyikapi segala apa yang menimpa. Agar kita lebih menggunakan segala potensi dalam diri kita untuk memaknai hidup, bahwa hidup hakikatnya tidak sebatas apa yang kita lihat.
Dalam hidup, kita sering melihat dari kaca mata  lahiriah belaka. Padahal lahiriah umumnya adalah menipu, seperti fatamorgana genangan air ditengah terik mentari yang memperdaya kita. Banyak hal-hal lahiriah yang bersebrangan dengan yang sesungguhnya. Kecendrungan melihat lahiriah inilah yang menyebabkan kita merasa sempit dalam menempuh kehidupan. Hal ini akan terasa kala kita mendapati hidup yang tidak sesuai dengan keinginan. Kesulitan dan kesusahan yang mendera membuat kita resah. Semua itu akibat dari cara kita memandang hidup secara lahiriah.
Ini karena kita tidak mampu melihat melalui kacamata hati, yang mana disanalah bersarangnya segala muara persepsi tentang hidup. Kita tidak bisa memahami bahwa segala kesulitan dan kesusahan adalah bagian dari roda kehidupan yang harus kita tempuh. Ia merupakan bunga-bunga kehidupan yang akan membuat hidup itu lebih berwarna. Kesulitan dan kesusahan merupakan pembeda dalam hidup agar hidup tidak berjalan secara datar dan membosankan. Ia hadir sebagai pengolah keadaan jiwa agar tetap segar dan tidak beku akibat kemenotonan. Bukankah kita bosan dengan keadaan yang tidak berubah-ubah? Disanalah urgensi kesulitan dan kesusahan memainkan perannya.
Tapi akibat dari cara kita yang memandang kesulitan dan kesusahan secara lahiriah, maka yang tampak serta yang kita rasakan hanya beratnya. Muaranya tentu saja keluh kesah dan tidak bisa menerima takdir, mengutuk, mencaci, serta meratapi nasib. Jika telah sampai pada tahap ini, sudah dapat dibayangkan apa yang akan terjadi. Hidup kita akan diliputi kesulitan dan kesusahan yang mendera secara berkepanjangan.
Maka perhatikanlah perkataan Abul Khair, “ Aku sibukkan memperhatikan urusan hatiku. Untuk kesibukanku memperhatikan hati ini, Tuhan menaklukkan seluruh alam semesta kepadaku. Sedangkan kamu sibuk memperhatikan hal-hal lahiriah, karena itu kamu takut kepada seluruh alam semesta.” Apa yang kita dapat dari untaian kata ini? Selama kita sibuk dengan urusan lahiriah, maka kita akan ditaklukkan oleh keadaan yang tampak kasat mata. Mengapa demikian? Karena hidup di dunia adalah sesuatu yang nyata dan kasat mata. Kita berada di wilayah tersebut, merasakan kesan dan sentuhannya. Mata kita melihat, telinga kita mendengar, kulit kita dapat meraba apa yang kita saksikan dan kita rasakan di dunia ini. Dengan mendapati ini kita terobsesi akan kenyataan lahiriah. Akibatnya apapun yang menimpa kita, maka kita tanggapi juga secara lahiriah. Jika kita ditimpa kesulitan dan kesusahan akan terasa berat, itulah yang menyebabkan mengapa kita merasa sulit dan resah. Lihatlah kesudahannya, sulit dan resah yang kita rasakan terasa sangat memberati kita, demikianlah yang dimaksud kita takluk dan takut olehnya, seperti perkataan Abul Khair,” … Sedangkan kamu sibuk memperhatikan hal-hal lahiriah, karena itu kamu takut kepada seluruh alam semesta.” Keadaan telah menjadi hantu bagi kita. Artinya kita takut atau merasakan keadaan hidup yang berat mendera sebagai beban yang berat. Sebagai buktinya, kita selalu cemas dan takut kesulitan dan kesusahan menimpa kita. Berbagai cara kita lakukan agar tidak menimpa kita, dan hal itu menyibukkan diri kita untuk hanya melepaskan beban hidup yang menghimpit. Kala kita tidak mampu melakukannya, apalagi yang muncul jika tidak keluh kesah, meratapi nasib, bahkan mengakibatkan hilangnya keadilan Allah swt. dihati kita dalam menetapkan urusan hidup? Na’udzubillaah. Semua itu terjadi karena kita takut dengan apa yang terjadi di permukaan bumi ini, takut dengan alam semesta, kata Abul Khair, sehingga kita dikuasai. Padahal kita hidup di permukaan bumi ini untuk menguasai Alam, bukan untuk dikuasainya.
Untuk itu, belajarlah untuk memandang sesuatu bukan secara lahiriah, lihatlah segala sesuatu itu dengan mata hati, seperti kata Abul Khair, “Aku sibukkan memperhatikan urusan hatiku. Untuk kesibukanku memperhatikan hati ini, Tuhan menaklukkan seluruh alam semesta kepadaku.” Pemahaman yang dapat kita ambil, kala sesuatu kita lihat bukan berdasarkan lahiriah semata, tapi dengan hati kita, tak kasat mata, maka apapun yang menimpa kita lebih mampu kita pahami sebagai sesuatu yang mengandung manfaat. Kita tidak memandangnya sebagai musuh yang harus ditakuti, malah kita kuasai untuk mengambil pelajaran darinya dengan mengendalikannya secara bijak.
Yang dimaksud melihat dengan hati adalah menyaksikan segala apa yang kita lihat bukan dari kadar yang nampak semata, tapi mengambil nilai-nilai apa yang terkandung dari setiap apa yang kita saksikan. Kita tahu, kala kita mengakui Allah s.w.t. sebagai Tuhan kita, tentunya Allah s.w.t. menjadi sumber kebaikan dan kebenaran. Jika sumber kebaikan dan kebenaran, segala ketetapan-Nya tentulah baik dan benar. Sementara apa yang kita saksikan bersumber dari-Nya, tentu saja hal itu baik dan benar. Maka kala kita menyaksikan suatu hal yang tampak bersebrangan dengan kebaikan dan kebenaran yang berasal dari Allah s.w.t. pasti ada kebaikan dan kebenaran dibalik itu yang tidak kasat mata, hanya lahirnya saja yang tampak bersebrangan. Mengapa demikian? Banyak alasannya, bisa jadi untuk menguji kita sejauhmana kemampuan kita untuk mengetahui rahasia hidup yang misteri agar kita tidak hanya menggunakan alam lahiriah kita tapi menuntut memfungsikan batin kita.
Jika kita korelasikan dalam memaknai kesulitan dan kesusahan hidup, saat kita telah mampu melihat dengan mata hati bukan dengan lahiriah, maka saksikanlah seberat dan sebanyak apapun kesulitan dan kesusahan hidup akan mampu kita maknai secara bijak. Pasti ada kebaikan dan kebenaran yang hendak Allah s.w.t. tetapkan dalam urusan tersebut. Kala kita telah sampai pada puncak ini, masihkah memiliki peran segala keluh kesah, meratapi nasib hingga menganggap hidup tidak adil? Ooo… tidak, malah kita merasakan kelapangan hidup dalam kesempitan, malah kita merasakan anugrah lain dalam kesusahan yang menderanya. Yang tampak sekali kesulitan dan kesusahan hidup kala kita maknai dengan hati, dengan kita pahami ada kebaikan dan kebenaran di dalamnya, akan lebih mendekatkan diri kita kepada Allah s.w.t. dan keyakinan kita kepada Allah s.w.t. akan kokoh. Tidak ada lagi ketakutan dengan apapun  yang mendera dalam hidup, sebab kita telah menguasainya. Demikianlah cara Allah s.w.t. mencintai hamba-Nya agar sang hamba itu juga mencintai-Nya sepenuhnya.

Inilah pembelajaran dari sebagian kecil dari kisah sufi yang dapat kita jadikan pelajaran dalam hidup yang penuh tantangan dan gelombang. Sungguh semua itu hanya dapat dipahami bagi kita yang bersedia menggunakan mata hati.

Keterangan :

(*) Judul berdasarkan Kisah
(**)Lihat kisah ini dalam Fienso  F.A & Endang Agustina, 97 Kisah Sufi, dalam bahasan Alam Semesta pun Takluk dengan Kekasih Tuhan (Jakarta: Edsa Mahkota, 2006), Cet. 1, h.  4-6

Pemimpin Mukmin di Surga (*)

Terdapat dalam riwayat Ath-Thabrani dalam Mu’jam-nya. Dari Abu Hurairah r.a., dia bercerita,
Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sungguh orang miskin kaum Mukminin akan masuk surga setengah hari, yaitu lima ratus tahun lebih dahulu daripada orang-orang kaya mereka.”
Seorang laki-laki bertanya, “Adakah aku termasuk di antara mereka, wahai Rasulullah?”
Beliau bertanya, “Kalau engkau di siang hari makan, kemudian engkau pulang di malam hari untuk makan, adakah makan malam bagimu?”
“Ya,” jawab laki-laki itu.
Beliau bersabda, “Engkau tidak termasuk di antara mereka.”
Laki-laki lainnya bertanya, “Adakah aku termasuk di antara mereka , wahai Rasulullah?”
Beliau balik bertanya, “Apakah aku telah mendengar pertanyaanku kepada orang tadi sebelum engkau?”
“Ya, tapi aku tidak seperti dia,” jawabnya.
Rasulullah s.a.w. pun bertanya, “Apakah  engkau memiliki pakaian lain untuk menutupi tubuhmu selain yang kaukenakan ini?”
“Ya,” jawabnya.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Kalau begitu, engkau tidak termasuk di antara mereka.”
Laki-laki lain bertanya, “Adakah aku termasuk diantara mereka, wahai Rasulullah?”
Rasulullah s.a.w. balik bertanya, “Apakah engkau telah mendengar pertanyaanku kepada kedua orang tadi sebelum engkau?”
Laki-laki itu menjawab, “Ya.”
Beliau bertanya, “Apakah engkau bisa mendapatkan pinjaman ketika hendak berutang?”
“Ya,” jawabnya.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Kalau begitu, engkau tidak termasuk di antara mereka.”
Laki-laki lain bertanya, “Adakah aku termasuk diantara mereka, wahai Rasulullah?”
Rasulullah s.a.w.balik bertanya, “Apakah engkau telah mendengar pertanyaanku kepada mereka tadi sebelum engkau?”
Laki-laki itu menjawab, “Ya.”
Rasulullah s.a.w, bertanya, “Engkau mampu mencari nafkah?”
“Ya,” jawab laki-laki itu.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Engkau tidak termasuk di antara mereka.”
Laki-laki kelima berdiri dan angkat bicara, “Aku termasuk di antara mereka, wahai Rasulullah.”
Beliau bertanya, “Apakah engkau telah mendengar pertanyaanku kepada mereka semua tadi sebelum engkau?”
Laki-laki itu menjawab, “Ya.”
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Apakah engkau ridha pada Tuhanmu di sore hari, begitu pula di pagi harinya?”
“Ya,” jawabnya.
Rasulullah s.a.w bersabda, “ Kalau begitu, engkau termasuk di antara mereka.”
Nabi s.a.w. bersabda, “Sungguh para pemimpin mukmin di surga adalah orang-orang yang apabila makan siang maka dia tidak mendapatkan makan malam; sedangkan apabila dia makan malam, dia tidak mendapatkan makan siang. Jika dia hendak berutang, dia tidak mendapatkan pinjaman. Dia juga tidak punya pakaian lebih selain apa yang menutupi bagian anggota tubuh yang harus tertutup. Mereka tidak mampu mencari nafkah untuk menghidupi diri mereka. Namun, ketika sore hari dia ridha pada Allah dan pada pagi harinya dia pun ridha pada-Nya.”
“Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para shiddîqîn, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”(Q.S. An-Nisâ’:69)
Ath-Thabarani mengatakan, Hadits ini gharîb dari Sufyan ats-Tsauri dari Muhammad bin Zaid yang disebut-sebut bahwa dia adalah al-Abdi. Abdul Malik meriwayatkannya secara sendirian. (**)

Saudaraku …

Inilah puncak kekayaan hati yang ditanamkan Islam ke dalam hati kita. Kekayaan yang melebihi betapapun tingginya menara kekayaan materi. Kekayaan yang dirasakan jiwa dengan  penuh kenikmatan hingga dunia terasa lapang dan sama sekali tidak mengandung beban di dalamnya. Kekayaan yang mengantarkan kita pada sebuah pengabdian, kepasrahan dan ketundukan yang diluapi rasa ikhlas akan menerima kenyataan hidup. Kekayaan yang menutup celah-celah bisikan iblis sang penggoda untuk menggiring kita pada lembah kesempitan hidup. Kekayaan yang akan membuat para Raja tak bermakna kemegahan kekuasaannya. Kekayaan yang membuat para hartawan sama sekali tidak memiliki kedudukan. Kekayaan yang meruntuhkan ambisi untuk bermegah-megahan. Ya, kekayaan itu adalah ridha. Rela menerima segala ketetapan Allah s.w.t. dan memandang hal tersebut sebagai suatu kemuliaan dengan hati yang lapang.
Kekayaan inilah yang hilang dari hati orang-orang yang dirundung gelisah penuh keluh kesah. Sebab hatinya selalu diliputi rasa tidak cukup. Hati tidak pernah merasakan kenikmatan dari apa yang dia miliki. Hatinya cemas akan keadaan dimasa yang akan datang bagaimana kelak hidup ini jika kebutuhan hidup tidak terpenuhi. Kekayaan ini pulalah yang tidak dimiliki oleh jiwa-jiwa penuh ambisi untuk mencapai kemegahan hidup. Hatinya telah diliputi perasaan bahwa kebahagiaan itu lahir dari terpenuhinya segala keinginan. Ia lupa keinginan hakikatnya lebih banyak diiming-imingi oleh hawa nafsu, berkembang dan menjalar melalui bisikan-bisikan iblis yang memang program mereka hendak mencari pengikut sebanyak-banyaknya. Dan kelupaan yang paling besar kala tidak menyadari bahwa apa yang telah ada dalam diri adalah nikmat yang begitu luar biasa, namun yang tampak dan dirasakan hanyalah segala kekurangan.

Saudaraku …

Tentunya kita ingin mecapai kekayaan  yang mulia tersebut. Rida menerima segala ketentuan dengan hati yang tanpa dibebani nafsu-nafsu keserakahan dan ambisi. Rida menerima kenyataan hidup tanpa berkeluh kesah dengan selalu memunculkan prasangka baik atas segala ketetapan Allah s.w.t.
Hanya saja, bagaimana menumbuhkan dan meraih kekayaan tersebut? Dalam ruang lingkup hidup yang dibebani dengan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi? Dalam pertarungan hidup yang keras penuh persaingan? Ketahuilah …! Segala sesuatunya bersumber dari hati, hati yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan segala urusan diri kita. Ia bagaikan raja yang mengendalikan seluruh umat dalam aturan dan segala titahnya. Jika hati ini mampu kita kondisikan, insya Allah pencapaian hal tersebut akan mudah.
Maka mulailah dari hati untuk mengetahui dan menerima, lebih penting dari itu harus yakin, bahwa segala proses dan apapun yang terjadi di permukaan bumi ini berada dalam pengaturan Allah s.w.t. Segala sesuatu ditetapkan oleh Allah s.w.t., itulah takdir. Tak satupun manusia yang bisa untuk mengubah takdir. Hanya manusia diberikan pilihan untuk memilih takdir yang diinginkan. Dalam pencapaian pilihan inilah, sangat menentukan kredibilitas kita. Apakah tergolong orang-orang yang memilih takdir kebaikan yang akan menyelamatkan kita di dunia dan akhirat. Atau sebaliknya, memilih takdir keburukan yang kelak mengantarkan kita pada liang-liang neraka yang mengerikan.
Lantas, apa yang membuat kita ragu dalam segala ketetapan Allah s.w.t. untuk kita? Jika Allah s.w.t. telah menetapkan takdir rezki kita sedikit, maka ambillah takdir yang sedikit itu. Nikmatilah, niscaya ia akan terasa menjadi nikmat. Kita harus yakin, Allah s.w.t. lebih tahu tentang mana yang terbaik untuk kita. Ambisi untuk lebih dari itu hayalah pilihan takdir keburukan yang harus kita singkirkan agar jangan mengambilnya. Jika hati kita tetap tergerak dan ingin sekali meraihnya, ketahuilah ! Sungguh hal demikian hanyalah bisikan-bisikan iblis untuk mencelakakan kita agar kita tidak ridha dengan takdir. Ia tampakkan keindahan agar kita meluluskan ambisi tersebut, dengan segala macam tipu daya yang menyesatkan namun tampak indah dalam pandangan mata, hinga kita tergoda dan lupa bahwa kita diciptakan ke dunia bukan untuk itu.
Ambisi mengikuti bujuk rayu iblis hanya akan melelahkan kita dan melalaikan kita untuk menerima apa adanya dengan rida. Sehingga apa yang telah kita peroleh yang seharusnya kita ridha, dan itulah takdir kebaikan bagi kita, tidak terasa lagi nikmatnya dan hilang segala keutamaannya dalam hati kita. Pada saat ini ridha akan semakin jauh dalam jiwa kita. Yang ada hanyalah keluh kesah, mengutuk nasib dan selalu merasa kekurangan. Na’udzubillaah.
Petikan terakhir dari petuah Rasulullah s.a.w. sesungguhnya hentakan yang menghujam pada kedalaman lubuk hati terdalam, “Sungguh para pemimpin mukmin di surga adalah orang-orang yang apabila makan siang maka dia tidak mendapatkan makan malam; sedangkan apabila dia makan malam, dia tidak mendapatkan makan siang. Jika dia hendak berutang, dia tidak mendapatkan pinjaman. Dia juga tidak punya pakaian lebih selain apa yang menutupi bagian anggota tubuh yang harus tertutup. Mereka tidak mampu mencari nafkah untuk menghidupi diri mereka. Namun, ketika sore hari dia ridha pada Allah dan pada pagi harinya dia pun ridha pada-Nya.” Ini bukan masalah apakah kita tidak boleh untuk mengambil kekayaan dunia, atau masalah apakah kita harus hidup miskin. Tapi berada pada ranah sejauhmana kekuatan hati kita untuk menerima takdir hidup dengan kelapangan penuh ikhlas, ridha akan segala apa yang telah ditetapkan untuk kita.
Ketahuilah … ridha itu puncak kekuatan orang mukmin, ia lahir dari kemampuan melihat apa yang menjadi kehendak Allah s.w.t. dan ia yakin kehendak itulah yang terbaik.
Jalan untuk mencapai semua itu tiada lain, dengan cara memandang segala apa yang ada di dunia ini hanyalah bersifat sementara, tidak kekal. Bahkan ia merupakan instrumen penguji sejauhmana pemahaman konsep hidup dalam hati kita. Apakah hidup untuk meraih keuntungan dan bersenang-senang di dunia ini, atau hidup untuk merasakan nikmatnya menjadi sosok hamba yang kelak akan kembali pada Sang Pencipta. Jika yang pertama, maka sungguh kita hanya akan diliputi kegelisahan, kegalauan dan angan-angan kosong kala tidak mendapatkan apa yang diinginkan, sebab keuntungan itu sementara, rasa senang itu relatif. Kala keuntungan dan kesenangan tidak kita dapatkan kita akan menjadi gundah dan terus, terus, dan terus berupaya untuk mencapainya. Dalam pencapaian itu kita diliputi kesusahan yang bertambah-tambah, apalagi jika tidak tercapai, akan menyebabkan hilangnya keseimbangan diri, goncang jiwa kita, maka iblis akan mudah menggelincirkan kita.
Namun jika hidup dipahami sebagai hamba yang kelak akan kembali pada Sang Pencipta, kita akan menyadari bahwa diri ini tiada lain berada dalam sebuah program pengaturan Sang Pencipta yang tidak bisa dirobah. Kita hanya hamba yang diciptakan dan harus bekerja serta berbuat sesuai dengan aturan untuk apa kita diciptakan. Saat kita berjalan pada aturan tersebut niscaya kita akan mudah sampai tujuan. Ibarat seorang ahli teknik membuat sebuah suatu peralatan mesin canggih, disana ia tetapkan aturan-aturan kerja dari mesin tersebut agar berfungsi dengan baik. Maka selama mesin itu bekerja sesuai dengan aturan pembuatnya, niscaya mesin itu akan bekerja dengan baik dan pencapaian hasilnya akan memuaskan. Tapi jika difungsikan dalam kerjanya bukan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh yang membuat, akibat yang menimpa mesin tersebut akan rusak. Sebab bekerja tidak sesuai dengan prosedur. Bekerjanya mesin dengan prosedur serta dengan kepatuhannya menjalankan aturan sesuai dengan aturan pembuatnya yang lebih tahu bagaimana seharusnya bekerja mesin tersebut, suatu bentuk aplikasi nyata konsep rida. Saat mesin itu ridha menjalankan fungsinya sesuai aturan, maka jalannya lapang, tidak tersendat-sendat, sebab ia berjalan dijalannya.
Begitulah seharusnya kita, kala kita ridha dengan aturan Allah s.w.t. sebagai hamba dari yang menciptakan kita, niscaya jalan hidup kita akan lapang dan lurus. Sebab Allah s.w.t.lah yang memegang kendali dan memiliki aturan tentang kita, dan telah ditetapkan segala aturan itu di Lauh Mahfuzh, jauh sebelum kita menempuh hidup di permukaan bumi ini.
Maka kesimpulannya, apapun bentuk ketetapan Allah s.w.t. untuk kita itulah aturan yang harus kita jalankan, jika berjalan dalam aturan itu niscaya kita akan selamat. Berjalan dalam aturan itulah intisari dari ridha. Untuk itu bangunlah kesadaran diri kita, dengan ridha menempuh hidup ini dalam bentuk menerima dan menjalani apapun ketentuan Allah s.w.t. Tentunya dengan bersabar akan apapun yang menimpa kita, walaupun terasa sulit dan berat. Sesungguhnya sabar dan ridha adalah dua konsep yang saling membutuhkan dan saling tolong menolong. Kita akan ridha menerima kenyataan hidup jika kita bersabar dengan segala ketentuan hidup dari Allah s.w.t. dengan tidak berkeluh kesah. Pupusnya keluh kesah adalah bentuk dari rasa ridha kita. Tanamkanlah ke dalam hati kita, wahai saudaraku ! Semoga kita diberi kekuatan untuk menjadi orang yang bersabar, sabar yang akan mengantarkan kita pada puncak kekayaan hidup, yakni ridha.

Keterangan :

(*) Judul berdasarkan kisah
(**)Lihat kisah tersebut dalam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, diterjemahkan dari ‘Uddah ash-Shâbirîn wa Dzakhîrah asy-Syâkirîn oleh Iman Firdaus, Lc., Q.Dpl dengan judul ‘Uddatush Shâbirîn: Bekal Untuk Orang-Orang yang Sabar (Jakarta: Qisthi Press, 2010), Cet. 1, h. 336-338 

Jumat, 16 Mei 2014

Catatan Kunjungan Generasi Ash-Haby PK MAN Maninjau Ke Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka

Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh
Puji syukur kepada Allah rabbul 'izzati, shalawat buat sang idola kita Rasulullah saw.

Photo : Kebersamaan Generasi Ash-Haby PK MAN Maninjau di Lokasi Sekitar Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka

Tak ada kata diam dan berhenti, tak ada kata istirahat kecuali hanya untuk mengumpulkan tenaga, tak ada waktu luang yang membosankan, itulah kami keluarga besar PK MAN Maninjau. Komunitas yang dibangun atas dasar gelora iman yang mengejewantah dalam bentuk ukhuwah.
Hidup adalah berjuang untuk berkarya, hidup harus bermakna, setiap desah nafas adalah suatu pertanggungjawaban kelak di Yaumul Hisab. Untuk itu kami berupaya untuk melakukan apa yang menurut kami bisa untuk menyelamatkan diri dari hal-hal yang membinasakan, baik binasa secara duniawi ataupun binasa secara ukhrawi.
Dan ketahuilah ….ini bukan suatu hal yang narsis, tapi suatu penanaman sebuah asa dan azzam yang bergelora dalam jiwa-jiwa kami sebagai generasi penerus Islam. Dalam rajutan ukhuwah, kami bangun mozaik kehidupan penuh semangat dan kebersamaan. Dalam luapan lautan cinta, kami labuhkan impian kami di dermaga harapan terbangunnya suatu peradaban yang gemilang melalui jejak dan goresan-goresan yang kami tinggalkan dalam prasasti iman.
Kamis, 15 Rajab 1435 H, ukhuwah tersemai, kebersamaan berpendar, membentuk percikan warna-warni indah menawan, bak percikan bunga api  penuh warna ditengah malam nan indah dihiasi purnama keempat belas. Sesungguhnya bagi kami, yang akan mampu melapangkan hati kami hanyalah Allah swt. Maka kami raih kelapangan hidup dengan cara mencari kebahagiaan yang kami pahami. Adakah kebahagiaan dari pada tingginya pemahaman akan ilmu dan tergabungnya dalam sebuah jama’ah yang sama-sama punya nawaitu mengagungkan agama Allah swt. Ya, dihari itu, kami menunaikan suatu nawaitu, menyambangi Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka. Pesanggrahan sosok hebat dan dahsyat yang telah mengguncang dunia dengan kearifan dan kedalaman serta keberaniannya yang aduhai. Banyak hal yang dapat kami petik dari kunjungan yang mengandung manfaat menggunung ini. Tentang perihidup Buya Hamka, ulama kebanggaan orang Maninjau, mulai dari kecilnya hingga menjadi ulama besar. Pengetahuan ini bukan mengada-ada, karena kami langsung disambut hangat oleh Pak Hanif (nara sumber) di Museum  dan memberikan informasi-informasi mengenai ulama kharismatik Buya Hamka. Indahnya lagi, kami diberi wejangan, nasehat dan tausyiah sarat makna. Alhamdulillaah, kami juga diberi hadiah tulisan beliau tentang Buya HAMKA Sang Inspirator.

Photo : Pak Hanif (nara sumber) memberikan keterangan tentang sosok Buya Hamka dalam Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka, 15 Rajab 1435 H

Photo : Pak Hanif (kiri, baju lengan panjang) memberikan kenang-kenangan berupa buku tulisannya tentang Buya Hamka Sang Inspirator kepada guru pembina Generasi Ash-Haby PK MAN Maninjau (kanan, jaket hitam), 15 Rajab 1435 H

Photo : Generasi Ash-Haby PK MAN Maninjau photo bersama dengan Pak Hanif (nara sumber) di Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka, 15 Rajab 1435 H. 

Tak hanya itu, dalam museum tersebut, kami disuguhkan dengan karya-karya Buya Hamka yang begitu bejibun. Masya Allah, sungguh beliau bukan hanya sebagai ulama, tapi ternyata juga sastrawan besar yang luar biasa. Kalau boleh dikatakan Ulama yang sastrawan, dan sastrawan yang ulama. Sebagai bukti pengejewantahan, bahwa ternyata pada dekade zaman modern ini, masih terdapat ulama-ulama yang memiliki kaliber tidak kalah dengan ulama-ulama Islam periode klasik. Pelajaran luhur yang dapat kami ambil. Menjadi seorang muslim, haruslah memiliki cabang keilmuan yang komprehensif, menyatu dalam satu konsep yang dikendalikan ruh agama. Buya Hamka, cukup menjadi sampel akan pembenaran ini. Boleh saja orang mengatakan Buya Hamka sebagai sastrawan, tapi ketahuilah, jiwa sastrawan itu tumbuh dan berkembang terkorelasi dengan pengaruh agama yang begitu bergelora. Maka kesudahannya, karya-karya yang dilahirkan mengandung nilai-nilai luhur kebajikan. Lahir dari hati yang punya nawaitu tulus, bahwa berbuat dan berkarya hakikatnya adalah penanaman akan suatu upaya pembangunan umat. Sebagai pembuktian, silahkan lihat karya-karya Buya Hamka di Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka tersebut.

Photo : Kebersamaan Generasi Ash-Haby PK MAN Maninjau di depan Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka, 15 Rajab 1435 H

Seperti itulah cara kami membangun mozaik kehidupan kami. Hari kamis itu, hakikatnya hari libur. Mungkin diantara generasi seusia kami saat libur itu adalah saat yang indah untuk bersantai-santai, menghabiskan hari di depan televisi, atau sekedar ngobrol di kamar kos. Bagi kami? Tidak akan. Waktu adalah sunnatullah yang tak dapat ditarik, ia berjalan tanpa dapat dikendalikan, apakah ditarik sejenak, dihentikan, atau dipercepat. Maka karena  kami hidup dalam waktu yang berjalan itu sesuai kehendak-Nya. Alangkah merugi jika tidak digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, positif dan mengandung nilai-nilai luhur kebajikan. Maka kami jadikan waktu libur belajar di lingkungan sekolah dengan belajar pada apa yang ada di alam.
Ini bukan berarti kami menganggap, kami generasi yang keras dalam menyikapi hidup dan selalu serius. Tidak juga, malah apa yang kami lakukan ini bentuk dari apa yang kami pahami bahwa hidup harus dihadapi dengan kesenangan jiwa, ketenangan hati, dan penuh pesona. Walaupun kami terus, terus, dan terus belajar walau dihari libur. Tapi pembelajaran kami adalah pembelajaran yang luar biasa, penuh canda dan tawa, santai dengan tetap menjaga muru’ah. Kami belajar dengan cara yang kami menikmati pembelajaran tersebut tanpa beban. Kami belajar dalam luapan ukhuwah, kami belajar dalam cinta dan kebersamaan, kami belajar tanpa ada satupun yang memaksa dan menekan akal pikiran kami, dan kami belajar tidak melalui doktrin baku yang serampangan.
Maka dalam pembelajaran kami, yang kami dapat adalah kesan, pesan dan nuansa ruhiyah yang memukau. Kami belajar tentang intisari hidup yang sesungguhnya, kami belajar dari ayat baik qauliyah maupun kauniyah. Dan kami belajar dalam integrasi hablumminallaah dan hablumminannaas. Lantas, jika telah begini, apakah mungkin kami merasakan kebosanan dalam belajar? Ooo…tidak, malah kami ingin, ingin, dan ingin selalu belajar. Karena memang dalam Islam, perintah belajar adalah perintah pertama dalam ayat-ayat yang turun sebagai pedoman.
Sungguh, dalam sebuah komunitas PK MAN Maninjau, dan kami sekarang generasi Ash-Haby, suatu kenikmatan terbesar kala Allah swt. telah memilih kami dan menetapkan kami sebagai generasi penerus penegak risalah Islam. Kami akui, para pendahulu kami telah membangun generasi PK MAN Maninjau dengan penuh perjuangan. Akankah ditangan kami tidak mampu dipertahankan? Tidak akan. Kami adalah Generasi Ash-Haby, generasi yang akan meniru dan mencontoh serta menteladani perihidup para shahabat Rasulullah saw. yang telah menoreh dan menanam peradaban Islam pada puncak kejayaannya. Maka kamipun harus mampu untuk berbuat yang terbaik, kami harus yakin, bahwa kami mampu melanjutkan perjuangan pendahulu kami. Kalau bisa, lebih dari itu.
Hingga hari ini, kami begitu merasakan nikmatnya hidup dalam sebuah jama’ah besar PK MAN Maninjau, ukhuwah, cinta dan kebersamaan begitu kuat terbina. Hal inilah yang membuat kami kuat, tegar dan tak ragu dengan rintangan macam apapun. Dan kelak semoga segala apa yang kami tanam, hendaknya menjadi jejak kebaikan, dalam bentuk monumen prasasti sejarah yang begitu menawan bagi generasi kami. Yang semoga kelak menjadi saksi-saksi sejarah penuh keluhuran budi, sebagai ketauladanan yang berarti, hingga perjuangan ini memiliki mata rantai yang panjang dan kokoh.
Mengapa kami yakin akan semua ini. Karena dalam jiwa kami telah terpatri suatu pesan agung yang Allah swt. janjikan dalam kalam-Nya yang mulia : “Siapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan menolongnya, dan menguatkan pijakan kakinya.”(Makna Q.s. Muhammad ayat 7). Lantas, jika Allah swt. telah menolong hamba-Nya, lalu siapa yang sanggup hendak menghancurkan? Takbiir !!!

Assalaamu'laikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh


Rabu, 07 Mei 2014

Nasehat Ibnu Simak Pada Khalifah (*)

Ibnu Simak pernah masuk ke tempat sebahagian khalifah dan ia memegang kendi air, yang mana ia meminumnya.
Maka khalifah itu berkata kepadanya: ”Berilah saya nasehat.”
Ibnu Simak lalu menjawab: ”Jikalau tidak diberikan minuman ini kepadamu, kecuali ditukar dengan semua hartamu dan jikalau kamu tidak memberikannya, maka kamu tetap haus, maukah kamu memberikannya ?”
Khalifah itu menjawab: ”Ya, kuberikan.”
Ibnu Simak berkata lagi: ”Jikalau tidak diberikan, kecuali dengan kerajaaanmu, maka maukah kamu meninggalkan kerajaan itu?”
Khalifah itu menjawab: ”Ya, mau.”
Maka Ibnu Simak berkata: ”Maka kamu tidak merasa bangga dengan kerajaan itu, yang mana kerajaan itu tidak menyamai dengan seteguk air ini.”(**)

Kita mungkin sering mengeluhkan keadaan hidup kita yang jika dibandingkan dengan orang lain jauh berada dibawah taraf yang menyedihkan. Kemiskinan yang mendera, beban hidup yang berat, sampai-sampai bisikan syetan mungkin sempat membuat kita tergelincir untuk sepakat menyatakan hidup ini tidak adil. Apalagi kala kita menyaksikan kenyataan, kita yang merasa telah berupaya bersungguh-sungguh melaksanakan keta’atan, tapi seakan kenikmatan hidup tidak berpihak pada kita, malah sering didera kesulitan. Sementara begitu banyak kita saksikan orang-orang disekitar kita, yang jangankan berupaya mewujudkan keta’atan, malah mereka langgeng dengan kemaksiatan. Tapi mengapa kehidupan mereka tampak dilimpahi berbagai macam kenikmatan.
Pertanyaan yang harus sering-sering kita tanyakan pada diri kita, sebenarnya kebahagiaan bagaimana yang kita dambakan dalam hidup? Apakah kebahagiaan seperti yang kita lihat dari apa yang dimiliki orang lain? Jika demikian, ketahuilah…., sesungguhnya kita bukan mendambakan kebahagiaan, tapi tidak lebih dari pada kedengkian terhadap sesuatu yang dimiliki oleh orang lain. Kita berharap terhadap kenikmatan yang dimiliki oleh orang lain kita juga memilikinya. Padahal belum tentu kenikmatan tersebut layak untuk kita, dan seandainya diberikan pada kita, belum tentu kita akan merasakannya sebagai kenikmatan, bisa jadi malah menjadi bencana, fitnah ataupun musibah.
Memang agak rumit memahami konsep ini, namun bisa kita pahami melalui permisalan. Sebagai contoh, kala kita melihat orang lain mendapatkan harta warisan yang melimpah, sehingga hidup mereka tampak bahagia, lalu terbersit dihati kita, “Alangkah indahnya jika saya juga memiliki hal yang demikian, tentunya saya akan mendapatkan kebagiaan seperti mereka.” Tapi apakah benar apa yang kita rasakan itu kala benar-benar terjadi pada diri kita akan sama dengan apa yang mereka rasakan? Belum tentu. Mereka mungkin saja diberi anugrah harta warisan yang melimpah dikarenakan punya kemampuan yang memadai untuk mengelolanya. Sementara kita, yang mungkin tidak terbiasa dengan limpahan harta lalu tiba-tiba mendapatkan harta warisan yang melimpah, apakah mungkin bisa mengelolanya? Bukannya kebahagiaan yang kita dapatkan, tapi menjadi bumerang bagi kita karena tidak amanahnya terhadap harta tersebut. Bisa jadi malah harta itu akan membuat kita gelisah dengan keberadaannya, sibuk mengurusnya dan melailaikan keta’atan kita kepada Allah swt. Jika kesadaran kita pada tingkat ini, masihkah kedengkian akan bercokol dalam jiwa? Malah yang akan bersemi perasaan syukur, alhamdulillaah, Allah swt. tidak membebani saya dengan harta yang akan membuat hidup saya menjadi sulit, itulah mungkin perasaan yang muncul dalam diri kita. Kita akan lebih mampu tegar menerima kenyataan. Inilah buah dari kesabaran yang sebenarnya.
Untuk itu pahamilah, sesungguhnya apa yang kita miliki dan apa yang kita dapatkan itulah kenikmatan yang layak untuk kita, terimalah ia dengan hati lapang, dan bersabarlah dengan keadaan tersebut. Hakikatnya kebutuhan  kita hanya sebatas demikian, sementara kelebihannya bukanlah kebutuhan kita. Artinya, Segala sesuatu yang telah mencukupi kita, maka cukupkanlah disana, jangan berambisi untuk mendapatkan yang lebih dari pada itu, sebab yang namanya kebahagiaan berada dalam ranah kecukupan dan merasa cukup lalu berhenti disana. Jika masih memikirkan sesuatu yang lebih dari yang telah ada, maka nikmat kecukupan akan pupus. Hati telah disibukkan oleh sesuatu yang diinginkan, padahal keinginan itu bukan lagi kebutuhan, hanyalah buah dari keserakahan. Lantas kapan kita akan menikmati kebahagiaan jika hati selalu diliputi rasa tidak cukup? Bersabarlah untuk mengendalikan nafsu syahwat agar bertahan dengan rasa cukup dan tidak maju ke depan melintasi garisnya untuk mengejar yang lebih.
Hanya yang menjadi pertanyaan bagaimana menyemai rasa cukup terhadap apa yang dimiliki? Kita harus memahami segala kebutuhan kita. Yang dinamakan kebutuhan kala sesuatu itu harus ada dan jika tidak ada kita tidak bisa melangsungkan hidup dan keta’atan. Maka penuhilah hal tersebut dengan ikhtiar. Kebutuhan ini akan berbeda sekali antara kita dengan orang lain. Kebutuhan keluarga yang hanya memiliki satu anak akan berbeda dengan kebutuhan keluarga yang memiliki tujuh anak. Maka berikhtiarlah sesuai kebutuhan. Jika kebutuhan telah terpenuhi, berhentilah disana, jangan berniat dan bernafsu untuk menambahnya.
Kala kita melihat orang lain berupaya memenuhi kebutuhan yang lebih dari kita sehingga kita melihat pancaran bahagia dari pemenuhan kebutuhan mereka, jangan mengira jika hal itu diberikan kepada kita juga akan melahirkan kebahagiaan pada diri kita. Hal ini seperti sudah dikatakan, intinya kita tidak sama dengan orang lain, kebutuhan kita berbeda. Kebahagiaan bagi orang lain dengan kebutuhan yang banyak, belum tentu kebahagiaan bagi kita dengan kebutuhan yang sedikit. Tapi kebahagiaan yang sesungguhnya adalah, kita yang memiliki kebutuhan sedikit namun terpenuhi.
Hakikatnya adalah, kebahagiaan akan kenikmatan hidup akan terasa kala terpenuhinya kebutuhan mendasar kita dan tercukupinya kekurangan kita dengan hal tersebut. Inilah yang diajarkan dari kisah di atas; bahwa kebahagiaan terletak dari terpenuhinya kebutuhan yang harus dicukupi, sehingga harta dan kekuasaanpun akan digadaikan untuk memenuhi kebahagiaan yang tampak sedikit namun sangat dibutuhkan walaupun dengan perbandingan seteguk air dalam kehausan.
Ibnu Simak menjelaskan dalam kisah tersebut, sebagai pembelajaran berharga, bahwa sesungguhnya kita akan rela melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan kita yang mendasar yang tanpanya kita tidak bisa melangsungkan kehidupan. Walaupun kebutuhan itu sedikit, tapi fundamental. Maka ia akan dikalahkan oleh kebutuhan yang banyak namun tiada lain bukan dari kebutuhan yang sesungguhnya. Renungkanlah,  keutamaan ini sangat bernilai untuk dipahami !
Kata kuncinya, jangan pandang kebahagiaan dari sisi kebahagiaan orang lain. Tapi pandanglah kebahagiaan dari sisi sejauhmana terpenuhinya kebutuhan kita. Semua itu akan melahirkan kesabaran dalam menerima kenyataan hidup dan dapat mengikis penyakit hati yang menggelisahkan yakni kedengkian, serta menutup jalan-jalan syetan yang membisikkan untuk memvonis hidup ini tidak adil. Karena memang kebutuhan kita berbeda. Yang kita butuhkan hakikatnya itulah yang menjadi milik kita. Selain itu bukanlah milik kita, ia akan terasa kala kebutuhan yang mendesak akan berbenturan dengan sesuatu yang tidak mendesak, disana kita akan menyadari mana yang menjadi kebutuhan kita sesungguhnya. Jika kita telah mampu menentukan sikap mana yang menjadi kebutuhan kita sesungguhnya, ketahuilah …keinginan untuk memenuhi kebutuhan selain itu adalah keserakahan. Menyadari ia berbuah keserakahan apakah masih juga kita tidak bersabar untuk tidak mengejar dan mengejar kebutuhan lain yang membuat rusaknya hati kita dan sia-sianya hidup? Sungguh kesabaran untuk menerima hidup dengan apa adanya adalah buah dari pemahaman bahwa hidup adalah sesuai dengan kebutuhan, dan sesungguhnya Allah swt. telah mencukupkan kebutuhan untuk kita.

Keterangan :

(*) Judul berdasarkan kisah

(**) Lihat kisah ini dalam Imam Al-Ghazali, diterjemahkan dari judul asli Ihya‘ ’Ulumiddin oleh H. Moh. Zuhri. Dipl, TAFL, dkk, dengan judul terjemahan Terjemah Ihya’ ’Ulumiddin Jilid VII (Semarang: Penerbit CV. Asy Syifa’ Semarang, 2003), h. 542-543