WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO
WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

Sabtu, 03 Desember 2011

Dikala Dakwah Tidak Menampakkan Hasil


Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji syukur hanya milik Allah swt, shalawat teruntuk Rasulullah saw.

Saudaraku yang dirahmati Allah swt, ana ingin mengutip sebuah hadits Ibnu Abbas, kutipan ini ana peroleh dari sebuah karya terjemahan Tim SAHARA, yang disunting oleh Ahmad Fadhil, berjudul Ensiklopedi ar-Rahman ar-Rahim : Menjelajah Taman Kasih Sayang Allah SWT ( Jakarta : SAHARA publishers, 2006 ) dari judul asli “ Raudhah an-Na’im Fi Ma’rifah ar-Rahman ar-Rahim, karya Sayyidah Hanan Fathi ( Mesir : al-Wafa, 2003 ), cetakan pertama :

Rasulullah saw mengirim da’i kepada Wahsyi, pembunuh Hamzah, untuk menyerunya masuk Islam. Wahsyi menjawab, “ Wahai Muhammad, mengapa engkau menyeru diriku masuk Islam, padahal engkau telah berkata bahwa pembunuh, pelaku syirik, ataupun pezina telah berbuat dosa dan akan disiksa pada Hari Kiamat secara berlipat ganda dan dalam kondisi terhina? Aku telah melakukan semua kejahatan itu. Apakah menurutmu ada keringanan buat diriku ?”

Maka, Allah SWT menurunkan ayat :
“ Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan beramal shaleh. Mereka itulah orang-orang yang kejahatannya diganti oleh Allah dengan kebajikan, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ ( Q.s. al-Furqan [25] : 70 )

Wahsyi berkata, “ Wahai Muhammad, bertobat, beriman, dan beramal shaleh adalah syarat yang sangat berat. Aku kira aku tidak akan mampu melakukannya.”

Maka, Allah SWT menurunkan ayat:
“ Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik terhadap-Nya, dan mengampuni dosa yang selainnya bagi orang yang dikehendaki-Nya.” ( Q.S. an-Nisa’ [4]: 116 )

Wahsyi kembali berkata, “ Wahai Muhammad, aku piker, kecil sekali kemungkinannya aku termasuk orang-orang yang dikehendaki Allah SWT itu. Aku tidak tahu, apakah Allah SWT akan mengampuni atau tidak? Apakah ada ketetapan selain ini?

Maka, Allah SWT menurunkan ayat:
“ Katakanlah,’ Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ ”

Wahsyi berkata,” Kalau ini, aku bisa.” Dia pun masuk Islam. Kemudian, orang-orang lain berkata,” Wahai Rasulullah, kami juga melakukan apa yang dilakukan Wahsyi.” Rasulullah saw bersabda: “ Ayat ini berlaku umum bagi semua kaum Muslim.” ( Dalam catatan kaki tulisan ini dijelaskan: H.R. al-Bukhari nomor 4810, Muslim nomor 122, dan an-Nasa’I nomor 469 ).( Halaman 56-57 ).

Dramatis, demikianlah kenyataannya, bagaimana Islam begitu luas membuka kesempatan bagi orang-orang yang hendak mensucikan diri untuk kembali ke jalan yang lurus. Sosok sekaliber Wahsyi yang dicatat oleh sejarah bagaimana ia membunuh paman Rasulullah saw, Hamzah, prajurit yang gagah berani di medan Uhud. Pendosa yang telah menoreh tinta hitam peradaban umat Islam itu akhirnya tergabung dalam barisan panjang pejuang agama Allah swt.

Siapa sangka, dan siapa yang mengira keadaan manusia bisa berbalik dari biadab menjadi beradab, dari pecundang malah menjadi pejuang, dari terkutuk hingga layak diteladani. Ya, tiada satupun manusia yang tahu bagaimana Allah swt membolak-balikkan hati manusia, dan tiada satupun manusia dapat memprediksi siapa yang akan mendapat hidayah atau tersesat.

Hakekat ini kiranya menjadi tolok ukur bagi kita dalam menyikapi perjalanan dakwah yang harus terus berjalan, dikala dakwah terasa tidak bernilai apa-apa dimata insan yang kita harapkan penerimaannya, bahkan mendapat kecaman, dikala benturan dakwah terkadang terasa begitu kokoh sampai-sampai menyakitkan.

Saudarakau se-Iman

Kita pernah mungkin mendapatkan kedaan demikian, dakwah yang kita harapkan mendapatkan cahaya dari dakwah yang kita usung, malah yang kita temukan mereka memperolok-olokkan, menghina, dan mencaci. Pada saat kita ditimpa keadaan seperti demikian, bagaiman sikap kita ? Minimal sikap hati kita.
Mungkin muncul perasaan sakit hati, marah, hingga terkadang tanpa kontrol malah kita balas tantangan itu dengan cara yang memalukan, “ Dasar manusia pendurhaka, laknat Allah swt akan menimpa kalian ! ” Demikian kiranya sumpah serapah kita, walau dalam hati. Atau agar lebih terasa memuaskan, malah kita berdo’a kepada Allah swt, “ Ya Allah, sesungguhnya mereka telah melecehkan agama-Mu, kami mohon kepada-Mu agar Engkau menimpakan azab kepada mereka, agar kami dapat menyaksikan kemenangan agama-Mu,”.
Aduhai, Na’udzubillah min Dzaalik.

Ketahuilah saudaraku…

Benar, kita harus marah dikala kebenaran dihinakan, saat hikmah tidak bernilai apa-apa, namun sebelum kita terlalu jauh mengambil sikap demikian, hendaklah kembali menapak tilas, bagaimana  orang-orang shaleh sebelum kita menanamkan nilai-nilai dakwah kepada umat, adakah mereka berharap kehancuran pada objek dakwah ? Sama sekali tidak, bahkan dalam peperangan sekalipun, walaupun kita sering mendapatkan adanya beberapa peristiwa peperangan yang dilakukan umat Islam untuk membebaskan suatu wilayah, tapi dimulai dengan menyeru penduduknya untuk menganut Islam dengan cara yang bijak, jika tiada jalan lain, barulah pedang yang bermain, itupun bukan untuk menghancurkan penguasa wilayah setempat, tidak lebih untuk membebaskan wilayah dari cengkraman penjajah yang berlaku zhalim. Disaat suatu wilayah yang dikuasai kaum muslimin tidak dengan perlawanan, penduduk setempat diberikan kebebasan menganut kepercayaan masing-masing tanpa harus dipaksakan memeluk Islam.

Lihat ! Adakah mereka memaksakan dakwah? Hal ini penting kita pahami, sangat penting, agar kita mampu menunjukkan dan membuktikan bahwa Islam benar-benar rahmatallillaalamiiin, bukan agama kekerasan yang disemai dengan pedang sebagaimana dipahami oleh sebagian kalangan.

Oleh karena itu terlalu terburu-buru jika kita mencap seseorang sebagai pendusta agama, kafir, munafik, pembangkang, apalah namanya, bahkan sampai berharap segala Allah swt mendatang azab kepada mereka. Bagi Allah swt hal itu begitu mudah, bahkan sangat mudah. Tapi jika hanya selesai urusan sampai disitu, untuk apa Rasul diutus kepermukaan bumi, mengapa harus ada perintah berdakwah, mengapa harus ada ulama pewaris para nabi ? Duhai … ketahuilah, urgensi dakwah adalah menyeru umat manusia dari pengabdian kepada makhluk agar mengalihkan kepada kepada Allah ‘Azza wa Jalla, mengajak, menasehati dan menyampaikan peringatan terhadap orang-orang yang lalai, menghidupkan api suluh yang dapat memberi penerangan orang-orang yang berjalan dikegelapan.

Saudaraku, keberadaan mereka, para pendurhaka inilah yang menyebabkan keberadaan dakwah, jika urusan mereka cukup dimintakan azab atas pelanggaran mereka, lantas dimana peran dakwah ?
Benahilah rasa yang muncul dihati kita yang tidak layak terlintas, kembali ungkai dan tanamkan dalam jiwa kita, tugas dakwah adalah tugas penyeruan, mengajak dan membimbing umat manusia ke jalan yang telah digariskan Allah swt. Tancapkan pemahaman ini di dalam dada kita agar kita lebih lapang untuk menerima benturan dakwah yang hakikatnya sebagai pengukur kadar azzam kita, sejauhmana baru kita berjuang untuk dakwah.

Pada garis ini nampak urgensi kisah diatas sebagai referensi dalam menetapkan garis perjuangan dakwah, bagaimana metode Rasulullah saw menanamkan dakwah ke dalam dada umat manusia, walaupun terhadap pendurhaka semacam Wahsyi sekalipun. Beliau selalu memberi harapan, cita-cita dan kemudahan dalam urusan agama, sebagai pembuktian Islam bukanlah agama yang dibangun dengan kekerasan hati dan berlebihan, Islam bukanlah dibangun dengan paksaan dan tirani, tapi Islam mengajarkan pertengahan, siapa saja tanpa pandang status, kedudukan dan latar belakang mereka, selama dengan kesungguhan dan keikhlasan menerima cahaya Islam maka akan selalu ada tempat, bahkan bagi golongan penentang keras sekalipun selalu ada harapan untuk mendapatkan tempat jika Allah swt menghendaki. Bukankah hidayah itu berada dalam genggaman Allah swt. Alangkah indahnya dikala hidayah itu jatuh pada hati manusia melalui upaya kita. Subhaanallaah.

Wahsyi, hanya sekelumit contoh pendurhaka yang akhirnya mendapat cahaya Islam, masih banyak sosok-sosok lain yang jika kita telusuri jejak hidup mereka dalam menentang dakwah,  saham mereka begitu besar, seperti Abu Sofyan dan istrinya Hindun, namun lihat setelah itu Abu Sofyan dan Hindun masuk dalam barisan Islam, bahkan putra mereka Muawiyah bin Abu Sofyan tergolong figur tokoh yang memiliki pengaruh luar biasa, orang pilihan yang ditugaskan sebagai pencatat wahyu, pendiri Dinasti Umayyah yang kekuasaannya merambah hingga daratan perbatasan Cina, menyeberang lautan hingga mencapai Andalusia, Eropa. Atau Siapa yang tidak kenal Umar bin Khattab ? Sosok premanisme yang begitu ditakuti zaman jahiliyah, bahkan beliaulah orang yang telah menanam anak perempuannya hidup-hidup di masa jahiliyah karena adat yang menuntut, lahirnya anak perempuan merupakan corengan hitam pada dahi, sangat memalukan, hingga ia tenggelamkan anaknya dalam tumpukan pasir. Sadis, kejam dan tidak berperikemanusiaan, namun setelah itu, saksikanlah, disaat cahaya Islam masuk ke dalam jiwanya, dia berubah menjadi Khalifah agung Umar al –Faruq, diantara khulafaurrasyidin yang hanya berkuasa sekitar sepuluh tahun namun telah mampu membangun pemerintahan Islam yang solid, imperium besar yang gagah berani dan selalu menjadi bahan perbincangan semenjak zaman Rasulullah saw, yakni Persia dan Romawi akhirnya tunduk dalam kekuasaannya pada peristiwa penting dalam sejarah Perang Qadisiyah dan Perang Yarmuk, Palestina yang begitu lama dijajah akhirnya bebas dari cengkraman perbudakan. Ya, dialah sosok yang berasal dari pendurhaka, tapi berbalik menjadi sosok taat yang luar biasa. Siapa sangka ? Hidayah memang milik Allah swt. Subhaanallaah.

Untuk itu saudaraku se-Iman. Dikala dakwah kita tidak menampakkan hasil, mendapatkan penolakan yang serius, maka berdoa’alah kepada Allah swt, “ Ya Allah bukakanlah pintu hati mereka menerima dakwah ini, berikanlah mereka petunjuk ke jalan yang Engkau ridho. “ Karena siapa tahu, kelak dikala Allah swt menetapkan hidayah pada mereka, jangan-jangan golongan yang kita hinakan itu lebih besar sahamnya dari pada saham dakwah yang kita lakukan yang terasa belum bernilai apa-apa. Renungkanlah.


Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh 

Dikala Kemuliaan Itu Menimpa Kita Dalam Dakwah


Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh 

Puji syukur kepada Allah swt, shalawat buat Rasulullah saw.

Mengenai kecerdikan para ulama, Ibnu Al-Jauzi mengisahkan dalam karyanya “ Ahla al-Hikayat min Kitabi al-Adzkira’ ” diterjemahkan oleh Abdurrahim Ahmad dengan judul “ Humor Cerdas Ala Orang-Orang Cerdik ( Jakarta : Qisthi Press, 2007 ) tentang Abu Hanifah r.a. disebutkan;  Ibnu Mubarak 
memberitahukan kepada kami seperti ini :

Saya pernah menjumpai Abu Hanifah bersama sekumpulan orang di salah satu jalan di kota Mekah. Setelah menyembelih unta-unta muda dan membakarnya, mereka tampak ingin sekali segera menyantapnya dengan cuka. Namun mereka tidak mendapatkan tempat yang bisa untuk menuang cuka. Mereka pun kebingungan.
Beberapa saat kemudian, aku melihat Abu Hanifah menggali pasir dan menghamparkan kain dari kulit diatasnya. Kemudian dia menuangkan cuka itu ditempat tersebut. Berkat ide Abu Hanifah itu, akhirnya mereka bisa menyantap daging bakar itu dengan cuka. Dan karenanya, salah seorang dari mereka berkata kepadanya, “ Kamu memang pandai dalam segala hal.”

Maka Abu Hanifah menjawab, “ Hendaknya kamu bersyukur. Sebab, ide itu adalah ilham dari Alllah yang diilhamkan kepadaku untuk kalian.” ( Halaman 104 )

Saudaraku se-Iman

Aduhai, apa kira-kira yang terbayang dalam pikiran antum dikala memahami kisah ini disaat kita korelasikan dengan gerakan dakwah yang kita geluti ? Adakah kiranya hikmah yang dapat dijadikan penyemangat ataupun sebagai bahan tausyiah terhadap gelora jiwa kita yang ingin mempersembahkan hidup untuk dakwah ?

Sekelumit kita gali hikmah tersebut dengan membawakan posisi Abu Hanifah ke dalam diri kita. Setiap kita mungkin mengenal siapa Abu Hanifah, ulama Mazhab diantara Imam Mazhab yang empat dalam literatur Fiqh. Keampuhan dan pemahaman Islam dalam jiwa beliau tak dapat disangkal dan diragukan, dialah Imam Besar yang memiliki pengikut yang luar biasa banyak, Hanafiyah.

Tapi lihat, dikala tersemat pujian atas kecerdasannya dalam mengambil sebuah keputusan dan memberi solusi atas sebuah permasalahan, beliau menjawab, “ Hendaknya kamu bersyukur. Sebab, ide itu adalah ilham dari Alllah yang diilhamkan kepadaku untuk kalian.”  Sungguh sebuah jawaban yang lahir dari nurani keikhlasan, hidup yang betul-betul dipersembahkan hanya untuk sebuah pengabdian yang tulus. Suatu indikasi jiwa-jiwa kesombongan dan keangkuhan serta merasa diri besar sangat jauh dari perikehidupan beliau yang diberi anugerah oleh Allah swt kecerdasan yang begitu luar biasa. Ini merupakan sekelumit tentang keteladanan bagaimana orang-orang shaleh terdahulu menyikapi sebuah hakikat hidup, dengan sebuah keyakinan bahwa hidup dan segala desahan nafas, tingkah laku, serta seluruh aktifitas yang dilakukan berada dalam pantauan dan kekuasaan Allah swt.

Kita mungkin pernah mengalami keadaan yang sama seperti yang dialami Imam Abu Hanifah r.a. walau dalam ruang lingkup kecil dan situasi yang berbeda, namun dalam hal ini kita mengukur bukan dari kadar keadaan, tapi dalam kadar menyikapi keadaan yang menimpa. Seperti, mungkin kita pernah melakukan suatu hal dalam urusan dakwah hingga kita mendapatkan kedudukan di mata manusia, bisa jadi karena kemampuan kita beretorika dalam berkhutbah, menafsirkan beberapa potongan ayat atau hadits, atau mengisahkan sekelumit kisah-kisah inspiratif para shalafusshaleh hingga membuat orang termangu-mangu, terkagum-kagum sampai menyebut-nyebut kita dalam segala tempat dan situasi. Pertanyaannya bagaimana perasaan kita dikala itu ? Hanya kita sendiri yang mengetahui, lintasan-lintasan hati yang menggoda untuk mencari pembenaran akan sanjungan orang akan saling berpacu dalam hati kita, akhirnya bermuara pada satu kesimpulan, kita layak mendapatkan keagungan tersebut.

Ketahuilah, jika perasaan ini yang menimpa kita, maka berhati-hatilah, sesungguhnya kita telah jauh dari hakikat perjuangan dakwah yang sebenarnya, tergelincir ranjau-ranjau bisikan syetan yang kasat mata, dengan sekonyong-konyong kita merasa diri kita shaleh, padahal kala itu kita adalah golongan orang-orang yang termasuk barisan panjang yang  akan dilemparkan kedalam neraka, sayangnya kita tidak menyadari, sementara yang kita sadari kita menganggap kita orang shaleh. Na’udzubillah min Dzalik

Sebagai bahan renungan, layak kita kutip  ungkapan Imam Al-Ghazali dalam karya Monumentalnya “ Ihya ‘ ‘ Ulumiddin ” :

Mereka mengerti bahwa akhlak segi batin tercela menurut hukum agama, hanya karena bersifat ‘ujub ( berbangga diri ) pada dirinya, lalu menyangka bahwa mereka terlepas dari ‘ujub …Kemudian apabila telah tampak pada mereka, tanda-tanda kesombongan, ambisi untuk menjadi pemimpin, mencari ketinggian dan kemuliaan, lalu mereka mengatakan: “ Ini, tidaklah sombong, sesungguhnya hanyalah mencari kemuliaan agama, menampakkan kemuliaan ilmu, menolong agama Allah, menghinakan kekerasan orang-orang yang menentang dari orang-orang yang berbuat bid’ah. …

Orang yang terpedaya itu rupanya lupa, bahwa musuhnya, dimana ia harus berhati-hati daripadanya, ialah kekasihnya, yaitu syetan. Dan syetanlah yang bergembira dengan apa yang diperbuatnya  dan yang telah menundukkannya. Ia lupa, bahwa Nabi saw dengan apa beliau memperjuangkan agama? Dengan apa yang beliau meremehkan orang-orang kafir? Ia lupa, apa yang telah diriwayatkan dari para shahabat, tentang rendah diri, suka memberi, berbuat qana’ah (merasa cukup ) dengan kepapaan dan kemiskinan. Sehingga Umar r.a. disindir orang tentang buruknya pakaian, ketika ia datang ke negeri Syam. Kemudian Umar r.a. berkata: “ Kami adalah suatu kaum, yang telah dimuliakan oleh Allah dengan Islam, maka kami tidak mencari kemuliaan yang lainnya.” ( Imam Al-Ghazali, judul terjemahan “ Terjemah Ihya’ ‘Ulumiddin Jilid VII oleh Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, dkk, Terbitan C.V. Asy-Syifa’ Semarang, cetakan 2003, halaman 51-52 ).

Aduhai …

Sungguh mengerikan kebinasaan ini, untuk itu berhati-hatilah dikala kemasyhuran itu menimpa kita, semua itu dapat kita tunaikan dikala kita memahami hidup seperti yang dicontohkan oleh Imam Abu Hanifah r.a, memahami bahwa segala kebajikan yang kita lakukan dalam bentuk apapun sesungguhnya berada dalam genggaman Allah swt, Allah swt lah yang menanamkan itu ke dalam lubuk kecerdasan dan hati kita, Allah swt yang menancapkan hidayah itu hingga kita menunaikannya dengan baik, dan karena izin Allah swt pulalah kita mampu menyampaikan hakekat-hakekat dakwah kepada umat manusia, dan jika dakwah kita diterima, hal itu bukan berarti kita sosok luar biasa yang mampu mengubah perikehidupan manusia, tapi karena dari Allh swt menancapkan hidayah kepada golongan yang menerima dakwah kita, semuanya milik, dari, untuk Allah swt, kita hanyalah hamba yang ditugaskan menjalankan amanah dakwah tersebut, bukan pemilik dakwah yang hakiki.

Maka untuk itu, disaat kita mendapatkan sebuah kemuliaan dimata manusia karena suatu upaya yang kita lakukan dalam dakwah, dan dikala dakwah yang kita upayakan mendapat pengaruh luar biasa bagi perkembangan dakwah. Sering-seringlah untuk menasehati diri sendiri dengan perkataan Imam Abu Hanifah r.a, “ Hendaknya kamu bersyukur. Sebab, ide itu adalah ilham dari Allah yang diilhamkan kepadaku untuk kalian.”

Renungkanlah saudaraku … sungguh hal ini suatu yang sangat dalam.

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh