Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh
Segala puji bagi Allah swt, shalawat teruntuk
Rasulullah saw.
Diriwayatkan al-Bukhary, bahwa ketika kaum muslimin
sampai di Madinah ( dalam peristiwa hijrah ), maka Rasulullah saw
merpersaudarakan Abdurrahman bin Auf dan Sa’d bin Ar-Rabi’. Sa’d berkata kepada
Abdurrahman, “ Sungguh aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan
Anshar. Maka aku membagi hartaku menjadi
dua bagian yang sama. Aku juga mempunyai dua istri. Maka lihatlah mana yang
lebih kamu sukai diantara keduanya, lalu katakanlah ia kepadaku biar aku
menceraikannya. Apabila sudah habis masa iddahnya, maka kawinilah dia.”
Abdurrahman berkata,” Semoga Allah melimpahkan barakah
bagi dirimu dalam keluarga dan hartamu. Manakah pasar milik kalian ?”
Orang-orang menunjukkan pasar bani Qainuqa’ kepadanya.
Ia tidak kembali kecuali sambil membawa sejumlah keju dan mentega. Esok hari ia
menjual barang-barang itu, hingga pada suatu hari ia sudah memiliki uang yang
cukup banyak. Rasulullah saw bertanya, “ Bagaimana kabarmu?”
Abdurrahman menjawab,” Aku sudah kawin.”
Beliau bertanya lagi,” Berapa maskawin yang kau
berikan kepada istrimu?”
Abdurrahman menjawab,” Sebiji emas.”
Kisah ini tertuang dalam karya Muhammad Said Salim
Al-Qohtany yang berjudul “ Loyalitas Muslim” ( Terbitan Ramadhani:Solo, 1994 ),
halaman 137-138, dengan merujuk pada Shahihul-Bukhary, Kitab
Manaqibil-Anshar,7/112, hadits nomor 3780.
Saudaraku se-Iman.
Riwayat ini merupakan riwayat yang tidak asing dalam
pendengaran kita, sering disampaikan dalam pelajaran-pelajaran anak sekolahan,
pengajian-pengajian ataupun liqa’-liqa’ halaqah. Berbagai sudut pandang
dijelaskan inspirasi yang terkandung dalam kisah yang inspiratif ini.
Dalam versi dakwah yang kita emban, kisah ini menjadi
barometer dalam melanjutkan proses dakwah yang jalannya kian panjang dan
bertanjak. Aduhai, apakah gerangan yang dapat kita jadikan inspirasi dalam
kisah tersebut.
Ketergantungan, inilah salah satu belenggu dakwah yang
selalu menjadi penghambat lajunya gerakan dakwah, tergantung dengan orang-orang
disekitar kita, tergantung dengan materi, dan berbagai macam ketergantungan ini
terkadang menjadi alasan bagi kita untuk tidak berproses dalam dakwah.
Seperti kita yang bergerak dalam gerakan dakwah
sekolah misalnya, telah kita upayakan untuk bernegosiasi dengan pihak pengelola
sekolah agar terbentuknya gerakan dakwah sekolah disuatu instansi pendidikan,
lantas kepala sekolahnya mengeluh, “ Aduh, ide yang diberikan luar biasa hebat,
sayangnya sekolah kami tidak memiliki anggaran untuk itu. ” Lantas, kita boro-boro mengansel program dakwah sekolah
di instansi tersebut dengan anggapan belum saatnya kita berkiprah disana.
Ini sekelumit contoh sebagai pembuktian,
ketergantungan kita pada sesuatu, dalam hal ini materi masih begitu dominan,
hanya dengan alasan tidak adanya anggaran dana untuk kegiatan tersebut kita
telah mundur dan enggan untuk mencari solusi jalan lain tanpa harus terikat
dengan dana. Atau seperti, disaat
teman-teman seperjuangan dalam dakwah mengusulkan, bagaimana kalau orientasi
dakwah kita melalui media massa, kita bentuk semacam apakah forum sastra
dakwah, majalah dakwah, intinya pemikiran dakwah yang ditebarkan melalui
tulisan agar lebih banyak menjangkau banyak orang, paling-paling pikiran kita
yang muncul secara cepat adalah; ah, butuh biaya besar untuk pengelolaan
tersebut, dari mana sumber dananya ?
Ya, kita selalu tergantung dengan sesuatu yang
berakibat melemahnya gerakan dakwah. Pada pijakan ini, kisah di atas dapat kita
jadikan referensi untuk mengubah paradigma ketergantungan kita akan sesuatu
dalam meniti jalan dakwah.
Abdurrahman bin Auf, shahabat Rasulullah saw yang
begitu mulia, lebih memilih pasar ketimbang pemberian cuma-cuma dari
saudaranya, lebih memilih bekerja keras dan mencari solusi permasalahan tanpa
tergantung dengan kendala permasalahan yang ada. Sebuah pengajaran bagi kita
agar mampu memecahkan permasalahan dengan mencari jalan terbaik tanpa harus
terikat dengan satu permasalahan.
Memang dakwah membutuhkan sokongan dari berbagai
kalangan dan berbagai bentuk, namun sokongan terkadang tidak selalu berpihak
pada dakwah, malah yang banyak kita temukan tantangan dan hambatan, disaat
tantangan dan hambatan lebih mendominasi sementara sokongan tidak bermakna,
lantas hanya dengan alasan tersebut kita berhenti dalam proses dakwah ? Terlalu
naif, jika kita mengambil jalan itu.
Banyak jalan yang harus ditempuh dikala kita tidak
mendapatkan sokongan, bahkan dalam kesendirian. Untuk memahami makna ini, kita
rujuk kembali contoh di atas, disaat pihak instansi salah satu pendidikana
tidak melegalkan kegiatan dakwah sekolah yang kita usung dengan alasan tiada
anggaran, kita bisa merancang proses dakwah sekolah yang tidak membutuhkan
anggaran, misalnya jika program yang kita rancang sebelumnya memang membutuhkan
anggaran, seperti dana untuk kegiatan Out Bond Siswa yang membutuhkan peralatan
mahal, honor pemateri, semua itu bisa
dialihkan dalam bentuk yang tidak membutuhkan anggaran.
Disaat rancangan kegiatan Out Bond membutuhkan
peralatan yang besar yang otomatis membutuhkan dana besar, bisa dialihkan perencanaan
Out Bond tanpa membutuhkan secuilpun dana, tapi tetap tidak kehilangan makna,
ketergantungan pada peralatan mahal harus dialihkan pada peralatan sederhana
yang mampu dirancang sendiri tanpa membutuhkan dana, bukankah tujuan dari
kegiatan penyampaian pesan, bukan canggihnya metode, jika dengan proses yang
sederhana pesan dakwah mampu sampai kepada objek dakwah mengapa kita harus
tergantung dengan proses yang rumit. Begitu juga dengan honor pemateri, pada
umumnya kita-kita yang bergerak sungguh-sungguh dalam kegiatan dakwah honor
dalam pemberian materi sebenarnya tidak dibutuhkan, orang-orang yang kita
amanahkan untuk memberi materipun tidak akan menuntut karena bagi orang-orang
yang telah terpatri kesungguhan dalam urusan dakwah, kesempatan berbagi menyampaikan
pesan dakwah merupakan anugrah luar biasa yang tiada dapat dibandingkan dengan
materi sebesar apapun. Disini dituntut kejelian kita bagaimana kemampuan kita
menyaring para aktifis dakwah yang benar-benar ikhlas berjuang untuk dakwah.
Lha, kalau begitu bagaimana cara kita menafkahi mereka
menafkahi diri ? Apalagi untuk keluarga, jika apa yang yang lakukan tidak
mengahasilkan hal-hal yang bersifat finansial, memang kita bukan menjadikan
dakwah sebagai lahan sebagai sumber mata pencaharian, namun bukankah kita butuh
materi untuk hidup, demikian kiranyanya alasan kita. Cukup jawabannya seperti
ini, kembali rujuk bagaimana Abdurrahman memecahkan permasalahan, aktifis
dakwah harus memiliki mata pencaharian sendiri, jangan gantungkan mata
pencaharian pada lahan dakwah. Sebab jika antara kebutuhan hidup jika dicampur
adukkan dengan urusan dakwah ujungnya urusan dakwah akan terkontaminasi
keikhlasannya dengan hal-hal yang sebenarnya tidak kita inginkan, yakni akan
bercabang niat kita dalam mengusung keikhlasan dakwah, satu untuk dakwah, satu
lagi untuk kebutuhan hidup, sesuatu yang bercabang juga hasilnya akan
bercabang.
Demikian kiranya untuk segala permasalahan dakwah yang
kita emban, intinya tiada kata berhenti dalam berbuat dan berproses, halangan,
rintangan, hambata, hakekatnya bagian dari proses dakwah sebagai pembuktian
bahwa urusan dakwah bukan urusan sepele dan nyeleneh, tapi urusan besar yang
dapat menghantarkan kita kepada memperoleh keutamaan, lebih tinggi nilainya
dari pada onta merah, demikian janji Rasulullah saw.
Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh