WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO
WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

Selasa, 29 November 2011

Tidak Ada Alasan Berhenti Berproses Dalam Dakwah


Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Segala puji bagi Allah swt, shalawat teruntuk Rasulullah saw.

Diriwayatkan al-Bukhary, bahwa ketika kaum muslimin sampai di Madinah ( dalam peristiwa hijrah ), maka Rasulullah saw merpersaudarakan Abdurrahman bin Auf dan Sa’d bin Ar-Rabi’. Sa’d berkata kepada Abdurrahman, “ Sungguh aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Maka aku membagi hartaku  menjadi dua bagian yang sama. Aku juga mempunyai dua istri. Maka lihatlah mana yang lebih kamu sukai diantara keduanya, lalu katakanlah ia kepadaku biar aku menceraikannya. Apabila sudah habis masa iddahnya, maka kawinilah dia.”

Abdurrahman berkata,” Semoga Allah melimpahkan barakah bagi dirimu dalam keluarga dan hartamu. Manakah pasar milik kalian ?”

Orang-orang menunjukkan pasar bani Qainuqa’ kepadanya. Ia tidak kembali kecuali sambil membawa sejumlah keju dan mentega. Esok hari ia menjual barang-barang itu, hingga pada suatu hari ia sudah memiliki uang yang cukup banyak. Rasulullah saw bertanya, “ Bagaimana kabarmu?”

Abdurrahman menjawab,” Aku sudah kawin.”

Beliau bertanya lagi,” Berapa maskawin yang kau berikan kepada istrimu?”

Abdurrahman menjawab,” Sebiji emas.”

Kisah ini tertuang dalam karya Muhammad Said Salim Al-Qohtany yang berjudul “ Loyalitas Muslim” ( Terbitan Ramadhani:Solo, 1994 ), halaman 137-138, dengan merujuk pada Shahihul-Bukhary, Kitab Manaqibil-Anshar,7/112, hadits nomor 3780.

Saudaraku se-Iman.

Riwayat ini merupakan riwayat yang tidak asing dalam pendengaran kita, sering disampaikan dalam pelajaran-pelajaran anak sekolahan, pengajian-pengajian ataupun liqa’-liqa’ halaqah. Berbagai sudut pandang dijelaskan inspirasi yang terkandung dalam kisah yang inspiratif ini.

Dalam versi dakwah yang kita emban, kisah ini menjadi barometer dalam melanjutkan proses dakwah yang jalannya kian panjang dan bertanjak. Aduhai, apakah gerangan yang dapat kita jadikan inspirasi dalam kisah tersebut.

Ketergantungan, inilah salah satu belenggu dakwah yang selalu menjadi penghambat lajunya gerakan dakwah, tergantung dengan orang-orang disekitar kita, tergantung dengan materi, dan berbagai macam ketergantungan ini terkadang menjadi alasan bagi kita untuk tidak berproses dalam dakwah.

Seperti kita yang bergerak dalam gerakan dakwah sekolah misalnya, telah kita upayakan untuk bernegosiasi dengan pihak pengelola sekolah agar terbentuknya gerakan dakwah sekolah disuatu instansi pendidikan, lantas kepala sekolahnya mengeluh, “ Aduh, ide yang diberikan luar biasa hebat, sayangnya sekolah kami tidak memiliki anggaran untuk itu. ” Lantas, kita boro-boro mengansel program dakwah sekolah di instansi tersebut dengan anggapan belum saatnya kita berkiprah disana.

Ini sekelumit contoh sebagai pembuktian, ketergantungan kita pada sesuatu, dalam hal ini materi masih begitu dominan, hanya dengan alasan tidak adanya anggaran dana untuk kegiatan tersebut kita telah mundur dan enggan untuk mencari solusi jalan lain tanpa harus terikat dengan dana.  Atau seperti, disaat teman-teman seperjuangan dalam dakwah mengusulkan, bagaimana kalau orientasi dakwah kita melalui media massa, kita bentuk semacam apakah forum sastra dakwah, majalah dakwah, intinya pemikiran dakwah yang ditebarkan melalui tulisan agar lebih banyak menjangkau banyak orang, paling-paling pikiran kita yang muncul secara cepat adalah; ah, butuh biaya besar untuk pengelolaan tersebut, dari mana sumber dananya ?

Ya, kita selalu tergantung dengan sesuatu yang berakibat melemahnya gerakan dakwah. Pada pijakan ini, kisah di atas dapat kita jadikan referensi untuk mengubah paradigma ketergantungan kita akan sesuatu dalam meniti jalan dakwah.

Abdurrahman bin Auf, shahabat Rasulullah saw yang begitu mulia, lebih memilih pasar ketimbang pemberian cuma-cuma dari saudaranya, lebih memilih bekerja keras dan mencari solusi permasalahan tanpa tergantung dengan kendala permasalahan yang ada. Sebuah pengajaran bagi kita agar mampu memecahkan permasalahan dengan mencari jalan terbaik tanpa harus terikat dengan satu permasalahan.

Memang dakwah membutuhkan sokongan dari berbagai kalangan dan berbagai bentuk, namun sokongan terkadang tidak selalu berpihak pada dakwah, malah yang banyak kita temukan tantangan dan hambatan, disaat tantangan dan hambatan lebih mendominasi sementara sokongan tidak bermakna, lantas hanya dengan alasan tersebut kita berhenti dalam proses dakwah ? Terlalu naif, jika kita mengambil jalan itu.

Banyak jalan yang harus ditempuh dikala kita tidak mendapatkan sokongan, bahkan dalam kesendirian. Untuk memahami makna ini, kita rujuk kembali contoh di atas, disaat pihak instansi salah satu pendidikana tidak melegalkan kegiatan dakwah sekolah yang kita usung dengan alasan tiada anggaran, kita bisa merancang proses dakwah sekolah yang tidak membutuhkan anggaran, misalnya jika program yang kita rancang sebelumnya memang membutuhkan anggaran, seperti dana untuk kegiatan Out Bond Siswa yang membutuhkan peralatan mahal, honor pemateri,  semua itu bisa dialihkan dalam bentuk yang tidak membutuhkan anggaran.

Disaat rancangan kegiatan Out Bond membutuhkan peralatan yang besar yang otomatis membutuhkan dana besar, bisa dialihkan perencanaan Out Bond tanpa membutuhkan secuilpun dana, tapi tetap tidak kehilangan makna, ketergantungan pada peralatan mahal harus dialihkan pada peralatan sederhana yang mampu dirancang sendiri tanpa membutuhkan dana, bukankah tujuan dari kegiatan penyampaian pesan, bukan canggihnya metode, jika dengan proses yang sederhana pesan dakwah mampu sampai kepada objek dakwah mengapa kita harus tergantung dengan proses yang rumit. Begitu juga dengan honor pemateri, pada umumnya kita-kita yang bergerak sungguh-sungguh dalam kegiatan dakwah honor dalam pemberian materi sebenarnya tidak dibutuhkan, orang-orang yang kita amanahkan untuk memberi materipun tidak akan menuntut karena bagi orang-orang yang telah terpatri kesungguhan dalam urusan dakwah, kesempatan berbagi menyampaikan pesan dakwah merupakan anugrah luar biasa yang tiada dapat dibandingkan dengan materi sebesar apapun. Disini dituntut kejelian kita bagaimana kemampuan kita menyaring para aktifis dakwah yang benar-benar ikhlas berjuang untuk dakwah.

Lha, kalau begitu bagaimana cara kita menafkahi mereka menafkahi diri ? Apalagi untuk keluarga, jika apa yang yang lakukan tidak mengahasilkan hal-hal yang bersifat finansial, memang kita bukan menjadikan dakwah sebagai lahan sebagai sumber mata pencaharian, namun bukankah kita butuh materi untuk hidup, demikian kiranyanya alasan kita. Cukup jawabannya seperti ini, kembali rujuk bagaimana Abdurrahman memecahkan permasalahan, aktifis dakwah harus memiliki mata pencaharian sendiri, jangan gantungkan mata pencaharian pada lahan dakwah. Sebab jika antara kebutuhan hidup jika dicampur adukkan dengan urusan dakwah ujungnya urusan dakwah akan terkontaminasi keikhlasannya dengan hal-hal yang sebenarnya tidak kita inginkan, yakni akan bercabang niat kita dalam mengusung keikhlasan dakwah, satu untuk dakwah, satu lagi untuk kebutuhan hidup, sesuatu yang bercabang juga hasilnya akan bercabang.

Demikian kiranya untuk segala permasalahan dakwah yang kita emban, intinya tiada kata berhenti dalam berbuat dan berproses, halangan, rintangan, hambata, hakekatnya bagian dari proses dakwah sebagai pembuktian bahwa urusan dakwah bukan urusan sepele dan nyeleneh, tapi urusan besar yang dapat menghantarkan kita kepada memperoleh keutamaan, lebih tinggi nilainya dari pada onta merah, demikian janji Rasulullah saw.


Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh  

Sedekahkan Duniamu Untuk Dakwah


Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Syukur Alhamdullihirabbil’aalamiin, kita ucapkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, yang telah menancapkan cahaya hidayah ke dalam relung kehidupan kita, shalawat teruntuk Rasulullah saw.

Membaca tulisan Diyah Kusumawardhani dalam Majalah Islam Sabili Meniti Jalan Menuju Mardhotillah, kolom Oase ( eL-Ka )nomor 13 Tahun XVIII 17 Februari 2011/13 Shafar 1432 dengan judul Sedekahkan Kebun Karena Lalaikan Shalat mampu membuat kita tercenung-cenung, bahkan bisa membuat rona wajah kita berubah karena takut yang begitu dahsyat, apakah gerangan tulisan tersebut ? Kita kutipkan disini :

Diriwayatkan Malik dari Abdullah bin Abi Bakr dalam kitab al-Muwaththa’, 1-119. Bahwa pernah seorang laki-laki Anshar memiliki sebuah kebun kurma. Kebun kurma itu sedang berbuah dengan sangat lebatnya. Ia melakukan shalat di dalam kebun kurmanya itu.

Sang pemilik kebun merasa sangat kagum dengan hasil tanamannya yang berlimpah ruah. Sebentar kemudian ia melanjutkan shalatnya, namun tiba-tiba ia lupa berapa rakaat shalat yang dilakukannya.
Ketika itu ia berkata, “ Buah kurma ini telah mengganggu ketenanganku dalam shalat.”

Kemudian ia mendatangi Utsman bin Affan. Ia menceritakan kejadian tersebut kepada Utsman. Bahwa konsentrasi shalatnya terganggu akibat rasa kagumnya kepada hasil tanamannya yang melimpah ruah.
Utsman mendengarkan dengan seksama. Lalu Utsman pun berkata, “ Sedekahkan saja kebun itu, fisabilillah.” Utsman kemudian membeli kebun tersebut dengan harga lima puluh ribu ( dinar ). ( Halaman 32 )

Aduhai, begitu bijak orang-orang shaleh terdahulu menasehati kita tentang arti hidup yang sesungguhnya, lihatlah bagaiman cara mereka menyikapi suatu ibadah, sungguh begitu agung hati mereka, hati yang terpancar dari cahaya iman yang terang benderang, terbimbing oleh hidayah suci, bernaung dibawah kekuatan ruh al-Qur’an dan Sunnah, karena memang jiwa-jiwa mereka, telah mereka belenggukan dengan erat kepada dua pedoman hidup tersebut, tiada sedikitpun keraguan.

Diantara pesan dari kisah di atas yang dapat kita petik, dunia pada hakikatnya begitu besar godaan, rayuan yang selalu datang tanpa pada arah yang diduga-duga. Kebun kurma, demikianlah dunia yang digambarkan dalam kisah tersebut, maka kejelian Utsman bin Affan dalam menyikapi permasalahan melahirkan solusi, kebun itun harus disedekahkan. Jika memang kita ingin membuktikan kesungguhan kita dalam sebuah pengabdian, maka kita harus menjauhkan dunia dalam kehidupan kita, demikianlah kiranya pesan yang tersirat.

Lantas apakah kita hanya akan memikirkan kehidupan akhirat semata ? Ya, tapi kita harus ingat, kita hidup di dunia, dunia harus ditempuh, karena akhirat itu belum kita temui, kemudian dunia adalah tempat atau alat yang akan menyampaikan kita pada akhirat, alat sangat menentukan keberhasilan suatu tindakan, sederhana analoginya, seperti kita ingin menebang kayu jika menggunakan alat pemotong yang tajam, maka kayu akan mudah ditumbangkan, namun jika sebaliknya maka kayu tidak akan bergeming. Jadi dunia itu tetap penting, dengan dua alasan tadi, namun dunia itu hanya sebagai jembatan, ladang untuk menanam amal shaleh agar kelak diakhirat nanti kita panen hasilnya. Inilah yang diistilahkan secara sederhana dari definisi zuhud yang diajarkan kaum sufi.

Dalam perspektif Utsman bin Affan dengan jawaban filosofisnya, “ Sedekahkan saja kebun itu, fisabilillah.” Mengandung makna yang begitu luar biasa. Sedekahkan duniamu di jalan Allah swt, atau dalam kata lain jadikan dunia ini sebagai tempat untuk menanam kebaikan, dunia sebagai tempat fisabilillah.

Untuk rambu-rambu dakwah kita, hal ini patut dijadikan pegangan yang fundamental, dunia dakwah bukan berarti terlepas dari godaan dan rayuan, hanya saja kebun kurma dakwah itu terkadang lebih liat dan tidak terasa, tapi secara perlahan  telah melalaikan para pejuang di dalamnya hingga tidak menyadari ternyata kita telah jauh terperosok pada jurang yang begitu dalam hingga sulit untuk keluar dari padanya.

Apakah gerangan kebun kurma dakwah ini ? Sangat banyak, namun cukup kita ambil satu contoh sebagai sampel. Kita mungkin sering berbicara dan memahami dengan sungguh-sungguh bagaimana para orang-orang shaleh terdahulu sangat jauh hati mereka dari pandangan manusia. Ibadah, ketaatan, perjuangan semata-mata ikhlas karena Allah swt, bukan karena ingin mendapatkan kedudukan dihati manusia. Sehingga tidak heran kala kita sering menemukan dalam lembaran sejarah, mereka orang-orang shaleh sangat jauh dari kekuasaan, karena kekuasaan adalah kedudukan, kedudukan membuat orang merasa besar hingga melupakan Yang Maha Besar. Dalam dakwah ini, kekuasaan itulah yang sangat rentan merayu dan memberikan iming-iming, dengan berbagai macam alasan akan kita lontarkan untuk melegalkan bahwa dakwah butuh kekuasaan, tanpa kekuasaan dakwah tidak akan berjalan dengan baik, karena kekuasaan itu adalah kekuatan, kekuatan merupakan amunisi dakwah agar dakwah tidak mudah dihancurkan. Bukankah Rasulullah saw pernah berdo’a memohon pada Allah swt agar diantara salah satu Umar diantara dua Umar di Makkah masuk Islam, agar Islam memiliki kekuatan, disebabkan dua Umar di Makkah sosok yang memiliki kekuatan pengaruh luar biasa kala itu. Ternyata takdir Allah swt memancar pada Umar bin Khattab r.a, hingga percikan hidayah merayap dalam dadanya. Lihatlah setelah itu, Islam betul-betul memiliki kekuatan yang luar biasa semenjak Islamnya Umar bin Khattab r.a. Tidak main-main, pada masa pemerintahannya kelak, masa Khulafaurrasyidin, dua imperium besar yang mengguncang Jazirah Arab sebelumnya harus tunduk pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab r.a.

Kita tidak menyangkal alasan tersebut, dan bahkan kitapun mungkin sepakat bahwa memang dakwah itu butuh kekuatan, namun pertanyaannya bukan disana. Tapi mampukah kita bertahan di jalan dakwah yang telah digariskan dikala kekuasaan itu telah kita pegang dan kita memiliki kekuatan penuh untuk mengendalikannya ? Inilah yang dimaksud dengan kebun kurma dakwah itu, betapa banyak kita sering menemukan segelintir orang-orang yang berbicara tentang dakwah, memberikan nasehat pada penguasa, memberikan kritikan atas suatu kekuasaan yang dianggap melanggar syari’at, namun ternyata dikala kekuasaan itu diberikan kepada mereka, malah mereka menyeleweng dari ucapan, dan bahkan apa yang mereka perbuat lebih hina dari orang-orang yang pernah mereka persalahkan.

Disinilah kita mengambil sebuah korelasi dari pelajaran kisah di atas, dengan menyadari kekuasaan begitu penting sebagai sarana untuk melanggengkan urusan dakwah ini, namun  rujuklah bagaimana Utsman bin Affan memberikan solusi, sedekahkan di jalan Allah. Silahkan raih kekuasaan untuk membangun kekuatan dakwah, tapi betul-betul fungsikan dengan menyedekahkan di jalan Allah swt.

Kata kuncinya, sedekahkah duniamu untuk dakwah. Tentunya pahami sedekah disini dalam arti yang luas.

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Membangun Kecerdasan Dalam Dakwah


Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Segala puji hanya milik Allah swt, Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad

Menarik hikmah dari kecerdasan seseorang terkadang mampu membuat kita cerdas, malah melahirkan kecerdasan yang berlipat ganda, karena bisa jadi dari satu kecerdasan itu melahirkan ide-ide kecerdasan lain yang bercabang-cabang banyaknya.

Kita kutip sebuah kisah kecerdasan dalam rangka menumbuhkan kecerdasan dalam mengarungi bahtera dakwah yang bergelombang. Ya, sebuah kecerdasan Iyas bin Mu’awiyah, seorang ulama tabi’in pernah belajar matematika di sebuah sekolah milik Yahudi ahli dzimmah, kisah ini dituturkan oleh Hamzah dalam majalah Majalah Islam Sabili Meniti Jalan Menuju Mardhotillah, nomor 15 tahun XIII, 9 Februari 2006/10 Muharram 1427, dalam kolom Oase, dengan judul “ Kecerdasan Iyas ”.

Suatu hari berkumpullah kawan-kawannya dari kalangan Yahudi itu. Mereka asyik membicarakan masalah agama tanpa menyadari bahwa Iyas turut mendengarkannya.

Berkata Mu’alim kepada sahabat-sahabatnya, “ Tidakkah kalian heran dengan kaum muslimin itu ? Mereka berkata bahwa siapa yang makan di surga, dia tidak akan buang air.”

“ Bolehkah aku ikut bicara, ya Mu’alim?” Tanya Iyas.

“ Boleh,” jawab sang Mu’alim.

“ Apakah semua yang dimakan di dunia ini keluar menjadi kotoran ?”

“ Tidak. ”

“ Lalu kemana keluarnya yang tidak keluar itu ? ”

“ Pergi sebagai makanan jasmani ( diserap tubuh )”

“ Lantas kenapa kalian mengingkari? Makanan yang kita makan di dunia saja sebagian hilang diserap oleh tubuh, maka tidak mustahil di surga seluruhnya diserap oleh tubuh dan menjadi makanan jasmani.”
Mu’alim ( sambil mencubit Iyas ) berkata, ” Engkau memang terlalu pintar.” ( Halaman 32 )

Secara kasat mata kisah ini kelihatan biasa dan mungkin kita sering menemukan kisah yang senada, tentang kepiawaian seseorang dalam mendebat suatu perkara secara bijak tanpa terkesan menggurui, namun pernahkah kita mencoba menggali nilai-nilai spiritual dalam kisah demikian yang mampu melahirkan suatu keteladanan bagi diri kita dalam berproses melakukan suatu tindakan?.

Dalam lingkup dakwah kita, kisah tersebut mampu menjadi inspirator dan spirit perjuangan dalam mewujudkan dakwah yang dapat diterima kalangan tertentu. Kalau bolehlah kita mengklasifikasikannya, peristiwa tersebut menggiring kita pada suatu pembelajaran bagaimana mewujudkan metode dakwah pada lapisan golongan orang-orang bukan sembarangan, orang-orang bukan sembarangan dalam artian mereka adalah orang-orang yang mampu untuk menganalisis pesan-pesan yang kita bawa hingga tidak secara langsung menerimanya tanpa penelitian yang mendalam. Proses analisis dan penelitian akan melahirkan kelak apakah mereka akan menerima dakwah atau menolak bahkan malah menjadi penentang.

Menghadapi golongan seperti ini membutuhkan strategi dan perencanaan yang matang, sebab jika tidak cukup modal, bisa jadi kita selaku pengusung panji-panji dakwah akan kebablasan ,malah mendapat perlakuan yang memalukan dikarenakan kurang matangnya suatu proses yang dijalankan, lebih luas posisi dakwah akan terancam kedudukannya bahkan berimbas pada pelecehan terhadap nilai dakwah itu sendiri, berakibat ruh dakwah tercampakkan dikarenakan ulah kita yang sembrono.

Kecerdasan Iyas bin Muawiyah dalam memberikan argumentasi yang mengena untuk menjelaskan suatu hakikat kebenaran merupakan suatu ibrah bagi kita yang bergerak dalam barisan dakwah agar mampu menjelaskan hakikat dari substansi-substansi dakwah dengan kemampuan yang benar-benar mumpuni, dalam hal ini kecerdasan, kecerdasan untuk memahami konsep-konsep dakwah yang kita tebarkan, dan kecerdasan untuk menyampaikannya kepada objek dakwah, bukan dengan kemampuan modal semangat belaka. Karena modal semangat tanpa diiringi dengan kecerdasan yang dua tersebut hanya akan melahirkan dakwah yang disebarkan dengan cara membabi buta, sehingga dikala perjalanan dakwah itu diserang kita tidak mampu menahannya karena memang kita tidak memiliki modal untuk itu.

Ketahuilah, semangat memang sangat dibutuhkan, tapi semangat yang sesungguhnya adalah semangat yang lahir dari kemampuan, bukan semangat yang lahir dari modal nekat, semangat yang tidak diiringi dengan kemampuan hanya akan melahirkan kerancuan proses jalannya dakwah, banyak kita temukan dilapangan hal seperti ini, betapa banyak orang yang bicara dan berjuang  atas nama dakwah, namun karena hanya modal semangat belaka tanpa adanya kemampuan pemahaman yang diusung, dikala apa yang diusungnya mendapat tantangan ia tidak mampu secara bijak mengatasinya. Sehingga dengan membabi buta pula ia salahkan orang yang mempertanyakan gerakan dakwahnya, karena memang ia sendiri tidak paham, kecuali hanya mengutip dan berpijak pada pendapat orang lain, tanpa mengetahui dan memahami apa yang ia kutip. Seandainya ia berhadapan dengan golongan seperti golongan yang dihadapi oleh Iyas bin Muawiyah, maka hal ini akan berakibat buruk bagi perkembangan dakwah.

Untuk itu, disini kita renungkan kalamullah yang termaktub dalam al-Qur’an sebagai petunjuk arah dan jalan kita dalam merancang strategi dan menyusun program serta menerapkan metode dakwah dalam menghadapi berbagai kalangan yang memiliki latar berbeda, agar dakwah dapat menjangkau seluruh elemen dan kita mampu mengatasinya dikala kita mendapatkan tantangan, surat an-Nahl ayat 125 :

“ Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan mau’izhah (pengajaran ) yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. ”

Kecerdasan memahami dan kecerdasan menyampaikan dakwah terangkum dalam hikmah, mau’izhah ( pengajaran ) yang baik dan berdebat dengan cara yang baik, tergantung pada posisi mana objek dakwah berada, maka Allah swt telah menggariskan tiga jalan yang bisa ditempuh untuk menyampaikan pesan dakwah pada mereka.


Berangkat dari sini, ambillah keputusan, kecerdasan dakwah manakah kiranya yang layak kita jadikan motor penggerak bagi kalangan yang kita anggap bukan kalangan biasa. Renungkanlah.



Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh 

Rabu, 23 November 2011

Mengukur Keberhasilan Dakwah


Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Puji syukur kepada Allah swt, shalawat buat Rasulullah saw.

Suatu hari Hasan Bashri menghampiri Rabi’ah al-‘Adawiyah yang saat itu sedang duduk-duduk diantara sekumpulan para tokoh sufi. Hasan berkata kepadanya: ” Aku memiliki kemampuan untuk berjalan di atas air. Wahai Rabiah, mari kita berdua pergi ke kolam air itu, duduk bersama di sana dan berdiskusi spititual di atasnya.”

Rabi’ah, sufi agung wanita sekaligus musafir cinta di jalan Allah, menjawab: “ Jika engkau ingin memisahkan dirimu sendiri dari orang-orang yang penuh kebesaran ini, mengapa engkau tidak bergabung denganku saja, sehingga kita bisa terbang ke udara dan duduk di sana sambil bercakap-cakap ?”

Hasan Bashri menolak: ” Aku tidak mampu melakukan hal itu, karena kekuatan yang engkau sebutkan bukanlah kekuatan yang aku punyai.”

Rabi’ah pun berkata: “ Wahai Hasan, ketahuilah, kehebatanmu berdiam diri di dalam air adalah sama dengan kehebatan yang dimiliki oleh seekor ikan. Kekuatanku terbang melayang di udara, dapat dilakukan seekor lalat. Kemampuan kita ini bukanlah bagian dari kebenaran sejati. Kesemuanya itu bisa saja menjadi dasar kebanggaan diri, dan persaingan, bukan sipiritualitas.”
( Dikutip dari karya Zaprul Khan dengan judul “ Kisah-Kisah Penuh Hikmah Yang Sanggup Menumbuhkan IQ, SQ, Dan EQ ” terbitan Mitra Pustaka, Yogyakarta, cetakan pertama, Juli 2006, halaman 323 – 324. Kisah yang didapatkan oleh Zaprul Khan dari Idries Shah, guru sufi kontemporer dalam karyanya Sang Guru Zaman ( Thinker of The East ))

Jika Zaprul Khan mengupas kisah ini dalam kacamata sufistik sesuai dengan jabaran beliau dalam karyanya tersebut, maka kita mencoba menganalisis dalam kaca mata dakwah sebagai pengambilan i’tibar.
Sungguh, terdapat nilai agung dari kisah ini untuk dijadikan bahan renungan dalam meniti jalan dakwah, jalan yang telah Allah swt tetapkan untuk orang-orang yang hanya ikhlas dan jujur dalam menerima amanah ini, jalan yang akan mengantarkan para pengusungnya kepada kedudukan yang mulia disisi Allah swt, walau terkadang harus tertatih dan terjerambab dalam menyusurinya.

Bagaimana perasaan kita dikala melihat dakwah yang kita cita-citakan ternyata seakan-akan mendapat sambutan hangat dari berbagai lapisan,  hingga terkadang kita mendapat kemuliaan disisi manusia karena dianggap mafhum dengan urusan agama, berbondong-bondong mereka meminta petuah dan nasehat, diberikan posisi-posisi penting dalam urusan agama, para penguasa dan orang-orang penting sampai-sampai memposisikan kita pada posisi yang mengagumkan, kebaikan kita disebut-sebut, kehadiran kita begitu dinanti-nantikan, kita laksana purnama yang ditunggu-tunggu cahayanya. Sampai-sampai hanya untuk bersalaman dengan kita orang rela menempuh jarak yang jauh, karena begitu cintanya mereka akan diri kita yang dianggap sebagai pembawa pencerahan, suluh penerang dalam kegelapan.

Mungkin saat itu yang terbersit dalam jiwa kita, kita memang layak untuk mendapat kedudukan tersebut, bahkan dengan berbagai macam dalil al-Qur’an dan sunnah kita jadikan landasan untuk pembenaran. Namun, sebelum jauh-jauh kita meyakini akan kebenaran yang terbersit dalam jiwa kita, maka disini kisah diatas perlu kiranya menjadi peringatan keras akan kemuliaan yang kita dapatkan, seperti kata Rabi’ah di atas : “ Wahai Hasan, ketahuilah, kehebatanmu berdiam diri di dalam air adalah sama dengan kehebatan yang dimiliki oleh seekor ikan. Kekuatanku terbang melayang di udara, dapat dilakukan seekor lalat. Kemampuan kita ini bukanlah bagian dari kebenaran sejati. Kesemuanya itu bisa saja menjadi dasar kebanggaan diri, dan persaingan, bukan sipiritualitas.” Pembelajaran pertama dari kisah di atas yang layak kita renungkan.

Aduhai, benarkah kemuliaan yang kita peroleh hasil dari prosesi dakwah yang kita lakukan, atau jangan-jangan semua itu adalah jalan-jalan setan yang terbentang luas, tampaknya indah di depan mata, namun fatamorgana belaka. Mengapa demikian ? Ketahuilah, setan dalam bentuk apapun tidak akan rela prosesi dakwah mencapai suatu keberhasilan yang gemilang, maka berbagai upaya akan dilakukan, mulai dengan cara yang kasar, hingga cara terhalus sekalipun, jika ia gagal dalam satu jalan, ia akan mencari jalan lain, disaat ia gagal dalam menghasut objek dakwah agar tidak menerima hakikat dakwah yang sesungguhnya, maka ia mencoba menelusuri jalan  menghancurkan sumber dakwah itu sendiri, sumber itu adalah juru dakwah, maka sadarilah godaan bagi para juru dakwah itu begitu besar, karena upaya setan dalam menggelimpangkan para juru dakwah ini upaya skala prioritas dari panji-panji setan, disebabkan dari sinilah jalan dakwah itu mengalir, maka setan akan berupaya memutus jalan dakwah ini hingga ke pangkalnya.

Ketahuilah, jalan-jalan yang ditempuh setan untuk melumpuhkan para juru dakwah bukanlah jalan yang biasa, tapi jalan yang samar dan membingungkan, hingga tanpa disadari siapa saja yang terperosok pada jalan itu sulit untuk keluar sementara ia tidak merasakan ia telah terperangkap. Dianatara bentuk jalan yang dihamparkan setan tersebut membisikkan perasaan berbangga diri akan prestasi dakwah yang kita tunaikan hingga kita merasa puas dengan apa yang kita lakukan, merasa puas demikianlah yang dikejar oleh setan hingga kita tetap bertahan dan enggan untuk berkarya dalam urusan dakwah.

Lihatlah, betapa banyak kita temukan dalam lapangan dakwah, orang-orang yang hanya merasa puas dengan prestasi dakwah yang diperoleh, disaat dakwah diakui oleh kekuasaan dengan mendapat perlindungan dari penguasa misalnya, lantas kita merasa puas sampai disana, lalu enggan untuk menyampaikan dakwah pada penguasa yang memberi kekuasaan dengan alasan “ Jangan sampai gara-gara kita berharap penguasa mendapat sentuhan dakwah, malah kekuasaan dakwah kita dicabut oleh penguasa tersebut, cukuplah kita pada tahap ini agar dakwah tetap berjalan, ” Akhirnya penguasa tersebut tidak mendapat ruh dari nilai-nilai dakwah yang kita usung. Sungguh, kita telah tertipu, sangat tertipu, telah terjerambab pada bentangan jalan-jalan setan. Mengapa dikatakan tertipu ? Karena urusan dakwah adalah urusan universal, bukan untuk segelintir orang, tapi merambah keseluruh aspek kehidupan, seluruh penghuni bumi ini harus mendapatkan sentuhan dakwah, hingga tiada yang disembah kecuali hanya Allah swt.

Pada konteks ini layakkah perasaan merasa puas itu bercokol dihati ? Sangat tidak layak, kepuasan baru bisa dirasakan dikala apa yang dicita-citakan telah mencapai ranah kesempurnaan, dalam artian dakwah telah benar-benar diterima secara luas, penerimaan itupun benar-benar  secara hakikat, bukan kamuflase, bukti diterimanya dakwah secara sempurna tergambar dari aspek kehidupan yang mengedepankan urusan perintah Allah swt dalam segala aspek kehidupan dengan segala ketundukan. Jika belum, berarti perjalanan ini masih panjang, masih jauh yang akan ditempuh, masih banyak rintangan yang harus dihadang, masih terpancang akar-akar duri yang setiap saat tumbuh dan menusuk proses menuju kesempurnaan itu.

Kapan kita akan mencapai kesempurnaan ? Mungkin ada yang bertanya demikian, yang terpenting bukan masalah tercapainya kesempurnaan, namun bagaimana upaya kita dan sejauh mana mujahadah kita dalam menggapainya, urusan tercapainya keberhasilan kesempurnaan sepenuhnya berada dalam genggaman Allah swt, yang terpenting jangan pernah merasa puas dengan apa yang telah kita gapai karena bisa jadi sesuatu yang menurut kita suatu keberhasilan yang spektakuler, namun disisi Allah swt merupakan hal yang belum bernilai apa-apa, sebab apa yang kita lakukan bisa jadi baru sebatas kita telah merasa bersungguh-sungguh dalam urusan dakwah, padahal jika dibandingkan dengan sepercik nilai perjuangan yang dilakukan para pendahulu kitapun belum layak untuk diperbandingkan. Sebab bisa jadi apa yang kita gapai baru merasa berhasil, bukan suatu keberhasilan yang sesungguhnya. Kembali kita rujuk kata-kata Rabi’ah di atas: “ Wahai Hasan, ketahuilah, kehebatanmu berdiam diri di dalam air adalah sama dengan kehebatan yang dimiliki oleh seekor ikan. Kekuatanku terbang melayang di udara, dapat dilakukan seekor lalat. Kemampuan kita ini bukanlah bagian dari kebenaran sejati. Kesemuanya itu bisa saja menjadi dasar kebanggaan diri, dan persaingan, bukan sipiritualitas.”
Renungkanlah ! Sungguh maknanya begitu dalam, sebagai pembelajaran kedua dari kisah di atas.


Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh   

Tidak Ada Alasan Untuk Berputus Asa Dalam Dakwah


Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Kesyukuran hanya milik Allah swt, shalawat teruntuk Rasulullah saw.

Kisah ini Ana tarik dari tulisan Mohammad Sobary, dalam “ Moralitas Kaum Pinggiran. ” ( Bandung :Mizan Khazanah Ilmu Ilmu Islam, 1994, cet-1 ) :

Abdullah bin Mubarak itu seorang Sufi. Pernah dulu, seperti diceritakan oleh Fariduddin Al-Attar dalam Warisan Para Awliya, dalam tidurnya ia mendengar dua malaikat berdialog tentang para jamaah haji yang baru saja menunaikan ibadah di Tanah Suci.

“ Berapa orang yang datang tahun ini?”
“ Enam ratus ribu.”
“ Dan berapa yang ibadahnya diterima Tuhan?”
“ Tak satu pun.”

Abdullah terperanjat. Ia bangun dengan tubuh gemetar. Ia sendiri termasuk salah seorang jamaah yang baru saja selesai naik haji itu.

“ Apa tak ada yang diterima?” teriaknya. “ Mereka yang telah susah payah datang dari jauh dan melintasi padang pasir itu hanya untuk memetik sebuah kesia-siaan?” seru Abdullah lagi.

“ Meskipun begitu,” jawab malaikat, “ada tukang sapu di Damaskus yang tinggal di rumah tapi hajinya diterima.”

Abdullah makin heran demi mendengar penuturan itu. “Ngendon di rumah, tapi hajinya diterima Tuhan? Apa pula ini? Dan apa memangnya kelebihan ruhani si tukang sepatu itu?” Abdullah penasaran.
Diam-diam lalu Abdullah lalu menyelidik ke Damaskus. Tukang sepatu itu ternyata Ali bin Muwaffak, orang biasa. Tapi, tapi telah tiga puluh tahun ia menabung buat naik haji.
Ketika tiba saatnya, ia menemukan seorang tetangganya yang tampak hidup nelongso. Keluarga itu dalam kesulitan serius. Sudah tiga hari anak-beranak dalam keluarga itu tidak makan sesuatupun. Ali kaget. Tetanggaku, saudaraku sesama Muslim tak bisa makan dan aku mau bermewah diri naik haji? Ia pun pulang ke rumah.

“ Ini tabungan yang aku simpan tiga puluh tahun untuk naik haji. Terimalah dan gunakan uang ini bagi hidupmu sekeluarga. Itula hajiku,” katanya. ( Halaman 23-24 )

Kisah sufi, memang, terkadang membuat kita termenung-menung, kisah yang lebih menghentak kesadaran untuk menyadari betapa kita memiliki Tuhan Yang Maha Pemurah, Allah Azza Wa Jalla. Tidak luput satupun yang kita lakukan lepas dari pantauan Allah swt, semuanya berujung pada kesan; setiap yang terjadi terkandung hikmah yang begitu dahsyat.

Diantara mutiara hikmah yang dapat kita tarik dari kisah tersebut, merupakan suatu support bagi kita yang meniti jalan dakwah ini dengan kesungguhan. Penyemangat dikala kita lemah dan memberi harapan dikala kita merasa apa yang kita lakukan tidak bernilai apa-apa.

Ketahuilah, bagi Allah swt urusan agama adalah urusan perasaan, urusan ruhani, semua itu terletak pada hati, inilah yang terangkum dalam satu konsep, niat. Perbuatan kita sangat ditentukan oleh niat.
Secara mendalam ulama sufi kawakan Imam Al-Ghazali dalam karyanya “ Ihya ‘Ulumiddin “ mengurai penafsiran hadits tentang : “ Niat orang mukmin lebih bagus daripada amalnya.” (H.R. Ath Thabrani dari Hadits Sahl bin Sa’ad dan dari Hadits An Nawas bin Sam’an ). Arti hadits adalah bahwa setiap taat itu tersusun dengan niat dan amal, dan niat itu termasuk sejumlah kebaikan, tetapi niat dari jumlah bahwa taat itu lebih baik daripada amal.

Maksudnya adalah masing-masing dari niat dan amal itu mempunyai pengaruh pada maksud, dan pengaruh niat itu lebih banyak daripada pengaruh amal.
Maka arti hadits adalah niat orang mu’min dari jumlah keta’atannya itu lebih baik daripada amalnya yang ia termasuk jumlah keta’atannya. Maksudnya bahwa hamba itu mempunyai kemauan pada niat dan amal. Keduanya adalah amal perbuatan, dan niat itu dari jumlah adalah paling baik diantara keduanya. Inilah artinya. ( Diterjemahkan oleh Moh. Zuri, Dipl. TAFL, dkk, dengan judul terjemahan Terjemah Ihya’ ‘Ulumiddin Jilid IX, Semarang: Terbitan CV. Asy-Syifa’, cet-Tahun 2003, h. 19-21 ).

Inilah hendaknya yang menjadi perhatian kita disaat melangkah menyusun strategi dakwah yang semakin kompleks permasalahannya. Kecendrungan kita dalam menggapai suatu urusan bagaimana mampu melihat hasil yang kita cita-citakan secara kasat mata. Sehingga kita merasa puas dikala apa yang kita tanam menghasilkan buah dan dapat kita petik hasilnya. Namun, dampak negatif dari kecendrungan ini mampu membuat kita berputus asa dikala yang kita dambakan tidak sesuai dengan apa yang kita cita-citakan.

Dalam urusan dakwah hal ini sering kita temukan,  disaat kita mencoba dengan kesungguhan mengajak, merancang strategi, menyusun kekuatan, melahirkan ide-ide bagaimana prosesi dakwah yang kita lakukan dapat diterima oleh objek dakwah secara matang, namun kenyataannya yang kita temukan malah sebaliknya. Segala yang kita perjuangkan kandas ditengah jalan atau malah dipermulaan jalan. Tentunya hal ini merupakan pukulan berat yang dapat melemahkan semangat kita, bahkan  melumpuhkan ruh dakwah yang menyala-nyala hingga berakibat padam.

Pada titik ini, agar kita tidak terjatuh pada ruang-ruang keputus asaan, kita perlu untuk memahami konsep niat dalam setiap aktifitas dakwah, ketahuilah … merujuk pada kisah Abdullah bin Mubarak dan pengajaran Imam al-Ghazali, yang terpenting dalam sebuah tindakan adalah gerakan hati yang mendorong untuk melakukan sesuatu. Keberhasilan akan tercapainya suatu urusan merupakan urusan lain yang berada dalam genggaman Allah swt, tidak ada satupun kita selaku insan yang lemah mengetahui apa yang akan terjadi esok atau lusa. Keberhasilan dan kegagalan merupakan titik yang kita dapatkan ketika Allah swt memberikan ganjaran terhadap apa yang kita lakukan, dan setiap ganjaran itu bernilai kebaikan,  karena Allah swt tidak akan mendatangkan kemudharatan kepada hamba-Nya.

Disaat kita memperoleh suatu keberhasilan terhadap kebaikan yang kita cita-citakan, hal tersebut merupakan suatu anugrah dari Allah swt. Itu merupakan suatu kebaikan, namun disaat kita memperoleh suatu kegagalan terhadap apa yang kita upayakan, sesungguhnya hal tersebut juga anugrah dari Allah swt, dan juga itu merupakan kebaikan. Karena bisa jadi kegagalan yang kita peroleh menjadi penghalang bagi kita dari bencana yang kita dapatkan dikala kita memperoleh keberhasilan. Sebab, siapa menyangka dengan keberhasilan yang kita peroleh akan dapat melahirkan kesombongan dan keangkuhan pada diri kita yang memang sarat menggerogoti orang-orang yang mendapat keberhasilan. Sungguh hal ini sangat dalam, renungkanlah.

Selanjutnya, kaitannya dalam urusan dakwah ini, disini kita dapat menilik, jika kita terhalang mencapai keberhasilan dakwah yang telah kita tunaikan, itu bukan berarti keburukan yang kita dapatkan, tetap suatu kebaikan, ada hal-hal yang perlu kita intropeksi terhadap gerakan yang telah kita tunaikan, benarkah kita telah bersungguh-sungguh, benarkah yang kita lakukan dengan cara yang dibenarkan, satu lagi benarkan yang kita lakukan ikhlas karena Allah swt. Jika  ternyata memang benar yang kita lakukan demikian, peran niat telah dapat kita petik. Niat itulah yang akan menjadi catatan kebaikan yang kita tunaikan, semua ini tidak nampak hasilnya, namun dapat kita rasakan dalam jiwa, bahwa kita telah melakukan sesuatu, namun Allah swt belum mengizinkan akan sebuah keberhasilan kasat mata, tapi Allah swt telah memberikan hasil yang setimpal dari niat yang kita tancapkan.

Berpegang pada prinsip ini, berlakulah hukum tawakkal, dikala kita tidak memperoleh apa yang kita upayakan, niat kita telah memberikan kontribusi terbaik untuk kita, sesungguhnya kita telah mencapai sebuah keberhasilan, keberhasilan dalam pandangan Allah swt, untuk urusan kasat mata yang tidak tampak keberhasilannya, serahkan urusan itu kepada Allah swt. Hal ini bukan berarti kita berhenti berjuang di jalan dakwah dikala dakwah mendapatkan hambatan, sama sekali bukan, dakwah harus tetap berjalan, akan tetapi untuk memberi kesadaran akan diri kita, tidak ada satupun yang kita lakukan dalam urusan dakwah berakhir dengan kesia-siaan, maka tidak ada alasan untuk berputus asa.



Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh   

Mengalah dalam Urusan Dakwah


Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Alhamdulillaahirabbil’aalamiin, Curahan shalawat teruntuk Rasulullah saw.

Yahya ibn Ja’far menuturkan kepada kami : Aku pernah mendengar Abu Hanifah bercerita seperti ini :

Suatu hari aku pergi ke sebuah sumber air yang berada di sebuah desa pedalaman. Sesampainya di tempat yang kutuju, seorang badui menghampiriku dengan membawa satu kantong air. Aku bermaksud membeli airnya, tetapi ia hanya mau menjualnya kepadaku dengan harga lima dirham. Akhirnya, aku pun membeli sekantong air itu dengan harga lima dirham.
Setelah menerima sekantong air itu darinya, aku berkata kepadanya, “ Wahai orang badui, apakah kamu suka roti ?”
“ Bila kau punya, berikan kepadaku ! ”  Pintanya.
Maka akupun memberinya sepotong roti tepung yang sudah berlumuran dengan minyak. Namun, ia menyantap roti itu dengan lahapnya. Setelah itu, dia kehausan dan berkata kepadaku, “ Berilah aku seteguk air saja. ”
“ Tapi, kamu harus membayar lima dirham,” Jawabku.
Ternyata, ia menyetujui tawaranku dan aku memberinya seteguk air minum dengan harga lima dirham. Demikianlah, akhirnya aku bisa memiliki kembali uang lima dirhamku dan juga sekantong air yang hanya berkurang satu teguk saja. ( Ibnu al-Jauzi, Qisthi Press : Jakarta, 2007, halaman : 108-109 )

Saudaraku se-Iman …

Kisah ini merupakan kutipan dari karya Ibnu al-Jauzi “ Ahla al-Hikayat min Kitabi al-Adzkiya ” , yang diterjemahkan oleh Abdurrahim Ahmad dengan judul “ Humor Cerdas ala Orang-orang Cerdik ”. Namun dalam perspektif bagaimana cara kita memandang kisah hidup orang-orang shaleh,  sarat makna kehidupan yang dapat kita jadikan referensi walaupun hanya dalam peristiwa yanag kejadiannya kelihatan biasa. Ketahuilah … tiada satupun peristiwa yang diciptakan oleh Allah SWT melalui hamba-Nya kecuali di dalamnya terdapat nilai-nilai yang dapat dijadikan pelajaran.

Secara analogis kisah tersebut suatu isyarat dalam menyikapi fenomena permasalahan yang kita rasakan dalam meniti jalan dakwah. Relefansinya terletak pada kata kunci bagaimana kita mampu menerapkan konsep “ Mundur satu langkah untuk maju seribu langkah ”.
Jalan dakwah adalah jalan panjang yang berliku, sarat cobaan dan rintangan, sehingga tidak jarang kita menemukan banyak sauadara-saudara kita yang gugur dalam meniti jalan ini, hanya keikhlasan dan kekuatan azzam yang terpatri dengan iman yang akan menguatkannya. Untuk itu kita dituntut untuk jeli dan mampu menempatkan sesuatu agar roda perputaran dakwah ini tetap berjalan walaupun diatas jalan berlobang dan bertanjak.

Menempatkan sesuatu dalam artian, disaat kita merasakan saat-saat sulit dalam dakwah, rintangan dan cobaan terasa semakin berat, disaat itu kita harus menerapkan konsep “ sedikit mengalah”. Sedikit mengalah untuk menerima keadaan, sedikit mengalah untuk tidak memaksakan kebenaran yang kita usung, walaupun hakikatnya yang kita perjuangkan suatu kebenaran.Tentunya  mengalah dalam tatanan tetap pada garis-garis yang telah ditetapkan. Kongkritnya seperti ini, cobalah untuk sedikit cair dalam menyikapi permasalahan dakwah, misalnya, disaat kita mencoba untuk mengajak sekelompok orang kepada jalan kebaikan, ternyata mereka menolaknya mentah-mentah dengan alasan tidak satu pemikiran dengan kita, hal ini menuntut kita untuk sedikit mengalah dan mengikuti pemikiran apa sebenarnya yang mereka tuntut. Seperti kita mencoba mengajak para remaja dalam urusan dakwah. Kita akan menemukan dari golongan mereka penolakan serius karena upaya yang kita usung bagi mereka terasa bersebrangan dengan keinginan mereka. Hal yang mendominasi mereka adalah kehidupan yang sesuai dengan tuntutan dunia mereka, seperti hiburan, apakah itu musik, pertunjukan olah raga ataupun tamasya.  Sementara yang kita tuntut bagi mereka adalah keseriusan dalam meniti hidup dengan penuh ketundukan dalam pengabdian kepada Allah SWT. Untuk kalangan remaja, secara psikologis masa remaja merupakan masa-masa pubertas yang menuntut keinginan mereka tercapai, bahkan mereka berani melakukan apa saja asalkan yang mereka inginkan terwujud.
Dalam kondisi tersebut apakah mungkin tuntutan kita akan bisa diterima oleh mereka ? Tuntutan untuk serius dalam menuntut ilmu, tuntutan untuk banyak-banyak menanam amal shaleh, tuntutan untuk berjuang, bergerak dan menggunakan seluruh waktu untuk menebar kebaikan, tuntutan meredan keinginan hawa nafsu, tuntutan menahan gejolak jiwa melakukan hal-hal yang mengarah pada hal yang sia-sia. Kembali secara psikologis, hal tersebut berat bagi mereka, dan kita merasa ragu akan penerimaan mereka terhadap tuntutan tersebut. Lantas apakah akah kita tunggu pemikiran mereka matang baru kita masuki dunia mereka dan mengajak pada jalan dakwah ? Tentu saja tidak. Maka disinilah urgensi kisah di atas dapat kita jadikan i’tibar untuk mengambil sikap.

Cobalah untuk sedikit mengalah dengan keadaan, ikuti cara hidup mereka, mengikuti cara hidup mereka inilah yang dimaksud mundur satu langkah, mengalah. Tapi selama dalam koridor tidak keluar dari rel-rel syari’at, dan perlahan-lahan sekali melalui gaya hidup mereka itu kita mulai menyusun strategi dakwah bagaimana gaya hidup mereka itu dialihkan secara perlahan dan bijak sehingga mengarah pada situasi dan suasana yang kita inginkan. Silahkan kita menjadi diri mereka, namun kita tidak menjadi mereka, ibarat kata bijak : “ Jika kita ingin membawa ayam keluar dari kandangnya, maka kita harus mampu menirukan suara ayam untuk memanggilnya, namun jangan kita menjadi ayam.” Maka, masuklah ke dalam kehidupan objek dakwah, warnai mereka, tapi jangan sampai kita yang terwarnai.
Secara naluri dakwah kita mungkin akan merasa berat melakukan hal ini, mengalah untuk urusan dakwah suatu hal yang berat, apakah kita harus mengalah untuk menegakkan suatu kebenaran ? Bahkan kita rela berpisah nyawa dari badan untuk kebenaran ini. Tapi ketahuilah … mengalah adalah bagian dari strategi dakwah, hal itu merupakan fase untuk melangkah lebih jauh ke depan. Mengalah bukan berarti kalah, tapi membentuk strategi baru agar dakwah lebih mudah dan dapat diterima. Sekali lagi yang harus ditanamkan adalah kata kuncinya, mengalah dalam koridor tidak keluar dari jalan syari’at.

Bukankah Hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Yastrib hingga bernama Madinah adalah upaya “ mengalah ” dalam makna lain ? Yakni mengalah dalam merancang strategi. Mengapa ? Jika Rasulullah SAW dan kaum muslimin tetap bertahan di Makkah dan mengadakan perlawanan, sementara suasana dan kondisi tidak berpotensi untuk mendapatkan kemenangan maka yang dicita-citakan tidak akan tercapai . Namun dengan konsep mengalahnya Rasulullah SAW dan kaum muslimin dengan berhijrah ke Yastrib,maka lihatlah, lihatlah hasil tersebut, Jaziratul Arabia tunduk dibawah pengaruh Islam.

Jadi,sekali lagi, mengalah bukan berarti kalah, tapi untuk menyusun strategi dan mendapatkan hasil yang lebih. Inilah yang dimaksud dengan “ Mundur satu langkah untuk maju seribu langkah.” Seperti mengalahnya Imam Ahmad terhadap orang Badui  di atas, tapi akhirnya malah ia mendapat keuntungan dengan upaya “ mengalahnya”. Ketahuilah… semua itu hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang berpikiran dengan bijak. Tidak hanya menggunakan kecerdasan otak, tapi naluri kebijaksaan yang mengendalikan.

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh