Mahfuzhat
:
اَلْاَدَبُ شَرَفٌ
( Kesopanan Itu Mulia )
Penjelasan :
Tidak ada yang
layak dibanggakan dalam hidup ini, kecuali akhlak yang mulia, inilah kesopanan.
Kemegahan harta, keindahan fisik, banyaknya keturunan semua itu hanyalah
bersifat relatif dan sementara. Harta hanya akan bertahan kemegahannya paling lama
sampai ajal menjemput , setelah itu ia akan kita tinggalkan, dan akan diambil
alih oleh orang sesudah kita. Jika dikelola dengan baik, alhamdulillaah, harta
kita menjadi kebaikan bagi orang-orang sesudah kita, namun bagaimana jika malah
menjadi lahan sengketa ? Harta kita malah menjadi ajang pertikaian dan memicu
putusnya hubungan silaturrahim.
Kemuliaan harta hanya berada ditangan orang-orang yang mulia, ditangan
orang-orang yang memperolehnya dengan cara yang mulia, dan membelanjakannyapun
dengan cara yang mulia, maka jika kita mampu untuk mencapai tahap ini, silahkan
peroleh harta, silahkan dicari harta, tapi tetap dalam koridor sewajarnya,
karena tiada kemuliaan pada hal yang berlebihan.
Begitu juga
dengan keindahan fisik, dan banyaknya keturunan, seiring perjalanan waktu akan
memuai dan hilang tak berbekas. Pertambahan umur akan menyebabkan pudarnya
pesona fisik, bahkan terkadang sampai, jangankan orang bersedia untuk
berdekatan dengan kita, melirikpun mereka merasa jijik. Lantas apa yang hendak
dibanggakan dari keindahan fisik, apalagi hendak mencari kemuliaan dengan
keindahan fisik, toh Allah swt tidak melihat seseorang dari fisiknya, tapi dari
hatinya. Bukankah demikian Rasulullah saw mengajarkan kita ?
Ooo…kita
mungkin sering membanggakan garis keturunan, garis keturunan kiyai, ulama,
syekh. Ketahuilah kemuliaan seseorang tidak didapat melalui siapa bapaknya,
atau neneknya, tapi kemuliaan itu memancar dari dalam diri setiap pribadi. Tidak
ada sedikitpun andil kharisma orang-orang disekitar kita dalam mencapai
kemuliaan. Apakah karena bapak kita syekh, lalu dengan serta merta kita juga
jadi syekh ? Tidak, karena kemuliaan bukan didapat melalui keturunan. Kalaupun
tetap ingin memasukkan peran mereka, tiada lain peran mereka hanyalah berupaya
membuat kita menjadi mulia, sedangkan mulia atau tidaknya kita, kita yang
memilih jalan itu, dan kita yang menentukan pilihannya. Jika tidak ada upaya
dari diri kita untuk mencapai kemuliaan, jangan berharap kemuliaan akan kita
peroleh kalau hanya berpijak pada kemuliaan orang-orang sebelum kita
dikarenakan kita satu keturunan.
Termasuk dalam
hal ini ilmu yang tinggi, bukanlah syarat mutlak untuk mencapai kemuliaan,
memang kita temukan ada ayat al-Quran yang menyatakan bahwa ditinggikan derajat
orang berilmu beberapa derajat ( Surat al-Mujadalah ayat 11 ). Namun orang yang
berilmu yang bagaimana ? Ada kategori orang berilmu yang ditinggikan
derajatnya. Yakni ilmu yang sesuai dengan tuntutan syari’at, dan dengan ilmu
itu ia capai kemuliaan yang telah digariskan oleh syari’at, untuk menunaikan
pengabdian kepada Allah swt. Sehingga ilmu itu bukan hanya sekedar ilmu, tapi
ilmu itu membawa dirinya pada pengenalan siapa dirinya yang sesungguhnya, untuk
apa ia diciptakan, dan apa tugasnya selaku yang diciptakan ( makhluk ). Sungguh
yang takut pada Allah itu adalah ulama ( orang yang berilmu ) demikian Allah
swt mensinyalir dalam surat Fathir ayat 28.
Harta, fisik,
keturunan, dan ilmu, semua itu akan mencapai derajat kemuliaan kala
disandingkan dengan kesopanan atau akhlak yang baik, disanalah derajat kemuliaan
itu dapat digapai. Orang berharta yang berakhlak mulia akan menjadikan hartanya
untuk sebuah pengabdian, kala ia membayar zakat, dengan cara yang ikhlas dan
tidak membuat sakit hati mustahik ( penerima zakat ), bahkan mustahik dengan
senang hati mendo’akannya. Kala ia bersedekah ia tidak menyebut-nyebut
pemberiannya, ia berupaya agar orang yang diberinya tidak mengetahui bahwa ia
telah bersedekah untuk menjaga dirinya jatuh pada lembah ria. Keindahan fisik
bagi orang yang berkahlak mulia tidak menjadikan ia angkuh dan sombong serta
merendahkan orang lain, malah baginya terasa berat karena membutuhkan upaya
untuk menjaga diri dari penyakit hati tersebut. Ia jadikan keindahan fisik
sebagai lahan dakwah, fisiknya yang kuat dengan sekuat tenaga ia serahkan pada
jihad fii sabilillaah, ia habiskan waktunya untuk berkelana dan bermusafir
menebar amar ma’ruf nahi mungkar. Keturunan yang mulia tidak serta merta ia jadikan
sebagai ajang gengsi, tapi sebagai pemicu semangat dalam jiwanya untuk lebih
membangun keturunan yang lebih mulia, karena pada pundaknya tertanggung beban
bahwa terlahirnya ia pada garis keturunan yang mulia berarti ia harus
melanjutkan tongkat estafet tersebut agar jangan putus kemuliaannya.
Sampai-sampai ia berupaya pula menanamkan pada anak cucunya agar tetap
mempertahankan kemuliaan yang telah dibangun oleh para pendahulunya. Alangkah
indahnya jika kemuliaan seperti ini yang diwariskan, dari pada mewariskan
kemegahan yang hanya mengundang sengketa orang belakangan. Apalagi terhadap
ilmu. Ilmu bagi orang yang memiliki adab kesopanan atau akhlak yang mulia
menjadikan ia semakin merasa dirinya kecil, lemah dan sedikit pemahaman. Sebab
ilmu semakin digali, semakin terasa bahwa banyak yang belum diketahui. Bagi
orang berilmu yang berakhlak mulia, ilmu yang diperoleh membuat ia semakin
takut dengan Allah swt, membuat ia semakin merasa seorang hamba yang tidak
mengetahui apa-apa jika Allah swt tidak membuka pintu-pintu pengetahuan
sehingga ia mengetahui apa yang belum diketahuinya. Menyadari hal tersebut
menyebabkan ia jauh dari keangkuhan dan kesombongan dengan ilmu yang
dimilikinya, tapi ia jadikan ilmu itu untuk sebuah pengabdian. Bagi orang
berilmu yang berakhlak mulia, ia mengetahui adab-adab kesopanan ilmu, fungsi
ilmu, dan kegunaan ilmu itu pada tempatnya. Maka tidak ada istilah ilmuwan yang
pintar mengakali orang lain, tidak ada penemuan senjata perang untuk membunuh
manusia yang tidak bersalah, tidak ada penemuan bahan-bahan peledak. Kalaupun
ada, semua itu hanya untuk alasan keamanan, tidak lebih.
Duhai,
demikian dahsyatnya pengaruh adab atau akhlak yang mulia bagi kehidupan, ia
membawa pada kemuliaan. Untuk itu hal ini harus dibiasakan oleh tiap pribadi
dan dimasyarakatkan dalam setiap pergaulan umat manusia. Ooo… sungguh indah,
kala kita mendapati terdapatnya para penguasa yang beradab kesopanan mulia,
para buruh beradab kesopanan mulia, para pengusaha, ilmuwan, orang-orang kaya,
orang-orang miskin, pekerja kasar, dokter, pejabat negara, guru, pelajar,
mahasiswa, orang tua, anak-anak dan seluruh lini masyarakat menerapkan adab
kesopanan atau akhlak yang mulia. Tidak akan ada perang, permusuhan, sengketa,
caci maki. Yang ada kasih sayang, saling menyebut kebaikan, tolong menolong.
Subhhaanallaah.
Sungguh benar
mahfuzhat yang mengatakan kesopanan itu mulia, camkanlah, renungkanlah, dan
amalkanlah.
Kebenaran
hanya milik Allah swt.
Keterangan :
Sumber Mahfuzhat : K.H. Aslam Zakaria dan
Abd. Halim Manaf B.A, Buku Pelajaran Mahfuzhat I (Bandung: C.V Sulita,
1971 ), Cet. Ke-2
Penulisan Format Tulisan Arab : Freeware Arabic Unicode text editor
©2007 by Ebta Setiawan