WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO
WENDRI NALDI EL-MANINJAUI KHATIB BANDARO

Jumat, 06 Juli 2012

Pelajaran Mahfuzhat : Kesopanan Itu Mulia


Mahfuzhat :

اَلْاَدَبُ شَرَفٌ

( Kesopanan Itu Mulia )

Penjelasan :

Tidak ada yang layak dibanggakan dalam hidup ini, kecuali akhlak yang mulia, inilah kesopanan. Kemegahan harta, keindahan fisik, banyaknya keturunan semua itu hanyalah bersifat relatif dan sementara. Harta hanya akan bertahan kemegahannya paling lama sampai ajal menjemput , setelah itu ia akan kita tinggalkan, dan akan diambil alih oleh orang sesudah kita. Jika dikelola dengan baik, alhamdulillaah, harta kita menjadi kebaikan bagi orang-orang sesudah kita, namun bagaimana jika malah menjadi lahan sengketa ? Harta kita malah menjadi ajang pertikaian dan memicu putusnya hubungan silaturrahim.  Kemuliaan harta hanya berada ditangan orang-orang yang mulia, ditangan orang-orang yang memperolehnya dengan cara yang mulia, dan membelanjakannyapun dengan cara yang mulia, maka jika kita mampu untuk mencapai tahap ini, silahkan peroleh harta, silahkan dicari harta, tapi tetap dalam koridor sewajarnya, karena tiada kemuliaan pada hal yang berlebihan.

Begitu juga dengan keindahan fisik, dan banyaknya keturunan, seiring perjalanan waktu akan memuai dan hilang tak berbekas. Pertambahan umur akan menyebabkan pudarnya pesona fisik, bahkan terkadang sampai, jangankan orang bersedia untuk berdekatan dengan kita, melirikpun mereka merasa jijik. Lantas apa yang hendak dibanggakan dari keindahan fisik, apalagi hendak mencari kemuliaan dengan keindahan fisik, toh Allah swt tidak melihat seseorang dari fisiknya, tapi dari hatinya. Bukankah demikian Rasulullah saw mengajarkan kita ?
Ooo…kita mungkin sering membanggakan garis keturunan, garis keturunan kiyai, ulama, syekh. Ketahuilah kemuliaan seseorang tidak didapat melalui siapa bapaknya, atau neneknya, tapi kemuliaan itu memancar dari dalam diri setiap pribadi. Tidak ada sedikitpun andil kharisma orang-orang disekitar kita dalam mencapai kemuliaan. Apakah karena bapak kita syekh, lalu dengan serta merta kita juga jadi syekh ? Tidak, karena kemuliaan bukan didapat melalui keturunan. Kalaupun tetap ingin memasukkan peran mereka, tiada lain peran mereka hanyalah berupaya membuat kita menjadi mulia, sedangkan mulia atau tidaknya kita, kita yang memilih jalan itu, dan kita yang menentukan pilihannya. Jika tidak ada upaya dari diri kita untuk mencapai kemuliaan, jangan berharap kemuliaan akan kita peroleh kalau hanya berpijak pada kemuliaan orang-orang sebelum kita dikarenakan kita satu keturunan.

Termasuk dalam hal ini ilmu yang tinggi, bukanlah syarat mutlak untuk mencapai kemuliaan, memang kita temukan ada ayat al-Quran yang menyatakan bahwa ditinggikan derajat orang berilmu beberapa derajat ( Surat al-Mujadalah ayat 11 ). Namun orang yang berilmu yang bagaimana ? Ada kategori orang berilmu yang ditinggikan derajatnya. Yakni ilmu yang sesuai dengan tuntutan syari’at, dan dengan ilmu itu ia capai kemuliaan yang telah digariskan oleh syari’at, untuk menunaikan pengabdian kepada Allah swt. Sehingga ilmu itu bukan hanya sekedar ilmu, tapi ilmu itu membawa dirinya pada pengenalan siapa dirinya yang sesungguhnya, untuk apa ia diciptakan, dan apa tugasnya selaku yang diciptakan ( makhluk ). Sungguh yang takut pada Allah itu adalah ulama ( orang yang berilmu ) demikian Allah swt mensinyalir dalam surat Fathir ayat 28.

Harta, fisik, keturunan, dan ilmu, semua itu akan mencapai derajat kemuliaan kala disandingkan dengan kesopanan atau akhlak yang baik, disanalah derajat kemuliaan itu dapat digapai. Orang berharta yang berakhlak mulia akan menjadikan hartanya untuk sebuah pengabdian, kala ia membayar zakat, dengan cara yang ikhlas dan tidak membuat sakit hati mustahik ( penerima zakat ), bahkan mustahik dengan senang hati mendo’akannya. Kala ia bersedekah ia tidak menyebut-nyebut pemberiannya, ia berupaya agar orang yang diberinya tidak mengetahui bahwa ia telah bersedekah untuk menjaga dirinya jatuh pada lembah ria. Keindahan fisik bagi orang yang berkahlak mulia tidak menjadikan ia angkuh dan sombong serta merendahkan orang lain, malah baginya terasa berat karena membutuhkan upaya untuk menjaga diri dari penyakit hati tersebut. Ia jadikan keindahan fisik sebagai lahan dakwah, fisiknya yang kuat dengan sekuat tenaga ia serahkan pada jihad fii sabilillaah, ia habiskan waktunya untuk berkelana dan bermusafir menebar amar ma’ruf nahi mungkar. Keturunan yang mulia tidak serta merta ia jadikan sebagai ajang gengsi, tapi sebagai pemicu semangat dalam jiwanya untuk lebih membangun keturunan yang lebih mulia, karena pada pundaknya tertanggung beban bahwa terlahirnya ia pada garis keturunan yang mulia berarti ia harus melanjutkan tongkat estafet tersebut agar jangan putus kemuliaannya. Sampai-sampai ia berupaya pula menanamkan pada anak cucunya agar tetap mempertahankan kemuliaan yang telah dibangun oleh para pendahulunya. Alangkah indahnya jika kemuliaan seperti ini yang diwariskan, dari pada mewariskan kemegahan yang hanya mengundang sengketa orang belakangan. Apalagi terhadap ilmu. Ilmu bagi orang yang memiliki adab kesopanan atau akhlak yang mulia menjadikan ia semakin merasa dirinya kecil, lemah dan sedikit pemahaman. Sebab ilmu semakin digali, semakin terasa bahwa banyak yang belum diketahui. Bagi orang berilmu yang berakhlak mulia, ilmu yang diperoleh membuat ia semakin takut dengan Allah swt, membuat ia semakin merasa seorang hamba yang tidak mengetahui apa-apa jika Allah swt tidak membuka pintu-pintu pengetahuan sehingga ia mengetahui apa yang belum diketahuinya. Menyadari hal tersebut menyebabkan ia jauh dari keangkuhan dan kesombongan dengan ilmu yang dimilikinya, tapi ia jadikan ilmu itu untuk sebuah pengabdian. Bagi orang berilmu yang berakhlak mulia, ia mengetahui adab-adab kesopanan ilmu, fungsi ilmu, dan kegunaan ilmu itu pada tempatnya. Maka tidak ada istilah ilmuwan yang pintar mengakali orang lain, tidak ada penemuan senjata perang untuk membunuh manusia yang tidak bersalah, tidak ada penemuan bahan-bahan peledak. Kalaupun ada, semua itu hanya untuk alasan keamanan, tidak lebih.

Duhai, demikian dahsyatnya pengaruh adab atau akhlak yang mulia bagi kehidupan, ia membawa pada kemuliaan. Untuk itu hal ini harus dibiasakan oleh tiap pribadi dan dimasyarakatkan dalam setiap pergaulan umat manusia. Ooo… sungguh indah, kala kita mendapati terdapatnya para penguasa yang beradab kesopanan mulia, para buruh beradab kesopanan mulia, para pengusaha, ilmuwan, orang-orang kaya, orang-orang miskin, pekerja kasar, dokter, pejabat negara, guru, pelajar, mahasiswa, orang tua, anak-anak dan seluruh lini masyarakat menerapkan adab kesopanan atau akhlak yang mulia. Tidak akan ada perang, permusuhan, sengketa, caci maki. Yang ada kasih sayang, saling menyebut kebaikan, tolong menolong. Subhhaanallaah.
Sungguh benar mahfuzhat yang mengatakan kesopanan itu mulia, camkanlah, renungkanlah, dan amalkanlah.
Kebenaran hanya milik Allah swt.

Keterangan :

Sumber Mahfuzhat : K.H. Aslam Zakaria dan Abd. Halim Manaf B.A, Buku Pelajaran Mahfuzhat I (Bandung: C.V Sulita, 1971 ), Cet. Ke-2

Penulisan Format Tulisan Arab : Freeware Arabic Unicode text editor ©2007 by Ebta Setiawan

Kamis, 05 Juli 2012

Pelajaran Mahfuzhat : Ucapan Benar Menyelamatkan



Mahfuzhat :

اَلصِّدْقُ مُنْجٍ

( Ucapan Benar Menyelamatkan )

Penjelasan :

Ucapan lahir dari lidah yang bolak balik, namun lahirnya ucapan sebenarnya bukan kehendak lidah, tapi kehendak hati, maka apa yang terucap oleh lisan, demikianlah hati seseorang. Saat seseorang berkata dengan benar dan jujur, saat itu pula sebenarnya hati seseorang itu hati yang benar dan jujur. Saat lisan seseorang berkata dusta, sesungguhnya hatinyalah yang dusta, namun ia bawa lisannya untuk terlibat dalam kedustaan.

Mungkin ada yang bertanya, jika demikian adanya, bagaimana dengan lisan yang terucap, sementara ucapan tersebut tidak sesuai dengan hatinya ? Artinya, hatinya mengetahui sesuatu hal yang lain, tapi lisannya menyampaikan pula hal yang lain.  Ketahuilah, itulan lisan yang berdusta, dan sesungguhnya hatinya sebenarnya juga berdusta. Mengapa demikian ? Mengapa ia biarkan lisannya berkata dusta, padahal ia bisa mencegah dengan hatinya. Sebab hati itu pusat kendali dari segala anggota tubuh. Segala sesuatu dari tubuh tidak akan mampu melakukan sesuatu jika tidak mendapat izin dari hati. Inilah makna, mengapa dalam beribadah prioritas utama dalam menunaikannya adalah niat, dan niat itu berada pada hati.

Maka apa yang terucap oleh lisan yang bolak-balik adalah ucapan hati, jika ucapannya baik, menunjukkan hatinya adalah baik, sehingga ucapannya dapat diterima oleh orang lain, saat ucapan dapat diterima oleh orang lain, ia ia akan diterima dalam hati manusia, sehingga manusia senang akan dirinya dan rindu dengan ucapan-ucapannya, kala manusia telah rindu dengan ucapannya, dengan mudah ia akan membawa manusia ke jalan yang baik dengan ucapannya, hal ini akan membawa kebaikan kepada dirinya, dengan potensi untuk berbuat kebaikan dengan lisannya.

Namun jika sebaliknya, saat lisan yang terucap adalah kedustaan, maka hati akan gelisah. Karena kecendrungan hati itu pada kebaikan, sementara lisan bersebrangan dengan hati, dan hati itu sendiri membiarkan penyimpangan lisan. Kegelisahan itu menyesakkan dan membinasakan hati, yang menyebabkan muka muram, dihantui rasa takut akan kedustaan yang terbongkar. Saat itu hati menjadi lemah. Kondisi rawan tersebut menjadi jalan potensial bagi setan untuk masuk. Setan membisikkan hal-hal yang tampak menyenangkan agar keluar dari kegelisahan, maka masuklah bisikan setan yang mengatakan, “sudahlah jangan dirisaukan, setiap manusia itu memiliki kesalahan, “. Kuatnya bisikan setan pada hati yang lemah, menyebabkan hati menerima pembenaran dari bisikan setan tersebut, akhirnya hati memaafkan kesalahan yang dilakukan dengan alasan setiap manusia memiliki kesalahan.  Lambat laun, karena telah diawali memaafkan sebuah kesalahan, akhirnya kesalahan itu dianggap biasa. Jika telah dianggap biasa, hati tidak lagi merasa gelisah melakukan kesalahan, walau kesalahan itu dilakukan berulang-ulang.  Ini akibat pertama dari ucapan yang tidak benar (dusta) .

Jika kedustaan itu dihubungkan dengan interaksi sosial sesama manusia ( halumminannas ), hati akan merasa gelisah kalau-kalau kedustaan yang dilakukan terhadap manusia akan terbongkar, tahap inipun jalan yang sangat rawan bagi setan untuk melancarkan misinya dengan bisikan, “ Engkau harus bertahan dengan apa yang engkau ucapkan, walaupun dusta, jika tidak, engkau akan dicap pendusta oleh manusia ,sehingga kedudukanmu akan hina dan ucapanmu tidak akan pernah didengarkan.” Bisikan itu akan membuat hati menjadi tertekan, dalam keadaan tertekan hati akan mengikuti bisikan tersebut, karena tidak lagi mampu menimbang dan menilai suatu kebaikan, yang terpenting kala itu bagaimana menyelamatkan diri dari kehancuran, akhirnya bisikan itu dianggap jalan terbaik. Maka langgenglah kedustaan dengan alasan menjaga martabat diri. Ini akibat kedua dari ucapan yang tidak benar ( dusta ).

Kedua-duanya membinasakan, membinasakan untuk diri, dan membinasakan dalam hubungan sesama manusia. Jika ini telah menimpa manusia, sungguh dusta telah menjadi tabiat dan akhlaknya. Saat itu manusia tersebut benar-benar pendusta.

Satu hal yang perlu dipahami, sampai dimana manusia akan mampu bertahan untuk menyelamatkan dirinya dengan kedustaan ? karena setiap perbuatan yang dilakukan manusia akan ditampakkan pada dirinya akibatnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Banyak cara Allah swt untuk membalas perbuatan tersebut. Jika Allah swt menjanjikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat baik, tentunya adil pula jika keburukan itu mendapat balasan yang setimpal, agar manusia menyadari bahwa yang dilakukan selalu berada dalam pengawasan  Allah swt.

Kala hati menyadari hal ini, kegelisahan yang paling berat akan membebani , ia menyadari bahwa sebenarnya ia telah berdusta, mendustai diri sendiri dan mendustai orang lain, dan semua itu akan mendapatkan balasan. Bagaimanapun hati tidak akan mampu didustai, ia akan menyesak untuk selalu berada dalam kebaikan. Perang dalam hati ini yang membuat manusia berada dalam puncak kegelisahan. Bisa jadi ada upaya untuk menebusnya, tapi karena telah terjatuh pada jurang bisikan setan yang begitu dalam sehingga sulit untuk mendakinya. Hanya orang-orang yang benar-benar punya azzam yang kuatlah yang mampu melakukannya.

Menyaksikan beratnya tanggungan yang menimpa atas kedustaan, maka berhati-hatilah, sebelum terjatuh. Jangan pernah memulainya. Maka kata kuncinya, yang akan menyelamatkan memang ucapan yang benar, inilah kiranya maksud dari mahfuzhat tersebut. 

Kebenaran hanya milik Allah swt.

Keterangan :

Sumber Mahfuzhat : K.H. Aslam Zakaria dan Abd. Halim Manaf B.A, Buku Pelajaran Mahfuzhat I (Bandung: C.V Sulita, 1971 ), Cet. Ke-2

Penulisan Format Tulisan Arab : Freeware Arabic Unicode text editor ©2007 by Ebta Setiawan